Mongabay.co.id

Ratusan Warga Takalar Unjuk Rasa Tolak Perpanjangan HGU PTPN XIV

 

Sebanyak 300-an petani termasuk para perempuan dari delapan desa/kelurahan di Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan bersama aktivis Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) berunjuk rasa di depan Kantor Bupati Takalar dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Takalar, Selasa (5/3/2024).

Aksi ini respons atas berakhirnya sertifikat hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV Takalar pada 23 Maret 2023 dan yang akan berakhir pada 9 Juli 2024.

Mereka datang dengan konvoi belasan mobil menuju Kantor Bupati Takalar. Di depan kantor bupati mereka membentangkan spanduk berisi tuntutan agar HGU PTPN XIV Takalar tak lanjut. ‘Rakyat Takalar Menolak Perpanjangan HGU PTPN IV Takalar’, ‘Rebut Kembali Tanah Rakyat, Lawan Perpanjangan HGU PTPN XIV Takalar’. Ada juga belasan perempuan menunjukkan poster berbunyi ‘Perempuan Takalar Menolak Perpanjangan HGU PTPN XIV Takalar, Tangkap dan Adili Perampas Tanah Rakyat, dan belasan poster lainnya.

“Aksi ini merupakan upaya merebut kembali tanah yang telah dirampas sejak puluhan tahun lalu. Dengan berakhirnya HGU PTPN tersebut, warga sudah sepatutnya memiliki hak untuk kembali mengelola tanah. Pemerintah daerah wajib memastikan hal ini terpenuhi,” ungkap Melisa, pendamping hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.

Menurut Melisa, perampasan tanah tersebut berdampak pada ketidakmampuan petani mengolah sendiri lahannya,  pada akhirnya menjadikan mereka  tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Tidak sedikit dari mereka terpaksa menjadi buruh tani di tanahnya sendiri, buruh bangunan bahkan harus meninggalkan kampung untuk bermigrasi mencari pekerjaan,” ujarnya.

Baca : Sengkarut PTPN di Enrekang, Konflik pun Bakal Berlarut

 

Ratusan petani dari delapan desa/kelurahan di Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan bersama aktivis Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Bupati Takalar dan BPN Takalar, Selasa (5/3/2024). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Sejumlah perempuan petani dari desa terdampak HGU ini juga menyampaikan keluhan, salah satunya, Daeng Ngati, dari Desa Lassang Barat.

“Kami dijanjikan pemerintah bahwa tanah  hanya dikontrak selama 25 tahun. Setelah itu akan dikembalikan lagi kepada masyarakat. Nyatanya, sejak tanah kami diambil sampai sekarang tidak dikembalikan pemerintah dan perusahaan. Kami kesulitan  memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan untuk membiayai anak sekolah juga susah karena sudah tidak ada tanah yang bisa dikelola,” katanya.

Menurut Al Iqbal, Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye KontraS Sulawesi, tanah-tanah warga diambil paksa melalui tindakan intimidasi dengan jalan kekerasan oleh aparat keamanan pada  1978 tidak segan-segan menembak warga dan memaksa mereka  menerima ganti rugi yang tidak layak.

“Tidak terima tanah diambil warga kemudian melakukan berbagai perlawanan hingga saat ini, untuk menolak perampasan tanahnya dan upaya  merebut kembali tanah tersebut.”

Iqbal bilang, pabrik gula di Takalar sejak awal berdiri telah merampas  tanah di tahun 1978 dan  berlangsung hingga kini. Perampasan tanah tersebut dinilai telah berdampak pada penindasan dan pemiskinan struktural terhadap warga Takalar. Pabrik gula yang telah merampas tanah warga untuk dijadikan kebun tebu dengan luas lahan HGU 6650 hektar, yang tersebar di 11 Desa di Kecamatan Polongbangkeng dan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar.

“Puluhan tahun setelah petani dipisahkan dari tanahnya mereka hidup dalam kemiskinan yang diakibatkan oleh kebijakan negara yang mengabaikan hak mereka. Setelah puluhan tahun tanah warga dirampas, barulah perusahaan memiliki legalitas konsesi HGU di tahun 1994 dan 1998. Tahun ini HGU perusahaan sudah habis, inilah momentum agar tanah petani dapat dikembalikan,” ungkap Supianto, aktivis GRAMT.

Menurut Supianto, berakhirnya HGU PTPN Takalar, menjadi legalitas petani untuk kembali merebut tanah untuk dikelola yang selama puluhan tahun dikuasai PTPN Takalar. Pernyataan ini diperkuat oleh Muhammad Nur, selaku Staf Seksi Sengketa BPN, yang menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada pihak yang memasukkan permohonan perpanjangan HGU dan telah bersurat ke Komnas HAM perihal hal itu.

baca juga : Konflik Agraria dan Buruknya Penatausahaan HGU PTPN

 

Perempuan petani adalah paling terdampak dari kehadiran HGU PTPN XIV di mana mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan untuk membiayai anak sekolah juga susah karena sudah tidak ada tanah yang bisa dikelola. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Diceritakan Supianto, bahwa pada tahun 2008 terjadi insiden pakkawa yaitu sebuah insiden di mana beberapa warga telah berhasil melakukan pengolahan kembali tanahnya, harus mengalami bentrok dengan aparat keamanan, dampaknya dua orang warga terkena tembakan oleh aparat keamanan.

“Pada tahun 2009 warga kembali melakukan unjuk rasa terhadap perusahaan, yang dipicu oleh pernyataan perusahaan yang menilai bahwa warga tidak berhak mengelola. Warga pun memprotes dan mengejar staf PTPN XIV tersebut, serta menghadang laju alat-alat berat PTPN XIV yang akan melakukan pengolahan tebu di atas lahan yang telah kuasai oleh warga,” jelasnya.

Tindakan tersebut berujung pemanggilan, penangkapan dan pemeriksaan terhadap 10 orang warga yang beberapa di antaranya dijemput paksa dan dua orang ditahan di kantor Polres Takalar.

Sejumlah tuntutan warga dalam aksi ini adalah meminta pemerintah daerah tidak memberikan rekomendasi perpanjangan HGU PTPN XIV Takalar, sebelum tanah-tanah warga dikembalikan. Mereka juga meminta BPN tidak menerbitkan sertifikat perpanjangan HGU PTPN Takalar, sebelum tanah-tanah warga yang dulu dirampas dikembalikan kepada warga.

Tuntutan lainnya adalah kepada Polri dan TNI untuk tidak melakukan upaya intimidasi dalam bentuk apapun terhadap warga yang sedang berjuang merebut kembali hak atas tanah.

PTPN XIV (Persero) sendiri didirikan pada tanggal 11 Maret 1996 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1996 tanggal 14 Februari 1996 tentang Peleburan PT Perkebunan XXVIII (Persero), PT Perkebunan XXXII (Persero), PT Bina Mulya Ternak (Persero) menjadi PT Perkebunan Nusantara XIV (Persero), termasuk eks Proyek-proyek pengembangan PT Perkebunan XXIII (Persero) di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Akta pendirian PT Perkebunan Nusantara XIV (Persero) Nomor 47 tanggal 11Maret 1996 dibuat oleh Notaris Harun Kamil, SH yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor C2-9087.HT.01.01 tahun 1996 tanggal 24 September 1996 (Berita Negara RI Nomor 81 tanggal 08 Oktober 1996, tambahan Nomor 8678). (***)

 

 

Mediasi dalam Pusaran Konflik Agraria

 

Exit mobile version