Mongabay.co.id

4 Fakta tentang Monster Lendir yang Menyerang Laut

 

Pada Februari 2024, kemunculan buih atau lendir seperti gel berwarna coklat kembali terjadi di Teluk Bima, Nusa Tenggara Barat. Ketebalan buihnya berkisar antara 1-5 cm dengan warna kecoklatan yang pekat. 

Fenomena ini disebut dengan sea snot atau lendir laut. Ini terjadi terjadi ketika laut ditutupi oleh fitoplankton yang sangat melimpah sehingga berubah warna menjadi coklat. Sea snot berbentuk seperti gel dan lengket ketika dipegang, serta berbau amis seperti  rumput laut.

Sea snot menyebabkan berbagai dampak buruk, mulai dari kerusakan ekosistem laut hingga menurunnya daya tarik wisata. 

Tak hanya di tahun ini, sea snot di Teluk Bima juga pernah terjadi pertama kali pada April 2022. Selain di Indonesia, fenomena sea snot juga terjadi belahan dunia lain, seperti China, Turki, hingga Mexico. Sebenarnya apa itu sea snot? Bagaimana dampaknya?

1. Mengandung organisme penyebab penyakit

Secara ilmiah, sea snot sebagai marine mucilage atau lendir laut. Chandrika Eka Larasati, peneliti kelautan dari Universitas Mataram mengatakan lendir laut terjadi akibat melimpahnya organisme mucus mirip lendir yang menutupi permukaan perairan.

Organisme tersebut berupa fitoplankton, bakteri, serta kuman penyebab penyakit. 

“Ciri-ciri dari sea snot itu biasanya bergelembung, berbuih, lengket, dan berbau. Baunya seperti bau amis” kata Chandrika.

Pertumbuhan pesat fitoplankton biasa terjadi selama 3-5 hari, selanjutnya akan mengalami fase stationary (pertumbuhan normal) dan fase death (mati alami). Saat kelimpahan fitoplankton tinggi ini mati, maka akan mengapung di permukaan laut membentuk lapisan coklat seperti jelly.

Jika tidak ada pertumbuhan baru, maka lendir laut  di perairan dapat bertahan dalam hitungan minggu hingga bulan, jelly berwarna coklat akan hilang. Ini tergantung dengan kondisi batasan wilayah, curah hujan, suhu, kandungan oksigen terlarut, serta arus dan gelombang.

Baca juga: Munculnya Monster Lendir Sea Snot di Teluk Bima

Ikan-ikan berukuran kecil mati di Teluk Bima tahun 2022. Kematian ikan ini akibat kekurangan oksigen, bukan racun. Tampak ikan ini bercampur dengan sampah yang menutupi Teluk Bima. Foto : DKP NTB

2. Adanya peningkatan kesuburan unsur hara di laut penyebab sea snot 

Salah satu penyebab terjadinya fenomena lendir laut yaitu eutrofikasi. Artinya, kondisi perairan terlalu subur akibat meningkatnya unsur hara di perairan tersebut, sehingga menyebabkan melimpahnya fitoplankton.

Menurut Chandrika, penyebab fenomena sea snot diduga terpengaruh aktivitas di daratan. “Ketika hujan turun, akan terjadi run off. Run off itu ketika nutrien di daratan, berupa pupuk atau nutrien lain terbawa ke laut melalui hujan”katanya.

Saat air mengalir dari daratan ke laut, nutrien akan ikut terbawa dan terjadi penumpukan nutrien di perairan. Fitoplankton yang sumber makanan utamanya adalah nutrien, akan berkumpul pada perairan yang kaya akan nutrien sehingga terjadi lendir laut. 

Penelitian METU’s Institute of Marine Science menyebutkan, perubahan iklim juga menjadi salah satu faktor fenomena sea snot. Suhu air laut yang semakin hangat dapat menciptakan kondisi ideal untuk pertumbuhan fitoplankton hingga pertumbuhan makin cepat. Namun, katanya, perlu ada penelusuran lebih lanjut mengenai penyebab fenomena sea snot.

3. Kematian Ekosistem Laut Hingga Menurunnya Daya Tarik Wisata

Keberadaan lendir laut dapat memicu kerusakan ekosistem laut, kematian pada ikan, hingga daya tarik wisata turun. 

Ketika sea snot terjadi, ikan-ikan di sekitar perairan akan mati. Itu terjadi karena ikan kekurangan oksigen. “Waktu sea snot terjadi, fitoplankton akan menutupi perairan dan mengambil lebih banyak oksigen, sehingga biota-biota lain saling berebut oksigen, maka banyak ditemukan ikan yang mati,” ujar Chandrika.

Tak hanya menyebabkan kematian pada biota laut, fenomena ini juga dapat menurunkan aktivitas pariwisata dengan menutup pantai dan merugikan nelayan. Aktivitas nelayan juga dapat terganggu karena kekhawatiran adanya pencemaran.

Baca juga: IPB: Pencemaran Teluk Bima Akibat Fitoplankton

Tiga orang anak-anak bermain di pinggir Pantai Amahmi Kota Bima melihat fenomena tutupan berwarna coklat pada tahun 2022. Pemerintah melarang masyarakat beraktivitas di perairan. Foto : Niko dari Bima

4. Perlu pemulihan pada wilayah hulu

Perlu ada pencegahan lebih lanjut mengingat fenomena sea snot di perairan Indonesia kian sering terjadi. Apalagi kejadian ini memiliki dampak signifikan terhadap ekosistem laut dan masyarakat. 

Chandrika mengatakan salah satu cara mencegah sea snot yaitu, masyarakat perlu menanam tanaman heterokultur di daratan atau sekitar perkebunan warga. Ada temuan, bahwa fenomena sea snot di Teluk Bima diduga karena hulu daratan lebih banyak ditanami tanaman monokultur seperti jagung. 

“Perlu ditanami tanaman heterokultur, tanaman yang ukurannya agak besar dan bertahan lama, sehingga saat terjadi run off dapat menahan nutrien dan tidak semuanya masuk ke laut” jelas Chandrika.

Cara lain untuk mencegah terjadinya sea snot yaitu dengan melakukan pencegahan perubahan iklim. Pemahaman masyarakat terhadap dampak perubahan iklim harus terus ditingkatkan. Karena perubahan iklim tidak hanya merugikan lingkungan sekitar, juga merugikan masyarakat.

Saat ini, katanya, belum ada penanggulangan sigap dari pemerintah terkait fenomena sea snot. Untuk itu, perlu ada kerja sama antara pemerintah dan peneliti dalam  menelusuri penyebab fenomena ini lebih lanjut. Jadi, ketika fenomena lendir laut terjadi Kembali, dapat lebih cepat ditangani dan tidak merusak ekosistem laut dan tidak merugikan masyarakat.

Zat yang seperti gel berwana coklat menutupi sebagian besar perairan Pantai Amahami, Teluk Bima tahun 2022. Tidak berbau menyengat dan tidak lengket seperti minyak. Foto : Niko dari Bima

*Salvina Herawaty Puna adalah mahasiswa magang dari Universitas Mataram. Dia memiliki ketertarikan besar pada ilmu kelautan dan akan bercerita lebih banyak tentang itu.



Exit mobile version