Mongabay.co.id

Mengapa Perdagangan Online Satwa Dilindungi Terus Marak?

 

 

 

 

 

Perdagangan online satwa langka dilindungi ters terjadi. Orangutan, harimau, gajah, trenggiling, burung-burung endemic Sumatera, Kalimantan, Maluku sampai Papua, terus jadi sasaran perburuan dan perdagangan. Model penjualan online seperti di media sosial Facebook, masih jadi pilihan bagi para pemain.

Mongabay menelusuri perdagangan satwa liar dilindungi lewat penjualan online di Facebook dan menemukan banyak akun pribadi diduga penadah atau penjual satwa seperti orangutan, harimau, trenggiling, lutung Jawa, dan lain-lain.

Dari penelusuran, ditemukan akun-akun yang aktif membagikan foto atau video satwa dengan status dijual. Mereka ada yang mencantumkan jaminan dilengkapi surat-surat resmi.

Akun Kang Tupai menampilkan foto tiga kucing kuwuk atau kucing hutan yang masuk satwa liar dilindungi di Indonesia.

“Jantan betina ad. Lok stabatt. Bantu kawan hewan Langkat. Siap kirim-kirim,” tulisnya lewat unggahan di Facebook 11 April 2023.

Ada juga foto trenggiling berukuran besar dengan posisi melingkar dan dipegang tangan kirim diunggah akun Rokim Pets.

“TG kg. Rekber on. Kirim-kirim seputar Jawa aja,” tulisnya di Facebook.

Akun Facebook terkunci bernama Hars Shukla, pada 13 Agustus 2023, ikut mengunggah orangutan dengan status kondisi tersedia.

“Orangutan in stock. For more information and video please contact (picture from internet),” sebutnya lewat unggahan yang kemudian dikomentari beberapa akun.

Mongabay juga menemukan akun Rio Dar. Tertulis kalau satu bayi orangutan siap pada 16 Agustus 2023. Juga, satu satwa langka terancam punah bernama latin prinodon linsang dari Kepulauan Bangka Belitung ikut dia posting pada 20 Agustus 2023.

Satwa-satwa langka dan dilindungi dari hutan Indonesia ini terus terancam yang dijual lewat online.

Berdasarkan data Garda Animalia, Facebook masih menjadi satu platform media sosial pilihan yang terus digunakan penadah atau penjual untuk memperdagangkan multi spesies sampai saat ini.

Meski jumlah grup Facebook yang digunakan untuk berjualan satwa makin berkurang, tetapi jumlah yang terjual makin meningkat.

Sejak 2015-2023, ada sekitar 113.608 iklan dari 12.597 akun penjual menawarkan satwa multi spesies melalui Facebook. Dalam periode sama, setidaknya ada 82.155 satwa multi spesies berhasil dijual ke 7.384 akun peminat. Ada sekitar 1.453 grup Facebook yang mewadahi aktivitas terlarang itu. Pulau Jawa,  menjadi wilayah paling banyak memiliki grup-grup Facebook itu.

Tak hanya itu, mayoritas atau sekitar 61% perdagangan satwa ini adalah pedagang kecil, sisanya,  peminat, pemelihara, dan perdagangan besar.

Mereka rata-rata menjual dengan harga Rp1.139.232 per satwa.

Sedangkan Jawa Barat, sebut Garda Animalia,  jadi provinsi yang teridentifikasi paling banyak aktivitas perdagangan ilegal satwa liar di Facebook.

Robby Padma, Koordinator Pemantauan Perdagangan Satwa Garda Animalia mengatakan, bagi penadah atau penjual, Fecabook, masih jadi media sosial dengan keamanan lebih terjamin dibandingkan di pasar-pasar hewan. Terlebih lagi, katanya, ada kemudahan dalam bertransaksi di Facebook.

Selain itu, katanya, aparat penegak hukum belum bisa optimal mendeteksi dini kejahatan perdagangan satwa liar melalui media sosial. Aparat, katanya,  juga belum optimal pendekatan multidoor dalam penanganan kasus kejahatan satwa liar guna memberikan efek jera kepada para pelaku.

Tak heran kalau aparat kerap kewalahan karena sindikat makin gesit dan canggih dengan jejaring lokal sampai global melalui media sosial.

Robby bilang, penadah atau penjual terus melakukan adaptasi untuk menghilangkan jejak kejahatan yang mereka lakukan terhadap satwa di media sosial, hingga sulit terdeteksi aparat.

“Hingga perdagangan ilegal satwa liar masih terus terjadi di media sosial, terutama Facebook.”

Kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program, pada April 2021-Maret 2022 menemukan hal serupa. Facebook menjadi platform paling banyak memuluskan aktivitas terlarang itu.

Hal itu terungkap dalam webinar Penguatan Kajian Pencegahan Perdagangan & Peredaran Satwa Liar di Indonesia Berbasis Daring diadakan Departemen Kriminologi Universitas Indonesia tahun lalu.

 

 Baca juga: Miris, Perdagangan Satwa Liar Online Makin Marak

Tangkapan layar salah satu akun di Facebook, yang menjual satwa langka dilindungi, salah satu trenggiling.

 

Krismanko Padang, analis kebijakan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik, KLHK mengatakan, 45 dari 60 jenis satwa yang diperdagangkan di platform milik Mark Zuckerberg itu merupakan satwa dilindungi. Padahal, katanya,  di Indonesia, perdagangan satwa liar dilindungi merupakan tindak pidana.

“Sayangnya, saat ini hukuman masih belum sebanding dengan kerugian yang dibebankan kepada lingkungan,” katanya.

Perdagangan ilegal satwa liar sebagai salah satu kejahatan transnasional terbesar di dunia setelah perdagangan narkoba, pemalsuan/peniruan, perdagangan orang, dan minyak.  Secara global, perkiraan Uni Eropa terhadap transaksi perdagangan ilegal satwa liar mencapai US$2-20 miliar per tahun.

Data Kepolisian Internasional (Interpol) menyebutkan,  perniagaan haram ini tetap bertumbuh 5-7% saban tahun di seluruh dunia. Indonesia,  tercatat sebagai negara ‘ekspor’ produk satwa liar terbesar di dunia, setelah negara Jamaica.

KLHK mencatat,  perdagangan satwa liar di Indonesia berkisar antara US$7,8 miliar dan US$19 miliar per tahun dari 2018-2017. Kerugian negara dampak perdagangan dan peredaran satwa liar berbasis daring itu sebesar Rp9 triliun per tahun. Perhitungan kerugian itu keluar pada 2013 dan belum ada rujukan terbaru pada perkiraan kerugian saat ini.

Namun, Wildlife Conservation Society (WCS) memperkirakan kehilangan nilai ekonomi Indonesia dampak bisnis kotor itu bisa mencapai US$1 miliar per tahun. Nilai itu, dapat lebih besar lagi kalau dihitung kerugian kerusakan ekologi, ekosistem, hilangnya keragaman hayati dan spesies tertentu.

Penelitian Setyo Hari Sukoco dari Universitas Budi Luhur juga menemukan, perdagangan ilegal satwa liar dilindungi melalui media sosial (Facebook) merupakan aktivitas sangat kompleks dan dikendalikan kelompok kriminal yang terorganisir baik.

Setyo menemukan, perdagangan satwa liar ilegal merupakan industri besar terdorong permintaan untuk berbagai keperluan seperti obat-obatan, barang konsumsi, serta status sosial dari kepemilikan satwa-satwa itu.

Dalam proses perdagangan, Setyo pun menemukan harga-harga satwa liar pasaran global. Misal, tulang harimau lebih US$200, sepasang taring US$6.200-7.200. Harimau hidup dewasa US$50.000, anak harimau hidup US$3.200, dan seluruh kulit U$35.000.

Ada juga gading gajah lebih US$2.000 per kilogram, sedangkan cula badak US$66.000 per kilogram, melebihi nilai emas atau platinum.

“Harga-harga ini dapat meningkat secara eksponensial lebih tinggi dalam rantai pasokan,” tulis Setyo.

 

 

Tangkapan layar di akun Facebopok, Rio Diar, yang menjual orangutan. Perdagangan satwa ilegal secara online masih terus marak.

 

Hukum Indonesia lemah?

Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2017, Indonesia merupakan negara dengan kekayaan biodiversitas terestrial tertinggi kedua di dunia. Bahkan, jika digabungkan dengan keanekaragaman hayati di laut, Indonesia menjadi yang pertama. Meski hanya menempati 1,3% luas daratan bumi, namun Indonesia punya sekitar 17% satwa di seluruh dunia.

Catatan KLHK, Indonesia memiliki 35.000-40.000 spesies tumbuhan (11-15%), 707 spesies mamalia (12%), 1.602 spesies burung (17%), dan 2.184 spesies ikan air tawar (37%). Kemudian, 350 spesies amfibi dan reptil, 2.500 spesies moluska, 2.000 spesies krustasea, enam spesies penyu laut, 30 spesies mamalia laut, dan lebih 2.500 spesies ikan.

Indonesia juga menjadi rumah bagi beragam satwa langka dan asli yang tak bisa ditemukan di tempat lain. IUCN (2013) menyatakan,  terdapat 259 jenis mamalia, 384 jenis burung, dan 173 jenis amfibi endemik Indonesia.

Dengan keanekaragaman hayati tinggi ini, perdagangan ilegal satwa liar menjadi tantangan serius dan membawa Indonesia memasuki situasi krisis yang mengancam keberlangsungan hidup satwa-satwa liar.

Bahkan,  perdagangan satwa ini bisa mendorong kepunahan satwa-satwa liar dan endemik di Indonesia.

Sebenarnya, kerangka hukum internasional seperti Convention of International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) telah menyediakan payung kebijakan yang baik untuk mengatur peredaran perdagangan satwa liar secara legal serta pencegahan terhadap perdagangan ilegal.

Namun, menurut penelitian Haidar Zacky Alfarissy As dari Universitas Islam Indonesia pada 2022 menemukan, CITES tidak memberikan keberhasilan baik untuk menekan perdagangan ilegal satwa liar di dunia. Akibatnya, banyak negara-negara kehilangan spesies hewan langkanya, seperti Indonesia.

Rony Saputra, Direktur Hukum Auriga Nusantara mengatakan, kerangka hukum Indonesia masih memberikan celah bagi peredaran perdagangan satwa ilegal dengan hukuman ringan. Misal, UU Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, hanya maksimum lima tahun penjara dan denda Rp100 juta kepada pelaku perdagangan ilegal satwa liar.

Denda sangat kecil berbanding keuntungan yang bakal diraup para cukong atau aktor intelektual di balik bisnis kotor itu.

“Pemain besar“ bisa menikmati selisih nilai ekonomi jauh lebih tinggi dari proses perdagangan ilegal satwa liar itu. Tambah miris lagi, para pemburu satwa liar menjadi pihak yang mendapatkan keuntungan ekonomi paling kecil dan tetap miskin.

Pada pemain besar, bisnis ini memberikan keuntungan besar dengan risiko kecil. Faktor ini diduga jadi pemicu kejahatan satwa liar dan dilindungi terus berlangsung.

“Inilah mengapa kita dapat melihat,  kejahatan perdagangan ilegal satwa liar juga suatu fenomena terhadap eksploitasi kemiskinan,” kata Rony kepada Mongabay, 8 Februari lalu.

Selain itu, katanya, UU No. 5/1990 juga belum mengatur bentuk perdagangan satwa liar secara daring sebagai modus operandi kejahatan satwa liar dilindungi.

Dia bilang, regulasi itu sudah ketinggalan zaman dan tak pernah ada evaluasi dan revisi. Padahal, katanya,  kejahatan perdagangan ilegal satwa liar berkembang cepat.

 

 

Ada juga, kata Rony,  UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Transaksi Elektronik dan UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.  Kedua UU,  katanya, juga belum memuat norma soal pencegahan perdagangan satwa liar dilindungi. Dia bilang, dua UU itu tak bisa untuk menjerat pelaku perdagangan ilegal satwa liar secara daring.

“Saat ini,  secara pidana masih gunakan pendekatan UU Konservasi, pilihan lain UU Lingkungan Hidup dengan cara menggugat pelaku lewat pendekatan perdata.”

Rony bilang, perlu ada perbaikan regulasi, terutama UU KSDAE dan penegakan hukum secara kolaborasi. Dalam kasus perdagangan satwa ilegal ini, katanya, melibatkan banyak sektor, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Imigrasi, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Belum lagi, kata Rony, tidak sedikit juga dalam kasus-kasus perdagangan ilegal satwa liar yang pelaku dibekingi aparat. Bahkan, katanya,  ada juga pelaku utama malah aparat penegak hukum itu.

Belum lagi,  wilayah Indonesia yang begitu luas hingga pelaku perdagangan satwa ilegal bisa mencari jalur-jalur tikus serta melakukan berbagai cara guna memuluskan bisnis kotornya itu.

Berdasarkan hasil laporan Perkumpulan SKALA dengan judul “Potret Perdagangan Ilegal Satwa Liar di Indonesia 2016,” menemukan, bagaimana perdagangan ilegal satwa liar relatif lebih mudah melintas antar-provinsi maupun antar-pulau di Indonesia, bahkan menjangkau batas-batas negara.

Laporan itu mengatakan, bandara dan pelabuhan laut merupakan titik strategis bagi rute perdagangan satwa liar. Di mana satwa-satwa itu umumnya diselundupkan melalui bis, mobil, diselipkan pada barang-barang pribadi, atau jasa paket dengan pernyataan palsu untuk menembus pemeriksaan.

Robby Padma, dari Garda Animalia menambahkan, perlu ada penguatan regulasi dalam UU ITE yang tak menyertakan norma berkaitan pelarangan perdagangan ilegal satwa liar dilindungi secara daring.

Selain itu, juga perlu peningkatan kapasitas aparat dalam mendeteksi iklan-iklan perdagangan satwa liar melalui media sosial, dan modus mereka.

Dia bilang, perlu ada pengembangan alat deteksi dini dalam melacak perdagangan ilegal satwa liar secara daring. Antara lain, pembentukan tim patroli siber atau pengoptimalan penggunaan teknologi terkini dan harus ada peninjauan ulang terhadap aturan komunitas dengan obyek utama satwa liar yang dilarang.

“Perlu ada penguatan pendekatan multidoor dalam penanganan kasus kejahatan perdagangan ilegal satwa liar, serta memperkuat kolaborasi lintas sektoral.”

 

Bayi lutung Jawa ini selamat dari aksi pedagangan satwa online di Malang. Foto: COP

 

Daerah sasaran

Untuk daerah asal satwa, kata Dwi Nugroho Adhiasto, Technical Advisor Yayasan SCENTS, banyak dari Sumatera, kebanyakan dikirim ke negara Vietnam dan Tiongkok lewat jalur laut.

Sumut dan Aceh,  katanya, dengan kawasan pesisir timur yang berbatasan Selat Malaka dan semenanjung Malaysia, menjadi traffic point “jalur tikus” dalam menyelundupkan satwa dari Asia Tenggara dan Afrika.

Berdasarkan hasil pemetaannya, kawasan pantai timur paling rawan penyelundupan satwa liar, terutama di perairan Belawan, Langkat, Langsa dan Aceh Tamiang,  dengan memanfaatkan jalur kecil sebagai akses keluar dan masuk.

“Sumut menjadi salah satu tempat perburuan karena ada kawasan konservasi seperti Taman Nasional Gunung Leuser, suaka margasatwa dengan sumber daya alam penting,” katanya.

Dwi bilang, pelaku perdagangan satwa liar dilindungi memanfaatkan pelabuhan-pelabuhan kecil di sekitar pelabuhan resmi. Begitu sudah di tengah laut, selanjutnya memindahkan ke kapal besar.

Untuk itu, kata Dwi, petugas harus lebih ketat melakukan penjagaan dan patroli di titik-titik rawan ini. “Lewat pelabuhan kecil, kemudian pemindahan satwa di tengah laut,” katanya.

Dia bilang, rantai perburuan dan perdagangan satwa liar dilindungi sulit ditebas habis sepanjang area rumah tinggal hewan tak terawasi maksimal. Lalu, ada target, ditambah masih ada pelaku termotivasi melakukan kejahatan.

Dwi menganalogikan  dengan narkoba, walau pemerintah dan aparat mengawasi dan menjaga di jalur-jalur rawan penyelundupan, peredaran tetap ada selama masih ada pasar, pembeli dan komunitas kejahatan.

Selain itu, katanya, keuntungan yang mereka peroleh pun lebih besar dibanding risiko.

“Ditambah ada area-area yang kurang penjagaan patroli karena sumber daya manusia.”

 

 

Pemodal manfatkan masyarakat lokal

Dwi mengatakan, pemodal banyak memanfaatkan masyarakat lokal untuk mendapatkan satwa liar dilindungi, karena mereka yang berdekatan dengan sumber satwa.

Pemodal, katanya,  memiliki jaringan terorganisir dan saling keterkaitan.

“Pasar penjualan banyak ke China untuk tulang harimau atau sisik trenggiling, sirip hiu dan burung kakak tua juga, termasuk ke Timur Tengah serta Asia Selatan. Jadi, antara negara tujuan dengan negara sumber satwa ada keterkaitan tadi di level tingkat tingginya,” katanya.

Untuk kadal-kadalan (ular) pasar ke Eropa, Jepang dan Australia. Orangutan pasar ke Thailand, India dan Myanmar dengan melewati Malaysia.  Jangkauan satwa Indonesia ke luar negeri, katanya,  sangat luas.

“Beberapa satwa dari Indonesia seperti nuri, kasuari sebelum dibawa ke negara tujuan, biasa melewati Thailand dan Philipina sebagai tempat transit.”

Untuk harimau,  pasar juga di Indonesia, terutama bagian kulit yang diminati para kolektor, sedangkan daging, tulang atau taring laku di Vietnam dan Tiongkok.

 

Oknum aparat terlibat

Mulusnya lalu lintas perdagangan satwa liar dilindungi di dalam maupun luar negeri, dari analisis Dwi, ada campur tangan oknum militer, polisi, karantina dan lain-lain dengan peran mulai dari backing hingga sebagai pedagang, atau konsumen.

Dia contohkan,  keterlibatan oknum TNI AL dalam perkara penyitaan ratusan burung endemik Papua, seperti nuri kepala hitam, kakak tua raja, cenderawasih, kakak tua jambul kuning, elang Irian, kuskus, dan lain-lain di Kapal Perang TNI AL Teluk Lada 521, September 2022.

Penyelundupan satwa liar lewat perairan Indonesia rawan karena kawasan luas dengan penjagaan minim. Titik lemah itu, katanya,  para penjahat manfaatkan untuk bisa melewati dari satu pulau ke pulau lain.

Oknum-oknum yang terlibat, katanya, memanfaatkan kekuasaan dan mengamankan jalur penyelundupan karena pelaku melakukan suap atau iming-iming.

Pada kondisi ini, perlu peran aktif masyarakat untuk melaporkan aktivitas yang mengarah pada dugaan perdagangan satwa liar dilindungi ke petugas keamanan.

“Sebagian besar kasus terungkap berasal dari masyarakat yang berbagi informasi. Kemudian petugas harusnya aktif menginvestigasi jalur-jalur baru yang bisa digunakan penjahat sebagai akses.”

 

 

********

 

Perdagangan Satwa Liar Online Makin Mengkhawatirkan

Exit mobile version