Mongabay.co.id

Kredit Karbon dan Pasar Sukarela Hutan: Solusi atau Hanya Pengalihan Isu?

default

 

Di awal tahun 2023, perdagangan karbon sukarela global meningkat. Mengacu pada jumlah karbon yang akan di-offset (ditebus), nilai pasar di tahun 2022 mencapai 2 miliar dolar AS, dan diproyeksikan akan tumbuh hingga 10 miliar dolar AS, -bahkan 100 miliar dolar AS, pada tahun 2030. Bahkan dapat menjadi triliunan pada tahun 2050.

Para pendukung mekanisme perdagangan karbon sukarela ini mengklaim bahwa pendanaan ini akan menjawab aksi iklim yang dibutuhkan untuk mengkonservasi hutan, saat dimana dana pemerintah tidak mencukupi. Pihak individu, perusahaan, dan negara dapat memberikan restitusi atas emisi karbon untuk menghambat perubahan iklim.

Namun, sebuah publikasi yang diterbitkan oleh The Guardian, Die Zeit dan organisasi nirlaba Source Material pada 18 Januari 2023 menerbitkan artikel yang menyebut lebih dari 90% kredit karbon dari serangkaian proyek konservasi hutan tidak mempunyai dampak nyata terhadap perubahan iklim.

Di artikel tersebut, para jurnalis menyatakan jika manfaat bagi hutan yang menjadi sumber kredit dan nilai kreditnya terhadap iklim, sebagian besar telah mengalami inflasi, atau bahkan tidak ada sama sekali.

Kritik semacam itu bukan hal baru. Di akhir tahun 1980an, investigasi yang dilakukan Bloomberg Green pada tahun 2022 menunjukkan banyak kredit karbon yang sebagian besarnya berasal dari proyek energi terbarukan dijual kepada perusahaan untuk mengimbangi emisi karbon yang mereka hasilkan.

Demikian pula, investigasi yang dilakukan The New Humanitarian dan Mongabay pada bulan September 2023 memunculkan pertanyaan serius tentang klaim PBB yang menyebut hampir seluruh jejak operasinya netral karbon berdasarkan pembelian kredit karbon.

Tentu saja laporan The Guardian pada awal tahun 2023 mendapat bantahan. Verra, badan sertifikasi kredit karbon terbesar di dunia dan pembela pasar karbon, melancarkan serangan balasan secara gencar.

Verra dan pendukungnya mengatakan analisis tersebut sebagian besar bergantung pada studi ilmiah yang belum ditinjau secara peer-review. Verra juga mengatakan meski metodologi penghitungan karbonnya belum sempurna, begitu pula alternatif yang disajikan dalam penelitian ini. [Catatan redaksi: Publikasi tersebut telah diperiksa oleh ilmuwan lain dan diterbitkan jurnal Science, meski masih menjadi subyek kontroversi].

Di saat Verra mulai meluncurkan rancangan pedoman terbaru untuk meningkatkan transparansi dan “integritas” di pasar, CEO Verra mengundurkan diri pada bulan Mei,

Dampaknya, banyak perusahaan, yang berpikir ulang kepada penebusan karbon, karena kekhawatiran dituduh melakukan “greenwashing” dalam operasi mereka. Pada bulan Juni, Nestlé membatalkan janjinya untuk menjadikan beberapa mereknya netral karbon. Ini untuk menghndari tuntutan hukum jika terjadi kesalahan penafsiran netralitas iklim.

Royal Dutch Shell juga memutuskan membatalkan investasi yang direncanakan sebesar $100 juta dalam bentuk offset. Sementara itu, tuntutan hukum atas klaim netralitas karbon Delta Airlines yang berbasis di AS juga mendapatkan perhatian.

“Tahun 2023 adalah titik perubahan bagi masa depan pasar karbon dalam mitigasi iklim secara keseluruhan,” kata Frances Seymour, peneliti senior di World Resources Institute kepada Mongabay.

 

Para petani kecil di Liberia. Salah satu partai oposisi di Liberia, Liberian People’s Party, menyerukan agar perundingan kesepakatan karbon hutan antara pemerintah dan perusahaan Blue Carbon ditunda sampai masyarakat yang akan terkena dampak kesepakatan tersebut diajak berdiskusi. Foto: Open Government Partnership melalui Flickr (CC BY 2.0).

 

Perkembangan Pasar Karbon

Sejak awal Revolusi Industri pada abad ke-18 teknologi transportasi, pertanian, dan pembangkit listrik dunia telah begitu banyak melepaskan karbon. Saat ini, penggunaan bahan bakar fosil dan pelepasan gas rumah kaca tidak akan cukup untuk mempertahankan suhu di bawah 1,5° C atau kenaikan suhu global sebesar 2°C seperti yang menjadi tujuan Perjanjian Iklim Paris 2015.

Pada diskursus ini, banyak pihak yang menyebut jika solusi berbasis alam seperti konservasi hutan, dengan dukungan perdagangan karbon sukarela, dapat berperan mengatasi perubahan iklim.

Seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap pasar sukarela karbon, timbul kekhawatiran akan keberlangsungannya. Hal tersebut membuat para pemain pasar karbon mencari cara untuk meningkatkan integritas sistem kredit.

Pada KTT Dubai, sejumlah organisasi yang mendukung pasar karbon sukarela bersatu untuk menyelaraskan pedoman perusahaan, yang menurut mereka akan mempermudah pembelian kredit karbon.

Lembaga sertifikasi utama, termasuk Verra, telah sepakat untuk bekerja sama untuk menjadikan standar mereka lebih konsisten. Sementara itu, lembaga seperti Commodity Futures Trading Commission (CFTC) AS, pun mengusulkan pedomannya untuk diadopsi dalam perdagangan sukarela yang menurut para pengamat dapat mendorong standar yang lebih tinggi.

 

Para pendukung strategi konservasi hutan mengatakan bahwa REDD+ menghasilkan pendanaan yang sangat dibutuhkan untuk melindungi dan memulihkan hutan, tidak hanya semata karena karbon, namun juga akan melindungi keanekaragaman hayati dan komunitas yang mereka dukung. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

Pada COP3 Perubahan Iklim tahun 1997, para pemimpin dari 160 negara mencapai kesepakatan yang disebut Protokol Kyoto. Perjanjian ini mewajibkan negara-negara industri maju untuk membatasi jumlah karbon yang mereka keluarkan. Meski AS yang merupakan penghasil emisi terbesar di dunia pada saat itu, tidak pernah meratifikasi perjanjian tersebut.

Protokol Kyoto dan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) menghasilkan gagasan bahwa negara-negara penghasil polusi perlu berinvestasi dalam pengurangan emisi di negara lain. Hal ini membantu negara-negara industri untuk memenuhi target emisi sambil menyediakan dana pembangunan berkelanjutan di negara berkembang, demikian pemikiran mereka.

Pada COP13 Perubahan Iklim tahun 2007 di Bali, Indonesia, konsep REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest degradation) mendapat dukungan. Gagasan ini diperkenalkan pada tahun 2005 oleh Coalition for Rainforest Nations.

Konsep REDD melibatkan pengintegrasian konservasi hutan ke dalam mitigasi perubahan iklim. Belakangan muncul istilah REDD+ yang menambahkan fokus pada pengelolaan hutan lestari untuk meningkatkan stok karbon.

“Ketika hutan dan karbon di dalamnya makin besar, lewat aktivitas pengurangan deforestasi, negara-negara akan menerima pembayaran berdasarkan hasilnya,” jelas Kevin Conrad, pendiri dan Direktur Eksekutif Coalition for Rainforest Nations, yang merupakan perancang versi awal REDD.

Namun pihak lain melihat pasar karbon sebagai solusi yang lebih cepat. Proyek REDD+ dapat berkontribusi terhadap pengurangan emisi dengan segera. The Bali Roadmap yang muncul dari COP13 pun menyerukan “pentingnya kegiatan demonstrasi” untuk merangsang upaya REDD.

“’Kegiatan ‘demonstrasi’ diartikan sebagai ‘proyek’,” kata Seymour. “Ada banyak inisiatif konservasi yang kemudian diberi label ulang sebagai proyek REDD+.”

 

Deforestasi tidak hanya menghancurkan hutan, sumberdaya penting bagi 20% penduduk dunia, , namun juga menghancurkan gudang karbon dalam jumlah besar dan melepaskannya ke atmosfer. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

Berdasarkan penafsiran ini, proyek-proyek berlabel REDD+ menjamur di tempat-tempat yang amat terancam seperti hutan-hutan di negara berkembang.

Sebagai bagian dari pengurangan emisi dalam skema REDD+, pasar sukarela kemudian memberikan imbalan hasil dengan kredit yang dapat diperdagangkan atau dijual, tidak lagi melulu pada pembayaran yang dimaksudkan semula.

Kemudian pada KTT Perubahan Iklim Paris (COP21) 2015, negara-negara menyampaikan tujuan pengurangan emisi masing-masing, yang disebut ‘Nationally determined contribution’ atau NDC.

NDC ini akan menjadi landasan bagi pasar karbon global yang didukung oleh PBB sebagai alat indikator bagi negara-negara dalam mencapai tujuan yang mereka tentukan sendiri.

Perjanjian Paris juga mengakui pentingnya menjaga hutan dan penyerap karbon alami lainnya. Sebuah studi pada 2017 menyimpulkan bahwa “solusi iklim alami” mempunyai potensi untuk berkontribusi lebih dari sepertiga pengurangan emisi karbon yang diperlukan untuk menjaga kenaikan suhu global dapat dijaga di bawah 2°C.

Visinya adalah perdagangan kredit karbon, dengan cara “mengimbangi” atau menebus emisi di tempat lain agar dapat menjadi alat menuju net zero. Ini sejalan dengan upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara keseluruhan.

“Begitulah cara perusahaan-perusahaan itu dapat terlibat, yaitu dengan membeli kredit sukarela berdasarkan standar sukarela yang bukan merupakan bagian dari rezim global mana pun dan tidak termasuk dalam NDC,” jelas Conrad.

“Mereka terpaksa membeli kredit yang berasal dari Perjanjian Paris, -meski standarnya tidak konsisten, yang merupakan bagian dari sistem akuntansi global,” lanjutnya.

Pada akhir November 2023, Suriname menjadi negara pertama yang menawarkan hampir 5 juta kredit karbon berdasarkan Pasal 6 Perjanjian Paris atau yang dikenal sebagai hasil mitigasi yang dapat ditransfer secara internasional (ITMOs).

Pasal 6 Perjanjian Paris memperbolehkan perdagangan pengurangan dan pembuangan emisi antar negara. Ini seperti mimpi yang terwujud bagi pasar karbon global.

Para pendukung pasar sukarela melihat fokus pada pemberian kredit dan perdagangan dalam Pasal 6 sebagai dukungan terhadap perdagangan sukarela. Meski kredit sukarela ini tidak tunduk pada persyaratan dan pengawasan sesuai aturan di dalam ITMO.

Sejak tahun 2015, jumlah kredit yang ditawarkan dan disertifikasi setiap tahunnya mengalami peningkatan. Akhir-akhir ini, aturan negara-negara yang mendukung pasar yang mengacu pada PBB dan perdagangan karbon sukarela, semakin mendekat satu sama lain.

 

Waduk Brownsberg, Suriname. Pada akhir November 2023, Suriname menjadi negara pertama yang menawarkan hampir 5 juta kredit karbon berdasarkan Pasal 6 Perjanjian Paris. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

Berbagai Kritik

Bagi Conrad melonjaknya pasar sukarela yang tidak diatur memperburuk masalah. Tidak sedikit terjadi perhitungan ganda pengurangan dan pembuangan emisi yang terjadi ketika proyek dan negara tidak selaras dalam penghitungan karbonnya.

Kritik juga berpusat pada bagaimana pasar sukarela beroperasi. Apa keuntungan yang dapat diperoleh bagi masyarakat dan hutan di negara-negara berkembang di mana proyek-proyek ini didirikan. Juga muncul pertanyaan apakah penghematan emisi benar-benar bakal bermanfaat dalam mengatasi perubahan iklim.

Para pengkritik mengatakan penggantian kerugian karbon dari pasar sukarela menjadi alasan bagi negara-negara kaya dan perusahaan-perusahaan untuk terus mengeluarkan polusi, dan hanya memberikan sedikit insentif untuk mengurangi emisi.

Dengan adanya alternatif pembelian kredit karbon yang relatif murah, perusahaan-perusahaan tersebut enggan untuk berinvestasi untuk mengurangi jejak karbon mereka.

Namun bagi banyak pendukung pasar sukarela, carbon offset adalah bagian dari strategi iklim agar perusahaan aktif membeli kredit.

“Perusahaan yang paling terlibat dalam penyeimbangan karbon adalah yang paling banyak berinvestasi dalam dekarbonisasi operasi mereka,” kata Josh Tosteson, Presiden Everland, sebuah perusahaan yang melakukan pemasaran untuk proyek REDD+.

 

Asap membubung ke langit yang keluar dari cerobong asap pabrik kertas di Swedia.  Para pengkritik mengatakan pembelian kredit karbon dari pasar sukarela merupakan alasan bagi negara-negara kaya untuk terus melakukan operasi yang menghasilkan polusi dan hanya memberikan sedikit insentif untuk mengurangi emisi. Foto: Daniel Moqvist melalui Unsplash (Domain publik).

 

Survei terbaru dari lebih 100 perusahaan yang dilakukan oleh Sylvera, sebuah perusahaan analisis dan pemberi peringkat kredit karbon yang berbasis di Inggris, menemukan jika perusahaan yang berinvestasi dalam kredit karbon mengurangi emisi mereka hampir dua kali lebih cepat dibandingkan perusahaan yang tidak berinvestasi.

Namun studi di jurnal PLOS Climate pada November 2023, menyebut perusahaan global belum sepenuhnya memperhitungkan seluruh emisi yang dihasilkan dari aktivitas mereka. Studi ini menemukan bahwa perusahaan jarang melaporkan emisi yang berasal dari bagian rantai pasokan yang tidak mereka kendalikan secara langsung, atau dikenal sebagai emisi ‘Scope 3’.

Selain itu, meski nilai pasar karbon yang dijual terus meningkat hingga 116 juta metrik ton CO2 di tahun 2022, hanya 0,3% dari total emisi global berasal dari produksi energi.

Kritik serupa seperti yang dilontarkan The Guardian terhadap praktek carbon offset yang menyoroti pada metodologi yang digunakan pengembang proyek untuk menghitung pengurangan emisi karbon.

“Proyek-proyek ini melebih-lebihkan data dasar yang mereka miliki, dan tidak mengurangi deforestasi sebanyak yang mereka klaim,” sebut Thales West, peneliti utama studi Science yang menjadi dasar kesimpulan The Guardian kepada Mongabay pada  Agustus 2023.

Para pendukung hak asasi manusia pun berpendapat, bahwa mengambil kredit dari negara-negara yang bukan negara industri untuk “menebus” emisi dari negara-negara maju adalah bentuk kolonialisme baru. Hal ini berpotensi menghambat kemampuan negara-negara bukan industri untuk mengembangkan ekonomi dan menyeimbangkan emisi karbon mereka sendiri.

Tulisan asli: Forest carbon credits and the voluntary market: A solution or a distraction? Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Referensi:

Griscom, B. W., Adams, J., Ellis, P. W., Houghton, R. A., Lomax, G., Miteva, D. A., . . . Fargione, J. (2017). Natural climate solutions. Proceedings of the National Academy of Sciences114(44), 11645-11650. doi:10.1073/pnas.1710465114

Nguyen, Q., Diaz-Rainey, I., Kitto, A., McNeil, B. I., Pittman, N. A., & Zhang, R. (2023). Scope 3 emissions: Data quality and machine learning prediction accuracy. PLOS Climate2(11), e0000208. doi:10.1371/journal.pclm.0000208

West, T. A. P., Wunder, S., Sills, E. O., Börner, J., Rifai, S. W., Neidermeier, A. N., Frey, G. P., & Kontoleon, A. (2023). Action needed to make carbon offsets from forest conservation work for climate change mitigation. Science381(6660), 873–877. doi:10.1126/science.ade3535

 

Menakar Pajak Karbon

 

***

Foto utama: Alam yang masih lestari di Raja Ampat, Indonesia. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

Exit mobile version