Mongabay.co.id

Cabut Papan Bicara Milik Warga Bulukumba, PT. Lonsum Dinilai Melawan Hukum

 

Minggu (10/3/2024), sejumlah warga pemilik sertifikat hak milik (SHM) bersama dengan warga Desa Bonto Mangiring, Tamatto, Swatani dan Balleanging, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, melakukan pemasangan papan bicara dan penanaman di lahan miliknya yang selama puluhan tahun juga diklaim menjadi bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) PT. London Sumatera (Lonsum), namun berakhir sejak 31 Desember 2023.

Tidak lama setelah pemasangan, papan bicara yang berisi informasi tentang pemilik lahan dan luasannya ini dirusak dan diambil oleh karyawan PT. Lonsum dikawal aparat kepolisian dari satuan Brigadir Mobil (Brimob).

Karyawan tersebut mengaku mengambil tindakan atas perintah atasannya. Selain mencabut papan bicara, karyawan Lonsum juga menantang warga untuk melakukan pelaporan ke kepolisian jika merasa dirugikan.

Rudi Tahas, perwakilan Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT), sekaligus penerima kuasa dari pemilik SHM mengecam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Lonsum tersebut, karena warga memiliki bukti kepemilikan  tanah berupa SHM, dan di sisi lain klaim Lonsum berdasarkan HGU juga telah berakhir 31 Desember 2023.

“Pihak PT. Lonsum telah bertindak melawan hukum, warga berhak memasang papan bicara di atas tanah miliknya. Pengrusakan dan pengambilan papan bicara tersebut jelas tindak pidana, kami telah melaporkan pihak PT. Lonsum ke Polres Bulukumba dengan pidana pengrusakan sesuai Pasal 406 KUHP. Polres Bulukumba harus melakukan proses hukum dengan adil dan transparan serta memberikan perlindungan kepada masyarakat, bukan PT. Lonsum,”  ungkap Rudy, Minggu (10/3/2024).

baca : Mediasi Gagal, Warga Bulukumba Desak PT Lonsum Keluarkan Tanah Masyarakat dari HGU

 

Warga Desa Bonto Mangiring, Tamatto, Swatani dan Balleanging, Kabupaten Bulukumba memasang papan bicara dan penanaman sebagai penanda bahwa dalam areal permohonan pembaruan HGU PT. Lonsum terdapat hak masyarakat di atasnya, untuk memudahkan Panitia B yang akan melakukan verifikasi. Foto: GRAMT

 

Nurdin, perwakilan GRAMT lainnya, menegaskan bahwa HGU Lonsum di Bulukumba yang saat ini telah berakhir dan diajukan pembaharuan, sejak awal tumpang tindih dengan tanah-tanah milik masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat.

Hal tersebut telah diperkuat dengan hasil verifikasi tim yang dibentuk Bupati Bulukumba berdasarkan SK Nomor. 180/IV/2012 yang menemukan fakta bahwa, di areal HGU yang diklaim oleh PT. Lonsum terdapat hak masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat yang dibuktikan dengan adanya Sertifikat Hak Milik (SHM), bukti sejarah penguasaan turun temurun, Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 2553 K/Pdt/1987 yang dimenangkan oleh masyarakat dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), dan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang dan Masyarakat Hukum Adat Bulukumba Toa.

“Kegiatan pemasangan papan bicara dan penanaman dilakukan sebagai penanda bahwa dalam areal permohonan pembaruan HGU PT. Lonsum terdapat hak masyarakat di atasnya, bahkan tanah tersebut memiliki SHM yang diterbitkan oleh BPN Bulukumba, sehingga  Panitia B yang akan melakukan verifikasi saat melakukan peninjauan lokasi dapat langsung melihat letak lahan yang disengketakan oleh warga,” jelas Nurdin.

Abdul Azis Dumpa, aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, yang sekaligus pendamping hukum masyarakat Bulukumba yang bersengketa dengan Lonsum turut mengecam keras tindakan pihak Lonsum yang dianggap melanggar hukum dengan melakukan pengrusakan dan pengambilan secara paksa papan bicara milik warga dengan melibatkan aparat kepolisian.

“Warga berhak mengelola tanahnya dan memasang papan bicara untuk menegaskan kepemilikannya, karena warga memiliki  bukti kepemilikan yang sah, yakni SHM yang diterbitkan oleh BPN Bulukumba, bahkan telah diverifikasi oleh tim yang dibentuk oleh Bupati Bulukumba pada Tahun 2012. Sementara klaim HGU PT. Lonsum terhadap tanah milik warga telah berakhir sejak 31 Desember 2023. Sehingga tindakan pihak PT. Lonsum yang melakukan pengrusakan dan pengambilan papan bicara milik warga harus diproses secara pidana,” katanya.

Azis kemudian meminta Polda Sulsel untuk melakukan evaluasi dan proses hukum baik pidana, etik, dan disiplin terhadap anggota kepolisian yang diduga kuat terlibat dalam peristiwa tersebut.

“Aparat kepolisian seharusnya bertindak netral dan melindungi masyarakat bukan sebaliknya justru berpihak dan mendukung perusahaan.”

baca juga : Aktivis Minta ATR/BPN Sulsel Aktif Selesaikan Masalah Lonsum di Bulukumba

 

Pencabutan papan bicara yang dilakukan karyawan PT. Lonsum dibantu aparat Brimob di tengah upaya mediasi. Foto: GRAMT.

 

Negara, dalam hal ini Kementerian ATR/BPN, dinilai harus segera mengakhiri penderitaan masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat di Bulukumba akibat tanahnya diklaim dan dirampas oleh Lonsum yang telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun lamanya dan menjalankan reforma agraria sejati dengan memastikan dikeluarkannya seluruh tanah milik Masyarakat Lokal dan Masyarakat Hukum Adat dari permohonan Pembaruan HGU yang dimohonkan oleh PT. Lonsum.

Mongabay Indonesia beberapa kali mencoba mengkonfirmasi ke humas dan manajer area PT. Lonsum melalui telepon dan pesan Whatsapp, namun tidak mendapat respons.

PT. Lonsum sendiri telah masuk di Bulukumba sejak tahun 1919 sebagai PMA di bidang perkebunan dengan nama NV Celebes Landbouw Maatschappij melalui keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda No. 43 dan 44 tanggal 10 Juli 1919 dengan status hak erfacht.

Berdasarkan laporan yang disusun oleh KontraS, terjadi begitu banyak penggusuran sejak kehadiran PT. Lonsum. Pada periode 1977-1978 perusahaan telah menggusur lahan seluas 150 hektar termasuk puluhan rumah di dalamnya di Dusun Balihuko Desa Bonto Mangiring.

Lalu pada tahun 1979 perusahaan kembali menggusur lahan seluas 373 hektar yang di dalamnya terdapat rumah, kebun, sawah di desa Balong. Pada periode 1981-1982 perusahaan kembali menggusur lahan seluas 546,6 hektar di Desa Bonto Biraeng yang di dalamnya sekitar 500 rumah, kebun dan sawah. Tahun 1984-1989 perusahaan dituding mencaplok tanah di Desa Tammatto dengan luasan sekitar 500 hektar, tercatat ada 705 rumah yang digusur, empat diantaranya dibakar, serta mencaplok kebun dan sawah milik masyarakat. Terakhir pada tahun 1989 Desa Tibona digusur dengan luasan lahan sekitar 500 hektar.

Upaya media telah sering dilakukan, terakhir pada tanggal 19 Februari 2024 silam di aula Masjid Al-Markaz Makassar difasilitasi Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulawesi Selatan. Pertemuan ini sendiri belum memperoleh kesepakatan sebagaimana yang diharapkan, karena kedua pihak sama-sama menganggap mereka memiliki pegangan yang kuat. (***)

 

 

Janji Kosong: Kisah Masyarakat yang Terpinggirkan dari Berkah Sawit

 

 

Exit mobile version