Mongabay.co.id

Teknologi CCS untuk Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia, Mau Dibawa Kemana?

Beberapa waktu yang lalu Carbon Capture and Storage (CCS) atau Penangkapan dan Penyimpanan Karbon banyak dibicarakan orang terutama setelah debat cawapres Gibran Rakabuming Raka yang melontarkan pertanyaan kepada Prof. Machfud M.D.

Dialog antara dua Cawapres itu sampai sekarang masih viral, dan menjadi trending topic untuk kalangan tertentu. Isu CCS ini kemudian dihubungkan dengan pembabatan hutan yang dilakukan untuk tujuan food estate di Kalimantan Tengah yang ditengarai gagal dan merusak fungsi hutan karena telah menghilangkan kapasitas hutan dalam menyerap CO2.

Seolah-olah seperti terlambat, tanggal 30 Januari 2024 yang lalu Presiden mengeluarkan Perpres No.14/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon. Perpres yang cukup tebal, berisikan 47 pasal ini berisikan acuan bagaimana kegiatan CCS bisa dilaksanakan di tingkat lapangan.

Beberapa kalangan meresponnya dengan antusias, namun banyak juga yang kurang sreg dengan Perpres yang cukup menyita waktu untuk membacanya.

baca : Teknologi Carbon Capture Efektif Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca?   

 

PLTU batubara Suralaya di Banten. Foto: Greenpeace

 

Yang Perlu Diluruskan

CCS adalah salah satu intervensi teknologi yang digunakan dalam aksi mitigasi perubahan iklim. Prosesnya terdiri dari tiga langkah, yaitu:

  1. menangkap karbon dioksida yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil atau batubara, atau dalam proses industri, misalnya dalam industri baja atau semen.
  2. mengangkut atau mengalirkannya melalui pipa; dan
  3. menyimpannya jauh di bawah

Istilah CCS juga dikenal sebagai proses penangkapan dan penyimpanan karbon dioksida (CO2) dimana CO2 yang relatif murni dipisahkan atau “ditangkap”, dikompresi dan diangkut ke lokasi penyimpanan untuk diisolasi secara permanen.

Selain CCS, ada lagi yang disebut CCUS (Carbon Capture and Utilization Storage), yaitu penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon. CCS dan CCUS sering digunakan secara bergantian. CCUS melibatkan ‘pemanfaatan’ karbon yang ditangkap untuk aplikasi lain. Salah satu contohnya adalah proses Enhanced Oil Recovery (EOR).

EOR adalah metode eksploitasi minyak di industri perminyakan yang secara umum bisa diartikan sebagai proses optimisasi pada sumur-sumur minyak agar minyak yang kental, berat, dan permeabilitasnya rendah dapat diangkat ke permukaan dan diproduksi kembali.

Kemudian juga ada istilah BECCS (Bio Energy Carbon Capture Storage) yang maksudnya adalah penangkapan bio-energy dan penyimpanan karbon. BECCS adalah teknik pengurangan emisi GRK yang melibatkan penerapan CCS pada bio-energi untuk mengurangi konsentrasi CO2 di lapisan atmosfir.

Menurut laporan Global CCS Institute pada tahun 2022, sampai dengan akhir 2030 diperkirakan akan terdapat lebih dari 190 proyek CCS berskala besar di seluruh dunia. Dari jumlah tsb, 11 sedang dibangun dan sisanya dalam berbagai tahap pengembangan. Dari jumlah tersebut, 80 proyek CCS berada di Amerika Serikat, 73 di Eropa (27 diantaranya di Inggris), 21 di wilayah Asia-Pasifik, dan 6 proyek CCS berada di Timur Tengah.

baca juga : Adopsi Teknologi dan Jalin Kolaborasi, Cara Lain Hadapi Perubahan Iklim

 

Seorang petani melihat asap dari cerobong PLTU di Indramayu, diduga terdampak PLTU. hasil pertanian sering rusak bahkan gagal panen. PLTU mengemisikan GRK termasuk emisi karbon. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Energi vs Kehutanan

Ketika orang banyak mengaitkan antara CCS dengan perusakan hutan, maka ada hal yang perlu diluruskan. CCS adalah tindakan mitigasi yang biasanya dilakukan di sektor energi dan industri, sedangkan di sektor kehutanan dikenal dengan REDD Plus.

Tindakan mitigasi di sektor kehutanan pada dasarnya dilakukan dengan melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, konservasi hutan, dan peningkatan stock karbon hutan melalui penanaman pohon.

Kesemuanya digabung dalam satu paket yang disebut REDD (Reducing Emission from deforestation and Forest Degradation) Plus. Jadi CCS tidak ada kaitannya dengan kerusakan hutan.

Walaupun CCS dan REDD Plus sama-sama merupakan aksi mitigasi, tetapi keduanya tidak sama. Bila CCS melibatkan high tech dan berbiaya mahal, maka REDD relatif lebih murah dan mudah dilakukan. Selain itu, CCS dilakukan secara langsung, artinya emisi yang keluar dari proses produksi langsung ditangkap dengan alat tertentu, dialirkan melalui pipa dan disimpan dalam perut bumi.

Sedangkan REDD dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui insentif kebijakan, reforestasi, aforestasi, dan implementasi pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Tujuannya untuk meningkatkan kapasitas serapan CO2 melalui proses fotosyntesa, yaitu merubah gas CO2 yang diserap pohon menjadi oksigen (O2) dalam waktu yang cukup lama. Kemudian menjaganya agar tidak terjadi kebocoran karena berbagai kepentingan manusia.

baca juga : Mengapa Indonesia Perlu Beralih ke Energi Terbarukan?

 

Sebanyak 80 persen polusi udara beracun terkait dengan pembakaran batu bara, minyak, solar, dan gas alam; pembakaran bahan bakar fosil untuk energi atau transportasi melepaskan sejumlah aerosol dan partikel kecil yang terkait dengan berbagai kondisi kesehatan, termasuk kanker paru-paru dan penyakit jantung. Foto : PBB/Taman Kibae melalui Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

 

Aksi Mitigasi di Indonesia

Sebagai negara yang telah meratifikasi Perjanjian Paris, Indonesia berkewajiban menurunkan emisi GRK-nya. Komitmen Indonesia telah dituangkan dalam Kontribusi Nasional yang telah ditentukan (Nationally Determined Contribution/NDC), dimana sampai tahun 2030 Indonesia berniat untuk menurunkan emisi GRK-nya dengan upaya sendiri (unconditional) sebesar 31,89%, dan dengan bantuan internasional (conditional) sebesar 43,2%. Berdasarkan target NDC tersebut maka porsi penurunan emisi GRK terbesar akan berasal dari Sektor Energi dan Sektor Kehutanan dan Tata Guna Lahan atau FOLU (Forestry and Land Use).

Pemerintah, via Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah berkomitmen untuk mencapai penurunan emisi GRK sebesar 140 juta ton CO2e pada tahun 2030, serta mendukung Net Zero Emission pada tahun 2060.

Hal ini merupakan rencana kontribusi Indonesia dalam agenda perubahan iklim global yang telah disampaikan ke UNFCCC. Dalam jangka panjang, visi Indonesia yang lebih ambisius tertuang dalam dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050, dimana kontribusi sektor kehutanan dilakukan melalui penurunan emisi dari berbagai kegiatan kehutanan dan lahan gambut, atau dikenal dengan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.

Pemilihan aksi mitigasi pada dasarnya harus dilakukan secara efektif dan efisien serta terukur. Pemilihan kegiatan penurunan emisi dapat dilakukan dengan membuat kurva peluang biaya mitigasi atau dikenal dengan abatement cost curve. Dengan menggunakan kurva ini maka akan terlihat kegiatan mitigasi mana saja yang paling murah dan dapat segera dilakukan tanpa biaya (cherry peaking actions), dan kegiatan mana saja yang memerlukan intervensi teknologi dan memerlukan biaya tinggi.

Kelompok pertama menjadi prioritas aksi mitigasi yang akan menggunakan dana APBN (unconditional), sedangkan kelompok kedua dicadangkan untuk dilaksanakan dengan bantuan luar negeri (conditional).

CCS merupakan aksi mitigasi yang berbiaya tinggi dan masuk dalam kelompok aksi mitigasi yang mahal karena memerlukan dukungan teknologi dan pendanaan dari luar negeri. Dalam rentang target penurunan emisi nasional yang disampaikan pemerintah melalui NDC, maka CCS mungkin bisa ditujukan untuk mengejar penurunan target maksimal 43,2%. Oleh karena itu, bagi Indonesia, CCS tidak menjadi prioritas utama dalam tindakan mitigasi perubahan iklim, khususnya yang menggunakan dana APBN. (***)

 

Doddy S. Sukadri*, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau

 

Exit mobile version