Mongabay.co.id

Studi: Laju Hilangnya Spesies Lebih Cepat Dari Kemampuan Kita Menemukannya Kembali

 

Foto yang selama ini ditunggu-tunggu oleh peneliti akhirnya diperoleh dari layar lensa kamera jebak. Merpati tengkuk hitam (Otidiphaps nobilis insularis) yang sudah lama dianggap punah, telah ditemukan oleh para peneliti yang tergabung dalam program Search for Lost Species. Di Papua Niugini para ilmuwan belum pernah melihatnya di alam liar selama 140 tahun.

Kelompok peneliti ini mengumpulkan data dari 856 spesies amfibi, burung, mamalia, dan reptil (secara kolektif disebut tetrapoda) yang dinyatakan punah. Adapun 424 diantaranya ditemukan kembali sejak tahun 1800.

Spesies yang hilang ini adalah spesies yang belum pernah diobservasi oleh para ilmuwan di habitat aslinya selama setidaknya satu dekade. Sebuah studi di jurnal Global Change Biology, menyebut jika sebagian besar spesies telah hilang rata-rata selama sekitar 50 tahun. Angka kepunahan spesies global dalam satu abad ini ternyata terjadi lebih cepat dibandingkan saat mereka ditemukan.

 

Pitta ternate (Erythropitta rufiventris cyanonota), burung endemik dari pulau Ternate. Spesies yang hidup di habitat kecil dan khusus akan lebih sulit untuk diobservasi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

“Jumlah spesies tetrapoda yang hilang meningkat dari dekade ke dekade,” kata Thomas Evans, peneliti konservasi di Free University of Berlin dan penulis utama penelitian tersebut.

“Ini berarti meskipun banyak pencarian dilakukan, kita kehilangan spesies tetrapoda lebih cepat dibandingkan saat kita menemukannya kembali.”

Evans menyebut spesies yang hilang akan lebih sulit ditemukan jika mereka berasal dari jenis yang punya sifat yang aktif di waktu malam, atau yang hidup di bawah tanah.

Hewan yang lebih besar dan yang dapat hidup di berbagai habitat lebih luas, jelasnya kemungkinan untuk dapat ditemukan kembali lebih besar. Sebaliknya spesies yang lebih kecil dan terspesialisasi ruang hidupnya, atau lokasi yang sulit dijangkau, akan lebih mudah menghilang dalam jangka waktu yang lebih lama. Apalagi untuk reptil dan hewan pengerat yang disebutnya jenis spesies kurang karismatik.

“Hasil menunjukkan bahwa meskipun banyak spesies yang hilang sulit ditemukan, dengan upaya dan penggunaan teknik baru, mereka kemungkinan besar akan ditemukan kembali,” kata Evans.

Teknologi untuk menemukan satwa liar sekarang telah semakin canggih. Pengambilan sampel DNA lingkungan (eDNA), rekaman audio, dan jebakan kamera telah membantu banyak penemuan kembali.

Penggunaan teknik baru, jelas Evans mengungkap mengapa selama ini para peneliti ‘enggan’ menyatakan suatu jenis satwa telah punah. Apalagi jika tidak didukung oleh bukti-bukti kajian lengkap.

 

Katak harlequin hidung panjang (Atelopus longirostris). Spesies ini dianggap punah hingga ditemukan kembali di Cagar Alam Junin di Ekuador. Foto: Luis A. Coloma.

 

Christina Biggs, peneliti dari LSM konservasi Re:wild yang menjadi rekan penulis dalam penelitian ini menyebut jika penggunaan eDNA sangat menarik.

Ketika hewan bergerak, mereka melepaskan DNA mereka ke lingkungan melalui kulit, rambut, dan kotoran. Para ilmuwan dapat menggunakan sampel air dan tanah secara umum untuk menentukan apakah ada satwa disana. eDNA  dia sebut telah digunakan untuk mendeteksi spesies tikus emas (Cryptochloris wintoni) di Afrika Selatan tahun lalu, dan menemukan kembali burung laut di pulau terpencil di sub-Antartika.

“[Selama ini] banyak sumberdaya yang diberikan kepada spesies mamalia besar, karismatik, menggemaskan dan berbulu halus,” kata Biggs.

“Sekarang sangat penting kita bisa fokus pada spesies yang benar-benar membutuhkan perhatian, spesies yang disebut ‘underfrog’, yaitu jenis yang cenderung tidak menonjol. Bagi kami semua (spesies) penting.”

Meski demikian, setelah kembali ditemukan, banyak spesies yang hilang tetap dalam ancaman kepunahan. Ini disebabkan populasinya yang kecil dan terfragmentasi akibat hilangnya habitat.

“Penting bagi kita untuk menemukan kembali spesies yang hilang ini, sekaligus mencari cara untuk melindungi mereka, sebelum mereka benar-benar punah,” kata Evans.

Evans menambahkan, upaya ini perlu melibatkan masyarakat lokal. Baginya, melindungi seluruh habitat akan menjadi lebih efektif alih-alih mencari spesies yang sulit ditemukan.

Tulisan asli: We’re losing species faster than we can find them, study shows. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita

 

Referensi:

Lindken, T., Anderson, C. V., Ariano‐Sánchez, D., Barki, G., Biggs, C., Bowles, P., … Evans, T. (2024). What factors influence the rediscovery of lost tetrapod species? Global Change Biology30(1). doi:10.1111/gcb.17107

Bidadari Halmahera, Burung Cendrawasih di Luar Papua

Exit mobile version