Mongabay.co.id

Sudah Saatnya Hilirisasi Peternakan Sapi di NTB

 

Nur Hikmah dan suaminya Sahnan dikenal sebagai guru madrasah di MI Tarbiyatul Islam, Pemalikan, Desa Batu Puteq, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Pagi mereka berangkat ke madrasah, mengajar anak-anak kampung di pesisir barat daya Pulau Lombok itu.

Walaupun tinggal di pesisir, mereka bukanlah nelayan. Tapi sebagai petani dan peternak. Sapi adalah peliharaan mereka. Menjadi guru bukan halangan menjadi peternak.

“Berkat sapi kami bisa bangun sekolah ini,’’ kata Nur Hikmah yang ditemui awal Januari lalu.

Berkat sapi, guru honorer ini bisa menguliahkan putranya ke Kota Mataram, ibukota provinsi NTB. Begitu juga dengan Nur Hikmah, bisa menjadi guru karena bersekolah yang dibiayai dari hasil jualan sapi oleh orang tuanya.

Di tempat lain, di Desa Montong Ajan, Kecamatan Praya Barat Daya, Kabupaten Lombok Tengah, guru-guru di MI Darul Islah juga berpforesi sebagai petani dan peternak.

Seperti Ayubi, kepala madrasah yang juga merangkap menjadi ketua kelompok tani. Tinggal di daerah sawah tadah hujan, peternakan sapi adalah salah satu tabungan masyarakat. Berkat sapi juga warga di kampung ini bisa membangun sekolah, menyekolahkan anak-anak mereka, termasuk juga sebagai modal bertani.

“Pekerjaan utama kami petani, guru itu pengabdian,’’ kata Ayubi di awal Januari lalu.

baca: Kala Investor Mau Buka Peternakan Sapi Skala Besar di Kepulauan Aru [2]

 

Seorang perempuan penggembala sapi di Montong Ajan, Lombok Tengah, NTB, membawa keliling sapinya untuk mencari pakan. Di desa ini lokasi pengembalaan semakin menyempit karena masuknya pariwisata. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Kisah dua orang guru dari daerah yang berbeda ini menjadi gambaran, bahwa peternakan sapi menjadi keseharian masyarakat Lombok. Bahkan bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pun masih memelihara sapi.

Guru besar peternakan Universitas Mataram Prof. Yusuf Ahyar Sutaryono, Ph.D mengatakan ternak memiliki fungsi ekonomi dan sosial di masyarakat NTB. Sebagai fungsi ekonomi, ternak adalah tabungan hidup. Bisa dijual sewaktu-waktu dibutuhkan.

Kisah peternak yang bisa naik haji, menguliahkan anak mereka merupakan gambaran ternak sebagai tabungan investasi. Ternak juga sebagai bahan pangan, jika sewaktu-waktu terjadi krisis. Selain itu ternak sapi memiliki fungsi sosial digunakan dalam acara-acara sosial dan acara adat.

“Itulah sebabnya masyarakat memelihara ternak,’’ katanya diskusi industrialisasi sektor peternakan di NTB pada Minggu (26/01/2024).

 

Industrialisasi Peternakan

Ada dua cara pemeliharaan sapi yaitu dengan cara mengandangkan dan menggembalakan. Sapi dibuatkan kandang khusus yang biasanya masih satu halaman dengan rumah, pemiliknya mencarikan pakan. Tradisi ini kemudian disebut ngawis, yang secara harfiah berarti menyabit.

Cara kedua adalah dengan melepaskan ke ladang penggembalaan, yang dikenal dengan sebutan ngarat. Sapi dilepaskan di ladang penggembalaan yang biasanya status lahannya adalah tanah GG (governor ground) yaitu tanah kosong tidak berpemilik, atau kadang tanah kawasan hutan.

Di Sumbawa dan Sumbawa barat, ladang penggembalaan ini disebut dengan lar. Semacam tanah ulayat yang dijadikan sebagai lokasi khusus ladang penggembalaan. Ternak yang digembalakan adalah sapi, kerbau, dan kuda.

baca juga : Kala ‘Rumah’ Kerbau Tergusur, Budaya Orang Lombok Bakal Terkubur

 

Seorang penggembala menghalau ternaknya agar menjauh dari bandara internasional Lombok, NTB, karena bisa membahayakan penerbangan. Beberapa kali Satpol PP menertibkan pengembala di sekitar bandara. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Sayangnya sistem penggembalaan ini semakin berkurang. Di Lombok, lokasi-lokasi yang dulunya dikenal sebagai ladang penggembalaan beralih fungsi. Lokasi yang paling dikenal adalah Kawan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika.

Lokasi yang menjadi lintasan balap Sirkuit Mandalika, 10 tahun lalu masih menjadi lokasi penggembalaan kerbau dan sapi. Bahkan hingga saat ini masih ada beberapa peternak yang menggembalakan ternak di sekitar sirkuit.

Di Lombok Timur, kawasan penggembalaan yang cukup luas adalah Tampah Boleq, Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru. Belakangan kawasan penggembalaan ini berubah menjadi kawasan wisata. Lahan penggembalaan yang dulunya diakui sebagai tanah ulayat, kini beralih tangan ke investor pariwisata. Beberapa kali terjadi konflik antarawarga dengan investor, terakhir terjadi perusakan tembok pembatas dan pembakaran hotel milik investor oleh warga.

Guru besar peternakan Universitas Mataram Prof. Dahlanuddin, Ph.D mengatakan salah satu kendala pengembangan peternak sapi di NTB adalah lahan. Sebagian besar lahan menjadi lahan tanaman pangan. Ladang penggembalaan yang ada semakin berkurang sehingga daya tampung berkurang. Karena itulah Prof. Dahlanuddin dan Prof. Yusuf Ahyar Sutaryono mendorong pemanfaatan lahan kering untuk peternakan sapi.

“Lahan kering di NTB sangat luas,’’ katanya dalam acara diskusi industrialisasi sektor peternakan.

Dahlanuddin dan Yusuf melakukan riset bertahun-tahun untuk pengembangan pakan ternak di NTB. Salah satu pakan yang dikembangkan adalah tanaman Lamtoro taramba. Pada tahun 2011, benih Lamtoro taramba diimport dari Australia. Benih itu kemudian dikembangkan bekerjasama dengan University Queensland Australia, Balai Perlindungan Tanaman Pertanian (BPTP) NTB dan Universitas Mataram.

Sepanjang tahun 2011-2015, Lamtoro taramba itu disebar ke sentra-sentra peternakan. Hasilnya cukup memuaskan. Selain memenuhi kebutuhan pakan ternak khususnya pada musim kemarau, penggunaan pakan Lamtoro taramba juga menaikkan bobot sapi.

“Dari sebelumnya 0,2 kg/hari naik menjadi 0,4-0,6 kg/hari,’’ katanya.

baca juga : Nasib Warga yang Terkurung Sirkuit Mandalika

 

Ternak sapi dibiarkan masuk ke jalan lintas Pulau Sumbawa, NTB, yang bisa membahayakan pengendara. Lahan pengembalaan di Sumbawa yang disebut lar semakin menyempit. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Lamtoro taramba ini juga memiliki manfaat ekologis sebagai tanaman pada lahan-lahan tandus. Saat lahan itu akan digunakan pada musim hujan, masih bisa ditanami tanaman semusim. Sehingga Lamtoro taramba ini tidak bersaing dengan tanaman pangan.

“Daerah yang kritis bisa diperbaiki dengan menanam Lamtoro taramba,’’ katanya.

Dahlanuddin menunjukkan foto-foto lahan kritis di Pulau Sumbawa yang hijau berkat Lamtoro taramba. Selain itu ditunjukkan juga foto peternakan sapi yang memanfaatkan Lamtoro tarabba itu. Dalam proses risetnya, Dahlanuddin juga menemukan daging sapi dengan pakan Lamtoro taramba ini memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan sapi yang diberikan pakan sembarangan.

 

Daging Sapi Premium

Dahlanuddin membuktikan itu dengan membuka restoran khusus untuk daging sapi premium. Daging sapi premium itu berasal dari ternak yang dipelihara peternak lokal dengan pakan Lamtoro taramba. Tidak ada perlakuan khusus.

“Sebenarnya dulu cari investor, tapi belum dapat. Untuk membuktikan riset kami itu, saya bikinlah usaha itu,’’ katanya.

Dari pengalaman ini, kata Dahlanuddin, potensi besar peternakan sapi di NTB semakin lebar. Apalagi NTB sebagai daerah pariwisata membutuhkan daging sapi premium. Selama ini sebagian besar sapi berakhir di rumah potong, harganya sama rata. Padahal jika proses pemotongan itu dilakukan dengan baik dan memerhatikan prinsip pemotongan yang profesional, beberapa bagian daging bisa bersaing masuk hotel dan restoran.

“Selama ini berakhir di pedagang lokal, berakhir  untuk pasar konsumsi tradisional. Tidak ada nilai tambah bagi peternak,’’ katanya.

baca juga : Kisah Knickers, Sapi Raksasa yang Menarik Perhatian Masyarakat Dunia

 

Sapi di Gili Trawangan, Lombok Utara, NTB, memakan sampah. Jauh sebelum berkembang jadi pariwisata, masyarakat di sini berprofesi sebagai petani/peternak dan nelayan. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Prof. Yusuf Ahyar mengatakan, secara kualitas daging sapi lokal yang dikembangkan oleh peternak di NTB mampu bersaing dengan daging impor. Dia membenarkan bahwa kualitas daging sapi premium yang diberi nama Lamtoro Beef itu sudah teruji. Disajikan dalam berbagai acara, dipromosikan, dan mendapat respon positif dari pembeli.

Hanya saja, untuk melindunginya perlu kebijakan pemerintah. Dengan diatur ketat kebijakan import daging sapi penting untuk melindungi peternak lokal. Begitu juga memastikan kesehatan ternak sapi, dan bisa diserap ke pasar-pasar khusus seperti di industri.

Selama ini daging sapi peternak lokal sulit, bahkan tidak bisa masuk ke industri itu. Besar kemungkinan mendatangkan daging import dan daging beku. Sapi diimport dari Australia dan daging beku didatangkan dari India.

Pemerintah perlu memfasilitasi modernisasi peternakan sapi. Mulai dari sistem pemeliharaan, penyediaan pakan, perawatan, pemotongan, dan pengolahan. Kerja-kerja seperti ini bisa dilakukan, sebab peternak sapi NTB bisa cepat belajar jika didampingi.

Selain itu setiap tahun ada kebiasaan peternak NTB mengirim sapi ke Pulau Jawa, terutama menjelang Idul Adha. Ke depannya bukan sekadar mengirim sapi hidup, tapi bisa berupa daging sapi premium.

“Peternak kita perlu mendapatkan keuntungan lebih,’’ pungkasnya.

 

Alih Fungsi Hutan

Peternakan sapi jika dilakukan dalam skala peternakan kecil  dan tradisional tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan, tapi jika dilakukan dalam skala industri menjadi ancaman serius bagi kelestarian hutan. Dalam beberapa kasus izin peternakan sapi, lahan yang digunakan masuk dalam kawasan hutan. Kasus ini terjadi di Kepulauan Aru, Maluku.

Forest Watch Indonesia (FWI) melakukan analisis data terhadap perusahaan yang mendapatkan izin peternakan sapi di  Kepulauan Aru. Tiga Perusahaan yang dianalisis adalah PT Bintang Raya, PT Kuasa Alam Gemilang, dan PT Ternak Indah Sejahtera. Dari izin ketiga Perusahaan ini, 16.649,18 hektar berada di dalam hutan alam, 6.860 hektar di savana, 5.166,02 hektar di hutan mangrove, dan 1.410,13 hektar berada di dusun sagu.

Peternakan sapi skala industri membutuhkan lahan yang luas. Salah satu yang bisa dilakukan perusahaan adalah dengan menebang pohon yang berada di dalam kawasan hutan. Selanjutnya, peternakan sapi skala besar membutuhkan sumber pakan. Lagi-lagi kawasan hutan yang akan dikorbankan. Rumput yang tersedia di sekitar peternakan belum tentu tersedia. Sehingga bisa saja, lahan perizinan peternakan akan menjadi lahan penyediaan pakan.

Data penelitian World Resources Institute (WRI)  memperlihatkan tujuh komoditas agrikultur seperti peternakan, sawit, kedelai, kakao, karet dan perkebunan kayu menyebabkan kehilangan 26 persen atau sekitar 71,9 juta hektar tutupan pohon dunia dari 2001-2015. Dari berbagai komoditas itu, peternakan sebagai penyumbang kehilangan hutan tertinggi, disusul sawit, kedelai, kakao, kebun karet, kopi, dan perkebunan kayu.

Direktur WALHI NTB Amry Nuryadin menyebut kerusakan hutan di NTB terjadi akibat pertambangan, pariwisata dan alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan yang mendapat sorotan adalah pertanian jagung. Lumrah dijumpai para petani juga memiliki sapi, yang sumber pakannya berasal dari kawasan hutan yang berubah fungsi itu. (***)

 

Catatan Redaksi : tulisan ini telah diperbaharui Jumat (23/02/2024)

 

Nasib Hutan dan Savana Kalau Peternakan Sapi Masuk Kepulauan Aru [1]

 

Exit mobile version