- Masyarakat terutama para perempuan adat di Banggai Kepulauan bergantung hidup dari alam, di hutan, lahan pertanian maupun perikanan. Ketika Banggai Kepulauan, mulai jadi sasaran perusahaan tambang yang akan mengeruk batu gamping, para perempuan adat menolak tambang dengan gigih. Mereka tolak tambang karena khawatir hutan, lahan pertanian, perairan sampai sumber air yang jadi sumber kehidupan mereka terancam rusak.
- Data Minerba One Map Indonesia ESDM per 1 Desember 2023 menyebut, sudah ada sekitar 29 perusahaan memiliki izin seluas 3.174,79 hektar. Dari 29 perusahaan itu, ada 28 masih berstatus pencadangan, serta satu sudah izin operasi produksi (OP).
- Di Bangkep, mayoritas masyarakat adalah petani dan nelayan. Hidup mereka tergantung pada hasil pertanian dan perikanan. Kalau dua sektor itu terganggu tambang, otomatis kehidupan masyarakat ikut hancur. Tambang adalah jalan sesat kesejahteraan masyarakat Bangkep.
- Masyarakat di sana memberikan contoh pengelolaan alam mereka tanpa merusak seperti menjaga kelestarian alam untuk wisata. Contoh, penataan Taman Kehati Kokolomboi, telah menarik 453 wisatawan domestik dan lebih dari 60 wisatawan asing dari 22 negara.
Masyarakat terutama para perempuan adat di Banggai Kepulauan bergantung hidup dari alam, di hutan, lahan pertanian maupun perikanan. Ketika Banggai Kepulauan, mulai jadi sasaran perusahaan tambang batu gamping, para perempuan adat menolak tambang dengan gigih. Mereka khawatir hutan, lahan pertanian, perairan sampai sumber air yang jadi sumber kehidupan mereka terancam rusak.
Deslin Kalaeng, warga Desa Komba-Komba, Kecamatan Bulagi, Banggai Kepulauan (Bangkep), salah satu perempuan adat yang menolak tambang. Dia tak mau tanah leluhur hancur karena tambang.
Deslin Kalaeng adalah tokoh perempuan sekaligus ibu kampung Masyarakat Adat Tolobuono Komba-komba. Dia berperan penting dalam segala kebijakan yang harus diambil, termasuk keputusan menolak tambang batu gamping.
Data Minerba One Map Indonesia ESDM per 1 Desember 2023 menyebut, sudah ada sekitar 29 perusahaan memiliki izin seluas 3.174,79 hektar. Dari 29 perusahaan itu, ada 28 masih berstatus pencadangan, serta satu sudah izin operasi produksi (OP).
Di Desa Komba-Komba, kampung halaman Deslin, setidaknya ada empat perusahaan sudah mendapatkan izin pencadangan dengan luasan 281,24 hektar. Semua luasan itu berada di kawasan hutan, kawasan karst Bangkep, serta lahan produktif pertanian masyarakat, termasuk Deslin.
Dia bilang, sebagian besar Masyarakat Tolobuono Komba-Komba adalah petani tradisional. Secara turun-temurun, mereka gunakan hutan sebagai sumber penghidupan. Misal, untuk berkebun, menanam padi ladang, jagung, rica, sayur-sayuran, dan bahan pokok lain untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Bahkan, katanya, anak-anak mereka bisa sekolah hingga ke perguruan tinggi, berkat hasil pertanian yang mereka miliki. Mereka sudah bahagia jadi petani. Dia tegas menolak aktivitas apapun yang merusak sumber penghidupan mereka.
Masyarakat Tolobuono Komba-komba adalah salah satu suku asli Banggai dari Kerajaan Banggai yang kini disebut Banggai bersaudara (Kabupaten Banggai, Banggai Kepulauan, dan Banggai Laut). Mereka punya pranata, dan kelembagaan adat sangat kuat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Deslin bilang, wilayah adat mereka tempat sakral. Terlebih lagi, ada sejumlah situs-situs leluhur yang dikeramatkan dan tak boleh dirusak aktivitas apapun. Kalau tidak diperhatikan, katanya, akan memicu mara bahaya bagi masyarakat sekitar.
“Kami tidak perlu lagi perusahaan tambang datang. Apalagi perusahaan akan merusak lingkungan, termasuk menghancurkan kebun-kebun kami dan situs-situs yang dikeramatkan. Kami menolak penambangan, karena sudah bahagia jadi petani,” katanya.
Pertambangan batu gamping, katanya, pasti akan merusak kekayaan alam yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat.
Saat perusahaan mau masuk, iming-imingi lapangan pekerjaan hanya bagian dari bahan kampanye agar batu gamping bisa mulus terkuras.
Baca juga: Was-was Tambang Datang, Sumber Air di Banggai Kepulauan Terancam Hilang
Deslin katakan itu berdasar pengalamannya cukup lama di Papua. Hampir dua dekade, Deslin hidup bersama keluarga suami di sana. Dia menyaksikan bagaimana perusahaan dan negara bersekongkol menghancurkan ruang hidup Orang Papua dengan iming-iming kesejahteraan.
Deslin tak mau perampasan lahan dan penghancuran kekayaan alam Papua terjadi di Bangkep, tanah leluhurnya.
Tambang batu gamping, katanya, akan menghilangkan identitas kebudayaan masyarakat Bangkep, termasuk mendiskreditkan peran perempuan.
“Kalau pemerintah berniat baik, harusnya yang didorong ditingkatkan sektor pertanian agar lebih berkembang. Bukan malah penambangan.”
Serupa dikatakan Tin Yanggolo, Tokoh Perempuan Adat Togong-Tanga, Suku Sea-Sea, juga Banggai bersaudara.
Perempuan yang tinggal di Dusun Kokolomboi, Desa Leme-Leme Darat, Kecamatan Buko ini juga salah satu inisiator Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) Kokolomboi.
Dia mengatakan, kalau tambang masuk, sama dengan membunuh masyarakat Bangkep secara perlahan. Terlebih lagi, katanya, saat ini kondisi hutan di Banggai Kepulauan sudah mengalami degradasi akibat ulah manusia.
Data Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan menunjukkan, kondisi lahan sangat kritis di kawasan hutan seluas 144,86 hektar, dan lahan kritis 28.026,87 hektar. Kehancuran hutan itu juga mengancam flora fauna endemik Pulau Peleng, seperti gagak banggai dan tarsius.
Tin Yanggolo bilang, kalau puluhan perusahaan masuk dan beroperasi di Bangkep, pasti kerusakan hutan dan lahan makin bertambah. Ia sekaligus akan merusak struktur sosial kemasyarakatan yang sebagian besar hidup bergantung pada hutan.
Menurut Tin, logika pemerintah meningkatkan ekonomi daerah lewat tambang perlu kritikan keras agar tak salah arah.
Hidup dari bertani dan nelayan
Di Bangkep, katanya, mayoritas masyarakat adalah petani dan nelayan. Hidup mereka tergantung pada hasil pertanian dan perikanan. Kalau dua sektor itu terganggu tambang, katanya, otomatis kehidupan masyarakat ikut hancur. Dia bilang, tambang adalah jalan sesat kesejahteraan masyarakat Bangkep.
Seharusnya, kata Tin, pemerintah membuat program ramah lingkungan dengan memberdayakan masyarakat dalam mengelola hutan. Misal, program Kokolomboi Lestari yang dibuat melalui kemitraan Pertamina EP Donggi Matindok Field (DMF) dengan Dinas Lingkungan Hidup Bangkep di di Taman Kehati Kokolomboi.
Kegiatan sejak 2016 itu bisa memperbaiki ekosistem dan rantai makanan satwa endemik di Kokolomboi melalui aksi pembibitan dan penanaman. Program itu juga meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar melalui budidaya lebah (apikultur).
“Masyarakat yang sebelumnya menjual kayu hasil hutan dan berburu satwa, sekarang hasilkan uang dari budidaya lebah madu. Setiap tahun, ada sekitar 800-1.200 liter madu bisa panen,” kata Tin.
Aksi ini, katanya, berhasil mengurangi ketergantungan pada sumber daya tunggal dan membuat masyarakat lebih tangguh di tengah perubahan ekonomi atau alam tak terduga. Terlebih lagi, katanya, saat ini perubahan iklim sudah mengkhawatirkan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Selain itu, kata Tin, penataan Taman Kehati Kokolomboi telah menarik 453 wisatawan domestik dan lebih dari 60 wisatawan asing dari 22 negara. Adapun biaya yang harus dibayarkan tamu domestik Rp60.000 perorang perhari dan tamu asing Rp200.000 perorang perhari. Masyarakat sekitar pun mendapatkan tambahan pemasukan.
“Yang seperti ini yang harusnya dibuat pemerintah, bukan mendatangkan perusahaan tambang yang akan merusak Bangkep. Kami menolak perusahaan tambang beroperasi di tanah leluhur kami.”
Perempuan dan hubungan erat dengan alam
Hutan, tanah, dan air yang akan ditambang merupakan satu kesatuan ekosistem tak terpisahkan dengan perempuan adat Bangkep.
Deslin bilang, perempuan adat Bangkep memiliki hubungan erat dan kompleks dengan hutan, tanah, dan air baik aspek ekonomi, ekologis, spiritual dan budaya.
“Air menurut kami adalah darah, tanah adalah daging, dan hutan adalah urat nadi. Semua ini tidak boleh rusak. Ketika rusak, yang paling terdampak kelompok perempuan,” katanya.
Secara ekonomi dan ekologis, perempuan adat memainkan peran penting dalam pengelolaan hutan, tanah, dan air. Mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Perempuan Bangkep, katanya, terlibat dalam kegiatan seperti bertani, beternak, mencari kayu bakar, mengumpulkan air, dan mengolah bahan makanan.
Secara spiritual, katanya, perempuan jadikan hutan, tanah, dan air sebagai sumber kehidupan, tempat tinggal, dan sumber pangan. Perempuan adat juga berperan sangat penting dalam menjaga dan melestarikan nilai-nilai adat terkait tanah adat mereka.
Terlebih lagi, perempuan adat kerap terlibat dalam ritual-ritual adat untuk menjaga keseimbangan antara alam dan manusia. Mereka juga berperan sebagai penjaga cerita rakyat dan tradisi lisan terkait tanah adat leluhur.
Secara budaya, perempuan adat memainkan peran penting dalam menjaga kelestarian hutan, tanah, dan air. Perempuan, katanya, sering jadi pemimpin gerakan-gerakan perlindungan lingkungan dan mendidik masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan dan mendukung kebijakan melindungi hutan.
Data Bank Dunia menyebut perempuan di dalam atau sekitar hutan memperoleh separuh pendapatan mereka dari hutan, sementara kaum laki-laki hanya sepertiganya. Terlebih, ada peran penting perempuan lain yang sulit digantikan, misal, dalam pengelolaan tanaman obat.
Dari Penelitian Didik Sutrisno, dan Silvi Nur Oktalina dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan, bagaimana perempuan lebih mendominasi dalam aktivitas reproduksi di hutan. Sedang untuk pengelolaan sumber daya alam, laki-laki dan perempuan secara bersama-sama, baik dalam akses, kontrol maupun pengambilan keputusan.
Sayangnya, sebut Didik cs, negara belum memberikan dukungan atau melindungi peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam di akar rumput itu. Kebijakan dan implementasi pembangunan berkelanjutan yang digembar-gemborkan pemerintah hingga kini justru menggerus perempuan dari ruang hidup mereka.
Hingga kini, pemerintah pun belum memiliki rencana jelas untuk meningkatkan peran masyarakat adat, terutama perempuan. Alih-alih melihat mereka sebagai subjek dan aktor perubahan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, mereka tetap dianggap hanya penghuni wilayah tertentu.
Hak kolektif, baik itu pengetahuan tradisional, pekerjaan, dan peran yang khas dan hanya dimiliki perempuan dalam masyarakat adat juga sepenuhnya belum dilindungi UU. Bahkan, itupun belum diatur khusus dalam rancangan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat, yang masih dalam proses pembahasan.
Rukmini Paata Toheke, Ketua Dewan Wilayah AMAN Sulawesi Tengah mengatakan, perempuan sejatinya merupakan penjaga hutan abadi. Akses kontrol perempuan atas pengelolaan sumber daya alam, katanya, pasti lebih tinggi daripada laki-laki.
Dalam konteks ini, tak heran Deslin Kalaeng dan Tin Yanggolo, yang merupakan perempuan adat di Banggai Kepulaun, geram dengan hadirnya puluhan perusahaan tambang batu gamping. Terlebih lagi, katanya, sekitar 85% daratan Bangkep adalah ekosistem karst yang jadi obyek vital bagi mereka.
Rukmini bilang, penolakan tambang oleh perempuan adat Bangkep itu bentuk gerakan ekofeminisme untuk memperjuangkan kelestarian alam yang jadi sumber kehidupan mereka. Dia bilang, ada hubungan langsung antara perempuan dan alam hingga keduanya tidak bisa terpisahkan begitu saja.
“Sumber daya alam itu sebagai bagian dari hidup perempuan. Perempuan yang kerap kali menjaga. Bahkan, mereka bisa jadi orang yang paling terdepan melawan jika ada yang mencoba merusak ruang hidup mereka,” kata Rukmini.
Dengan begitu, katanya, praktik-praktik perjuangan perempuan kerap kali berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan, terkhusus masalah perebutan lahan atau tanah mereka. Tak heran, katanya, perempuan paling terdampak dalam konflik agraria di Indonesia.
Rukmini bilang, gerakan perempuan di Bangkep merupakan kritik terhadap budaya maskulin yang jadi landasan eksploitasi lingkungan dan perempuan. Kalau lingkungan rusak, perempuan akan mengalami kesulitan mendapatkan makanan dan mencari kehidupan.
Senada dengan Rukmini, Fitriani Pairunan Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Palu mengatakan, perempuan mempunyai peran signifikan dalam pengelolaan tanah dan sumber agrarian, mulai pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga panen.
“Jika semua itu terganggu, sama saja hidup mereka diganggu. Itu alasan mereka melakukan perlawanan,” katanya kepada Mongabay,.
Menurut Fitriani, kehadiran puluhan tambang batu gamping di Bangkep akan memberikan dampak berlapis yang menggerus kehidupan perempuan. Dia contohkan, ketika tambang beroperasi, pasti akan merusak sumber-sumber mata air yang jadi kebutuhan utama perempuan sehari-hari.
Data Koalisi Advokasi Karst Sulawesi Tengah (Sulteng), setidaknya ada 124 sumber mata air, satu sungai bawah tanah, 17 gua, ada lima danau, dan 103 sungai permukaan, semua terhubung dengan kawasan karst Bangkep.
Kalau sumber mata air itu hancur, kata Fitriani, kesehatan sistem reproduksi perempuan ikut terganggu, terutama saat mereka mengalami menstruasi, hamil, hingga pasca melahirkan.
Dampak itu juga, katanya, akan merambat ke aktivitas domestik yang kerap dilakoni perempuan, baik kebutuhan pribadi atau keluarga.
“Belum lagi soal dampak eksploitasi lain, seperti pencemaran limbah ke laut, hingga debu dari aktivitas pengangkutan material perusahaan. Semua itu secara langsung berdampak ke perempuan,” kata Fitriani.
Selain air, katanya, kehilangan lahan juga menimbulkan dampak berlapis bagi perempuan. Apalagi, mayoritas perempuan di Bangkep merupakan petani. Perebutan lahan itu, katanya, akan memiskinan perempuan, dan bisa memicu kekerasan kepada mereka.
“Jika perebutan lahan terjadi, pasti perempuan akan mengalami stress karena mereka yang harus memastikan kebutuhan ekonomi keluarga. Dampak lanjutan bisa memicu kekerasan dalam rumah tangga dan perempuan jadi korban.”
Berkenaan dengan itu, katanya, kehadiran tambang batu gamping di Bangkep akan memperpanjang cerita-cerita eksploitasi terhadap perempuan di Indonesia.
Fitriani dan Rukmini sepakat, harus ada peninjauan izin-izin tambang batu gamping di Bangkep, termasuk harus memikirkan dampak negatifnya.
Pertambangan, kata Rukmini, tak pernah memberikan posisi baik kepada masyarakat, justru jadi korban dari segala dampak lingkungan secara terus menerus.
Kenyataan di lapangan, izin-izin keluar begitu saja tanpa melibatkan masyarakat termasuk perempuan. Survei Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menunjukkan, sekitar 67,4% perempuan menyatakan tak pernah terlibat dalam konsultasi pembangunan di wilayah adat mereka.
Serupa dialami perempuan adat di Bangkep, termasuk Deslin Kalaeng dan Tin Yanggolo. Puluhan perusahaan tambang seperti tamu tak diundang. Padahal, kata Tin, kalau perempuan kehilangan akses sumber daya alam, akan ada berbagai dampak muncul seperti penurunan kemandirian pangan, picu kemiskinan dan dapat memperburuk ketimpangan gender.
Ketika perempuan kehilangan akses sumber daya alam, katanya, bisa stres dan depresi bahkan bisa meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan.
“Sampai kapan pun. Sampai saya mati, akan menolak perusahaan yang akan masuk dan beroperasi di tanah leluhur kami!”
*********
Was-was Tambang Datang, Sumber Air di Banggai Kepulauan Terancam Hilang