Mongabay.co.id

Dugong dan Penyu di Pulau Gelam yang Terancam Tambang

 

 

Dul Ahyar [70], merupakan nelayan Kendawangan yang baru bermukim di Pulau Gelam satu bulan. Badannya masih tampak bugar. Dul bilang, pernah melihat dugong ketika mencari tangakapan di sekitar Pulau Gelam.

“Kalau nangkap nda pernah. Biasanya saya lihat duyung atau dugong itu di Malang Buaya dan Malang Duyung,” terangnya, ditemui Oktober 2023 di Pulau Gelam.

Malang, artinya batu. Malang Buaya terletak di depan Pulau Gelam dan nelayan sering melihat buaya. Sedangkan Malang Duyung tak jauh dari Pulau Gelam.

Nama Gelam berasal dari pepohonan yang menjadi ekosistem di sekitar pulau. Kayu gelam biasanya digunakan untuk membuat kapal.

Nelayan lain Samsul [41], mengaku pernah melihat dugong di sekitar perairan Pulau Gelam. Pulau ini merupakan tujuan utama nelayan Kendawangan mencari lobster dan ranjungan. Terletak di kawasan pesisir Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Pulau Gelam memiliki berbagai keanekaragaman hayati seperti mangrove, padang lamun, serta habitatnya dugong.

Dugong merupakan mamalia laut pemalu semi soliter, yakni tidak berkelompok dan biasanya hanya berkumpul bersama anakan.

“Dulu sebelum ada larangan, kalau tidak sengaja tertangkap dugong akan dimakan. Sekarang, kalau tidak sengaja tertangkap pasti dilepas,” ucapnya.

Baca: Tambang Kuarsa ‘Kuasai’ Pulau Gelam Terindikasi Lewat Surat Tanah Fiktif

 

Pulau Gelam yang merupakan habitatnya dugong dan penyu terancam akibat hadirnya izin pertambangan pasir kuarsa. Foto drone: Tim Kolaborasi

 

Dwi Suprapti, marine Megafauna Specialist, mengatakan keberadaan padang lamun di sekitar pulau tersebut membuat dugong menetap. “Ada padang lamun belum tentu ada dugong. Ketika dugong mau residensi di sana maka sebuah keberuntung.”

Dugong juga faktor penyubur ekosistem lamun dari cara makan dan membuang kotoran. Saat mencari makan, dugong “mencangkul” pasir di sekitar lamun sehingga mengangkat nutrisi dan membuat tanah menjadi subur. Biji-biji dari lamun yang keluar dari kotoran dugong menumbuhkan lamun baru.

“Semakin subur lamun, semakin banyak yang bisa memanfaatkannya. Terutama ikan-ikan kecil, sebagai tempat pemijahan dan manusia juga untung.”

Dwi menegaskan, dugong memiliki nilai ikonik dan populasi yang langka. Ketika dugong masih muncul artinya dia belum terganggu.

“Masih nyaman di tempat tersebut.”

Sekar Mira, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN], menyoroti pentingnya pemahaman terkait eksplorasi sumber daya mamalia laut di Pulau Gelam, termasuk kehadiran dugong.

“Kondisi mamalia laut mencerminkan lingkungan setempat baik atau buruk.”

Penelitian terhadap nilai ekologis lamun, juga menjadi fokus Sekar. Lamun berfungsi juga sebagai nursery ground, yaitu area khusus perairan yang mendukung reproduksi dan pertumbuhan awal spesies ikan dan makhluk hidup lain. Sekar juga menyoroti peran koridor ekosistem, jalur penghubung antar habitat alami, yang mendukung pergerakan berbagai spesies.

Nursery ground merujuk area khusus perairan seperti habitat terumbu karang, padang lamun, atau mangrove. Sedangkan koridor ekosistem berfungsi menyediakan jalur pergerakan berbagai spesies dan memungkinkan aliran genetik antara populasi yang terisolasi.”

Sekar menekankan, kerugian yang terjadi pada habitat lamun harus diimbangi pendekatan kompensasi, seperti mendefinisikan kawasan alternatif yang dapat menjaga keseimbangan ekosistem. Dengan demikian, pemahaman mendalam terhadap nilai ekologis lamun dan langkah-langkah kompensasi yang tepat menjadi kunci menjaga keberlanjutan lingkungan Pulau Gelam.

Berdasarkan Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RPZ] Kendawangan, luas padang lamun Pulau Gelam bagian barat sekitar 1.211,434 hektar dan 238,075 hektar bagian utara. Jenis lamunnya adalah Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassodendron ciliatum dengan jenis yang mendominasi adalah Enhalus acoroides.

Baca juga: Cerita Nelayan Perempuan, Was-was Kalau Tambang Masuk Pulau Gelam

 

Seekor penyu yang terpantau di perairan Pulau Gelam. Foto: Tim Kolaborasi

 

Perjumpaan dugong

Data Yayasan WeBe, organisasi konservasi, pengembangan ekowisata, dan pemberdayaan masyarakat di Ketapang, menunjukkan sejak tahun 2020 hingga saat ini sudah 36 perjumpaan dugong di seluruh perairan Kendawangan, termasuk di Pulau Gelam. Kebanyakan dalam keadaan mati.

Tim patroli mereka terdiri anggota kelompok sadar wisata [pokdarwis] bersama masyarakat sekitar pulau.

“Ini pendampingan jangka panjang. Kami sejak 2014 sudah beraktivitas. Ada tidaknya dugong, kami tetap bergerak,” kata Setra Kusumardana, Direktur Yayasan WeBe.

Anggota Pokdarwis, Soehendra [33], menjelaskan bahwa patroli dilakukan setiap hari, bersamaan nelayan ke laut. Dalam sebulan, Pokdarwis bisa 5 hingga 6 kali berjumpa dugong.

Laporan terbaru Pokdarwis, seekor dugong tidak sengaja tertangkap jaring nelayan, Udin, pada 11 Desember 2023. Lokasi di Pasir Merah, Pulau Bawal, dengan bobot 30 kg dan panjang 80 cm. Ketika ditemukan, dugong dalam keadaan hidup dan langsung dilepaskan.

 

Suasana yang terpantau di Pulau Cempedak. Foto: Tim Kolaborasi

 

Penyu yang terancam

Pada September 2022, Yayasan WeBe menemukan cangkang telur penyu di Pulau Gelam, Desa Kendawangan Kiri, Kecamatan Kendawangan, Ketapang, Kalimantan Barat. Diyakini, cangkang  itu sisa telur yang gagal menetas.

“Temuan membuktikan, penyu makin sulit berkembang biak. Apalagi, bertahan di tengah kepungan alat berat dan logam sisa galian tambang,” lanjut Setra.

Tidak ada data resmi Dinas Kelautan dan Perikanan [DKP] Kalbar berapa jumlah pasti populasi penyu hijau dan penyu sisik di Pulau Gelam. Namun dari keterangan nelayan, penyu bisa ditemui di sekitaran pulau-pulau kecil perairan Kendawangan, seperti Pulau Gelam, Pulau Cempedak, Pulau Gambar, hingga Pulau Bawal.

Hal yang menjadi alasan perairan Kendawangan dikukuhkan sebagai satu dari lima kawasan konservasi di Kalbar sejak 2020 lalu. Kawasan konservasi lain adalah Taman Pulau Kecil Pulau Randayan [Bengkayang], Taman Pesisir Paloh [Sambas], Taman Pesisir Kubu Raya hingga Kawasan Konservasi Perairan Kubu Raya dan Kayong Utara.

Penetapan itu tertuang dalam Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 193/DKP/2017 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Provinsi Kalimantan Barat. Ini dikuatkan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Barat 2018-2038. Hingga pada 2021 terbit izin tambang pasir kuarsa di Pulau Gelam.

Salmin [41], nelayan Pulau Cempedak mengatakan, penyu terbanyak ditemukan di tempatnya. Di Pulau Gelam, penyu hanya bisa ditemukan di perairan saja. Sejak adat alat-alat tambang, penyu tak pernah terlihat di daratan.

“Bisa dikatakan, penyu makin sulit ditemukan di Pulau Gelam.”

Di Pulau Cempedak dan Pulau Gelam, menurut laporan Yayasan Webe jadi tempat singgah penyu penyu hijau [Chelonia mydas] dan penyu sisik [Eretmochelys imbricata].

“Penyu hijau tercatat menjadi penghuni tetap, terutama untuk bertelur,” kata Setra.

Banyak upaya dilakukan untuk melindungi ekologi dan habitat di Pulau Gelam. Dari aduan, petisi hingga laporan ke Polda Kalbar untuk membuat tambang tidak lagi beroperasi.

“Ini upaya masyarakat dan yayasan untuk menjaga lingkungan,” ujarnya.

Penyu sisik dan penyu hijau merupakan jenis satwa dilindungi berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

“Bisa dibayangkan jika habitat mereka rusak akibat eksploitasi tambang, maka populasinya akan sangat terganggu.”

 

Nelayan yang masih menjadikan Pulau Gelam sebagai tujuan utama mencari ikan. Foto: Tim Kolaborasi

 

Terancam tambang pasir kuarsa

Saat ini, Pulau Gelam menghadapi ancaman karena adanya pemberian izin usaha pertambangan pasir kuarsa. Berdasarkan laporan masyarakat yang terlibat dalam industri pertambangan, terdapat 150 titik galian dengan kedalaman mencapai 6 meter.

Menurut Geoportal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM], ada dua perusahaan, yaitu PT. Sigma Silica Jayaraya [SSJ] dan PT. Inti Tama Mineral [ITM], yang telah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan [IUP] tahap eksplorasi dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan [WIUP] mencakup hampir seluruh Pulau Gelam.

Sebagian Kendawangan ditetapkan sebagai kawasan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 174 tahun 1993. Selain itu, pada 2020, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan perairan dan pulau sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Meski demikian, Pulau Gelam juga termasuk wilayah zona inti dan zona pemanfaatan terbatas, sesuai kebijakan yang telah disebutkan sebelumnya. Data pemetaan melalui Google menunjukkan, luas Pulau Gelam sekitar 28 kilometer persegi, sehingga dapat dikategorikan sebagai pulau kecil berdasarkan ukurannya.

Hartono, masyarakat Pulau Cempedak yang menghabiskan masa kecilnya di Pulau Gelam, keberatan dengan masuknya perusahaan pertambangan.

“Beberapa tahun lalu, sebelum perusahan sawit masuk ke Pulau Bawal, dari timur sampai selatan itu lamunnya sangat tebal. Sekarang, yang tersisa hanya jenis Cymodocea serrulata. Sejauh ini pemikiran kami setelah adanya perusahaan, lamun mulai rusak,” tuturnya.

Arie Antasari Kushadiwijayanto, Dosen Ilmu Kelautan UNTAN, menyebutkan, aktivitas pertambangan yang masif akan menambah material tersuspensi di air sehingga bisa membahayakan ekosistem.

“Terutama pelepasan sedimen ke laut, yang otomatis di sekitar Pulau Gelam akan terdampak karena zona inti ada di kawasan perairan. Untuk persentase sedimen bekas tambang kita tidak tahu, tergantung jumlah pelepasan unsur sehingga bisa saja ada logam berat yang sebenarnya bawaan alami.”

Arie menambahkan, bisa saja ada zat-zat di tanah yang terbawa ketika proses penambangan.

“Jika sedimen zat-zat radio aktif yang lepas kemungkinan konsekuensinya cukup banyak, apalagi masuk ke ekosistem yang bisa menyebabkan kematian terumbu karang, padang lamun, hingga biota air. Ini perlu penelitian lebih lanjut,” paparnya.

 

* Laporan investigasi ini merupakan hasil kolaborasi Mongabay Indonesia, Pontianak Post, Iniborneo.com, Suara.com, RRI Pontianak, Insidepontianak.com, dan Project Multatuli yang didukung oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan Webe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project.  

 

Was-was Tambang Datang, Sumber Air di Banggai Kepulauan Terancam Hilang

 

Exit mobile version