Mongabay.co.id

Studi Paleoekologi Ungkap Hutan di Asia Tenggara Bertahan dari Perubahan Iklim di Masa Lalu

 

Sebuah studi paleoekologi baru mencatat bahwa lingkungan hutan di Asia Tenggara sejak 119.000 tahun lalu lebih bisa bertahan terhadap perubahan iklim, -dibandingkan prakiraan para peneliti semula, selama keanekaragaman ekosistemnya tetap terjaga.

Hal ini berbeda dengan teori semula yang menyebut bahwa hutan dataran rendah Asia Tenggara tiba-tiba berubah menjadi koridor savana luas sebagai respons terhadap iklim dingin dan musiman selama puncak zaman es terakhir, periode sekitar 20.000 tahun yang lalu.

Alih-alih perubahan mendadak dari hutan ke savana berumput, peneliti mendokumentasikan transisi yang mulus antara hutan hujan dataran rendah, hutan kering musiman dan kanopi terbuka dengan tumbuhan rendah berumput, dengan hutan pegunungan tropis.

Mosaik tipe hutan ini menunjukkan jika ekosistem Asia Tenggara memiliki kapasitas untuk “melawan dan pulih” dari tekanan iklim, jelas studi tersebut.

Temuan ini pun mendukung upaya pelestarian oleh para pegiat konservasi untuk melestarikan beragam tipe hutan dalam jaringan yang terhubung di seluruh Asia Tenggara.

“Pelestarian tipe hutan yang mendukung ketahanan [terhadap perubahan iklim] harus menjadi prioritas,” jelas Rebecca Hamilton, seorang ahli paleoekologi di University of Sydney dan penulis utama studi baru ini, mengatakan kepada Mongabay.

“Hutan musiman kering misalnya, sering kali diabaikan. Meski hutan ini tidak terlihat penting dari sisi keanekaragaman hayat jika dibandingkan hutan hujan tropis, namun hutan ini memiliki cadangan keanekaragaman [beta] di tingkat lanskap.”

 

Inti sedimen yang diambil dari dasar danau di Filipina. Foto: Patrick Roberts.

 

Hutan Asia Tenggara mengalami tekanan berat akibat aktivitas manusia dalam beberapa dekade terakhir.  Penebangan sebagian besar hutan hujan dataran rendah membuka jalan bagi perluasan perkotaan, pertanian, perkebunan sawit dan karet dalam tingkat perambahan hutan yang mengkhawatirkan.

Dalam menyelidiki lanskap kuno hutan Asia Tenggara itu, Hamilton dan koleganya menggunakan cara seperti detektif. Mereka mengamati data biokimia fosil butiran serbuk sari dari 59 situs paleoekologi dari seluruh wilayah, untuk mengetahui spesies pohon mana yang tumbuh pada suatu masa.

Periode glasiasi akhir yang diselidiki dalam penelitian ini dipilih untuk mengetahui periode musim ekstrim, dimana datanya digunakan untuk mengetahui apakah lanskap alam saat itu didominasi oleh hutan atau padang rumput savana.

Perubahan iklim di periode tersebut pun akan menguak bagaimana pola musiman di musim hujan dan musim kemarau di Asia Tenggara, yang memicu curah hujan ekstrem dan kekeringan, serta untuk mengetahui bagaimana ekosistem merespons kondisi tersebut.

 

Janelle Stevenson, salah satu penulis penelitian ini, sedang menyiapkan inti sedimen dari dasar danau untuk penanggalan radiokarbon dan analisis serbuk sari. Dok: ANU School of Culture History and Language.

 

Hamilton menyebut, hasil penelitian ini menunjukkan indikasi jika hutan di wilayah Asia Tenggara mungkin merespons gangguan berskala besar dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan apa yang diamati di wilayah lain di dunia.

Ahli biologi hutan di Amerika Selatan, misalnya, mendokumentasikan “titik-titik kritis” ekosistem yang dipicu oleh gangguan besar, seperti kebakaran hutan oleh El Niño dan pembukaan lahan secara besar-besaran untuk pertanian.

Namun titik kritis seperti itu tidak begitu jelas di Asia Tenggara. Hutan di kawasan ini cenderung menjadi “batu loncatan” berupa hutan kering musiman, yang berada di antara ekosistem hutan hujan dan padang rumput.

“Di Asia Tenggara, kami tidak melihat adanya peralihan mendadak ke savana. Kami hanya melihat adanya pergeseran bertahap menuju tipe hutan yang lebih terbuka,” jelas Hamilton.

Namun hal ini tidak berarti bahwa hutan di Asia kebal terhadap perubahan rezim yang berdampak buruk. Aktivitas manusia terus-menerus merusak ketahanan hutan di kawasan ini.

“[Hal ini] berpotensi menjadi bencana besar bagi kelangsungan hutan hujan di seluruh zona tropis,” kata Hamilton.

“Kami sering melihat fragmentasi hutan akibat kebakaran oleh manusia yang cukup merusak dan dapat menyebabkan transisi mendadak dari hutan ke savana seperti banyak wilayah Amerika.”

Namun, fakta lain yang menarik bahwa manusia telah membentuk hutan dunia selama ribuan tahun.

Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan, misalnya, bahwa sistem perladangan yang berpindah tempat telah menjaga keanekaragaman struktural hutan di beberapa wilayah daratan Asia Tenggara. Ini dapat membantu menjelaskan teori tentang bagaimana manusia dan hewan berpindah di Asia Tenggara selama periode gletser terakhir.

“Beberapa aliran pemikiran berpendapat bahwa lingkungan savana memfasilitasi migrasi manusia, dalam pandangan ini hutan tropis dianggap sama sekali tidak ramah bagi manusia,” kata Hamilton.

“Sekarang kita tahu bahwa masyarakat memanfaatkan dan mengelola hutan tropis dan telah bermigrasi melalui setidaknya beberapa sistem hutan untuk mencapai Australia [dari Asia]. Ini menunjukkan bahwa kita sebagai spesies secara historis menggunakan sumberdaya dari berbagai ekosistem.”

 

Noel Amano, salah satu penulis penelitian ini, mengklasifikasikan tulang hewan untuk menunjukkan bukti ekosistem yang masih ada di masa lalu. Dok: Max Planck Institute for Geoanthropology.

 

“Hipotesis koridor savana telah lama dipertanyakan di Asia Tenggara, dan [memiliki] implikasi jangka panjang terhadap pemahaman kita mengenai biogeografi regional,” jelas Alice Hughes, seorang profesor di University of Hong Kong, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan kepada Mongabay melalui email.

Permukaan air laut di masa periode glasial terakhir pun jauh lebih rendah, -dikenal sebagai Sundaland,  suatu daratan rendah luas yang menghubungkan wilayah yang sekarang menjadi daratan Asia Tenggara dengan pulau Kalimantan, Sumatra, Bali, dan banyak pulau lainnya.

Hughes mengatakan adanya bukti baru jika Sundaland adalah kawasan hutan, yang penting bagi keanekaragaman genetik.

“Dengan naiknya permukaan laut, hutan yang tersisa merupakan benteng terakhir keanekaragaman genetik spesies. Tidak diragukan lagi, [hutan ini] merupakan kawasan utama yang harus dilindungi guna menjaga keanekaragaman hayati (dan genetik) di seluruh wilayah,” tulis Hughes.

Pemanasan global saat ini membuka fakta bahwa banyak spesies di kawasan ini semakin sempit secara geografis. Mereka jadi sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, tambah Hughes.

“Meningkatkan konektivitas di kawasan ini sangat penting untuk menghubungkan kembali petak-petak hutan yang memungkinkan spesies bertahan di masa depan.”

Tulisan asli: Forest diversity is key to Southeast Asia’s climate adaptability, study shows. Artikel ini diterjamahkan oleh Akita Verselita

 

Referensi:

Hamilton, R., Amano, N., Bradshaw, C. J., Saltré, F., Patalano, R., Penny, D., … Roberts, P. (2023). Forest mosaics, not Savanna corridors, dominated in Southeast Asia during the last glacial maximum. Proceedings of the National Academy of Sciences, 121(1). doi:10.1073/pnas.2311280120

Hamilton, R., Penny, D., & Hall, T. L. (2020). Forest, fire & monsoon: Investigating the long-term threshold dynamics of south-east Asia’s seasonally dry tropical forests. Quaternary Science Reviews, 238, 106334. doi:10.1016/j.quascirev.2020.106334

 

Exit mobile version