Mongabay.co.id

Ténéré, Pohon Paling Kesepian: Simbol Kehidupan di Tengah Ganasnya Gurun Sahara

Pohon Tenere, yang melegenda di tengah gurun Sahara

 

 

Di tengah Gurun Sahara yang gersang, tepatnya di kawasan Ténéré yang terletak di Negara Niger bagian timur laut, pernah berdiri tegak pohon luar biasa yang dinamai Pohon Ténéré. Pohon akasia soliter ini menjadi legenda, bukan hanya karena eksistensinya melawan ganasnya Gurun Sahara, tapi juga karena nilai budaya dan spiritual yang diyakini masyarakat sekitar.

Pohon tersebut kini telah tiada, namun legendanya abadi, hingga kini. Mari telurusi kisahnya.

 

Oasis Kehidupan di Tengah Sahara

Bayangkan, hamparan pasir tak berujung yang dibakar terik matahari di siang hari dan begitu dingin di malam hari. Itulah gambaran Gurun Ténéré, sebuah kawasan bagian Gurun Sahara, yang dikenal dengan lingkungan sangat tidak ramah bagi kehidupan. Namun, di tengah semua kesulitan tersebut, tumbuhlah Pohon Ténéré dengan gagahnya.

Pohon Ténéré [Acacia tortilis subsp. raddiana] ini menjadi satu-satunya pohon dalam radius 400 kilometer lebih. Keberadaannya bagaikan suar kehidupan di tengah segala kehampaan dan kesunyian Sahara. Sejak lama, para karavan yang melintasi gurun, baik pedagang maupun para penjelajah, menjadikan pohon ini sebagai penanda jalan dan sumber harapan untuk meneruskan perjalanan.

Kehadirannya seolah berbisik, “Kamu tidak sendirian. Aku berdiri teguh di sini, menjadi bukti bahwa hidup bisa menang melawan segala rintangan.”

Baca: Mengenal Sembilan Pohon Tertua, Tertinggi, dan Terbesar di Dunia

 

Pohon Ténéré tahun 1961 yang terlihat masih berdiri tegak. Foto: Michel Mazeau/Wikimedia Commons/CC BY-SA 2.0

 

Akar yang Mencari Sumber Kehidupan di Kedalaman Tanah

Tak pelak lagi, pertanyaan terbesar yang muncul adalah bagaimana mungkin pohon ini bisa bertahan hidup di lingkungan yang begitu ekstrem? Rahasianya terletak pada akarnya yang luar biasa.

Pohon Ténéré memiliki kemampuan unik untuk mencari sumber air, jauh di bawah gurun pasir. Akarnya menjalar hingga mencapai permukaan air tanah, yang dalamnya mencapai 33-36 meter!

Bayangkan, perjuangan akar-akar halus pohon ini menembus lapisan demi lapisan tanah kering untuk mencari sumber kehidupan yang tersembunyi jauh di bawah tanah. Kegigihan pohon ini membuat kagum banyak orang, termasuk penjelajah dan etnologis Prancis, Henri Lhote. Dia melihat Pohon Ténéré sebagai simbol ketahanan hidup yang pantang menyerah. Dalam bukunya L’épopée du Ténéré, dia menggambarkan dua perjalanannya ke Pohon Ténéré.

Kunjungan pertamanya tahun 1934 dalam rangka penyeberangan mobil pertama antara Djanet dan Agadez. Ia menggambarkan pohon itu sebagai, “Akasia dengan batang degeneratif, tampak sakit atau tidak sehat. Meski demikian, pohon itu memiliki daun hijau yang indah dan beberapa bunga kuning.”

Dia mengunjungi pohon itu lagi 25 tahun kemudian, pada 26 November 1959 dengan misi Berliet-Ténéré, tetapi menemukan bahwa pohon itu telah rusak parah setelah sebuah kendaraan menabraknya:

“Dulu, pohon ini hijau dan berbunga; sekarang menjadi pohon berduri tanpa warna dan gundul. Saya tidak bisa mengenalinya— ia memiliki dua batang sangat berbeda. Sekarang hanya ada satu, dengan tunggul di samping, … disayat, bukan ditebang satu meter dari tanah. Apa yang terjadi pada pohon malang ini? Sederhana saja, sebuah truk menuju Bilma menabraknya… padahal ada cukup ruang untuk menghindar… pohon tabu, pohon suci, pohon yang tidak berani disentuh oleh para nomad di sini dengan tangan mereka … pohon ini telah menjadi korban seorang mekanik..”

Benar, pohon itu terpotong separuh dan kondisinya rusak setelah sebuah truk menabraknya pada paruh kedua 1930-an. Seorang pengemudi yang ceroboh menabrak pohon tersebut dengan bagian belakang truknya, menyebabkan satu dari dua batang rapuhnya patah. Tidak hanya itu, si pengemudi bahkan tega memotong sisa batang tersisa, mungkin berniat menghilangkan jejak kecerobohannya.

Meski mengalami kerusakan parah dan tindakan kurang terpuji yang menyedihkan, Pohon Ténéré yang begitu dihormati masyarakat lokal, secara luar biasa masih mampu bertahan hidup setelah kejadian tersebut.

Baca juga: Pisang Raksasa Papua, Bisa Setinggi Pohon Kelapa

 

Monumen Pohon Ténéré dibuat tahun 1985, di lokasi pohon tersebut tumbuh. Foto: Holger Reineccius/Wikimedia Commons/CC BY-SA 3.0

 

Lebih dari Sekadar Pohon: Makna Budaya dan Spiritual

Bagi masyarakat sekitar, Pohon Ténéré bukan hanya keajaiban alam, tetapi juga memiliki makna budaya dan spiritual yang dalam. Menurut catatan sejarah, Pohon Ténéré merupakan pohon terakhir dari kelompok pohon yang tumbuh ketika gurun ini masih belum terlalu gersang seperti sekarang. Selama berdekade, pohon ini berdiri sendirian, menyaksikan perubahan drastis lingkungan sekitarnya.

Pada musim dingin 1938-1939, sebuah sumur digali dekat pohon tersebut. Hasilnya mengejutkan, ternyata akar Ténéré mencapai permukaan air tanah sejauh 33-36 meter. Pada 1939, awal Perang Dunia II yang melanda kawasan Afrika Utara, Komandan Misi Militer Sekutu Michel Lesourd, dikutip dari The Treeographer, menyaksikan keajaiban Pohon Ténéré dan berkata:

“Orang harus melihat pohon itu untuk percaya akan keberadaannya. Apa rahasianya? Bagaimana ia tetap hidup meskipun diinjak-injak banyak unta? Mengapa dalam setiap azalai [karavan pedagang garam yang melintas Sahara dengan menggunakan kawanan unta], tidak ada unta yang memakan dedaunan dan durinya?

 

Sisa bagian tubuh Ténéré disimpan dan dipamerkan di museum nasional di Niamey, Niger. Foto: Holger Reineccius/Wikimedia Commons/CC BY-SA 3.0

 

Mengapa para touareg yang memimpin karavan tidak memotong ranting atau cabangnya untuk membuat api untuk menyeduh teh mereka? Jawabannya hanyalah pohon itu dianggap sakral dan dihormati oleh siapapun. Ada semacam kepercayaan, aturan adat yang selalu dipatuhi.

Setiap tahun, azalai berkumpul di sekitar pohon ini sebelum menyeberangi Gurun Ténéré yang terkenal ganas. Akasia itu telah menjadi mercusuar hidup; ia adalah penanda pertama atau terakhir bagi azalai yang berangkat dari Agadez menuju Bilma [dua kota di negara Niger], atau sebaliknya.”

Setiap tahun, selama festival azalai, para toureg berkumpul di sekitar pohon dan melakukan ritual penghormatan. Mereka percaya bahwa pohon ini menjadi penjaga mereka selama perjalanan berbahaya melintasi gurun.

Menurut mereka, Pohon Ténéré lebih dari sekadar penanda jalan; ia adalah jembatan penghubung antara manusia dengan keluasan gurun, menjadi pengingat bahwa meski dalam keterasingan, mereka tidak pernah benar-benar sendirian.

 

Penghormatan untuk Pohon Ténéré dengan dibangun instalasi dari daun yang diterangi lampu. Foto: Steve Jurvetson/Flickr/ Attribution (CC BY 2.0)

 

Tragedi yang Membunuh Sang Legenda

Namun, kisah Pohon Ténéré harus berakhir tahun 1973. Sebuah kecelakaan tragis merenggut eksistensinya. Seorang pengemudi truk berkebangsaan Libya, yang mungkin tidak menyadari pentingnya pohon tersebut, secara tidak sengaja menabraknya hingga tumbang.

Sang pohon yang berdiri kokoh selama berabad pun roboh, meninggalkan kekosongan dan duka mendalam bagi banyak orang, karena Ténéré lebih dari sekadar pohon; ia adalah teman, saksi bisu perjalanan tak terhitung, dan simbol harapan yang telah tiada.

Kini, sisa-sisa Ténéré disimpan dan dipamerkan di museum nasional di Niamey, Niger. Sebuah monumen dibangun di tempat pohon tersebut pernah berdiri kokoh.

Meskipun terbuat dari potongan logam dan tidak bisa menandingi keindahan aslinya, monumen tersebut setidaknya menjadi pengingat akan keberadaannya. Bentuknya lebih mirip antena daripada pohon, tapi setidaknya ada sesuatu tersisa.

Setahun setelah kematiannya, Republik Niger mengeluarkan prangko peringatan dengan foto pohon legendaris itu. Dan penghormatan tidak berhenti sampai di situ.

Pada festival Burning Man 2017, sebuah penghormatan lain untuk Pohon Ténéré dibangun dengan bantuan donasi dari seluruh dunia. Instalasi setinggi tiga lantai ini menampilkan lebih dari 25.000 daun yang dipenuhi lampu LED menyala. [Berbagai sumber]

 

Sejarah Memilukan Asal Mula Istilah “Tree Hugger” atau Para Pemeluk Pohon

 

Exit mobile version