Mongabay.co.id

Kapal Cantrang ‘Menjala’ Konflik di Pulau Sembilan

 

 

 

 

 

 

Masyarakat nelayan di pesisir di Pulau Sembilan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan,  mengeluhkan banyak nelayan kapal cantrang beroperasi di perairan mereka. Pulau  Sembilan dikenal kaya hasil laut. Nelayan mencari ikan dengan teknik tradisional dengan membuat rumpon (rumah-rumahan untuk ikan. Rumpon yang nelayan lokal bikin pun banyak rusak terkena kapal cantrang.

Rumpon-rumpon itu mereka taruh di perairan. Setiap hari, nelayan turun ke laut mengeceknya. Ketika ikan berkumpul, mereka tangkap dengan pancing dan jala.

Dalam sehari, nelayan lokal bisa memperoleh sekitar 50 kilogram tenggiri, kakap, bawal, dan kerapu dari beberapa rumpon yang disebar. Itu semua kini tinggal cerita lama. Sejak kapal-kapal besar ukuran rata-rata 30-40 groston (GT) dari luar daerah menyerbu perairan Pulau Sembilan, nelayan lokal makin susah.

“Mereka gunakan alat tangkap cantrang. Hasil laut kita merosot, rumpon-rumpon kita hancur,” kata Mukhlis, nelayan Pulau Marabatuan, Pulau Sembilan, beberapa waktu lalu.

Cantrang merupakan alat tangkap ikan bersifat destruktif karena jaring menyentuh dasar perairan. Selain meraup ikan berukuran besar ataupun kecil, perangkat ini juga menghancurkan terumbu karang di daerah operasi tangkap.

Sifat alat yang merusak membuat pemerintah telah melarang penggunaan cantrang, meski sebelumnya terjadi tarik-ulur aturan.

Pada 2015, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti melarang pemakaian cantrang melalui beleid Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) Nomor 2/2015 dan Perubahan PermenKP 71/2016. Pengganti Susi, Edhy Prabowo malah melonggarkan penggunaan cantrang. Nelayan yang menggunakan cantrang dilindungi Permenkp 59/2020.

Setelah kementerian dipimpin Sakti Wahyu Trenggono, cantrang kembali dilarang lewat PermenKP 18/2021. Bahkan penangkapan ikan dengan cantrang kategori praktik illegal fishing.

Mukhlis bilang, para nelayan cantrang mayoritas dari Jawa Tengah (Jateng), dan sebagian Jawa Timur (Jatim) itu tidak mengenal batas wilayah tangkap. Kapal-kapal cantrang kerap berada dekat sekali dengan daratan Pulau Sembilan.

“Terkadang mereka hanya berjarak 5-8 mil dari sini. Itu sudah melanggar aturan,” katanya.

Aturan yang dia maksud adalah beleid soal wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Dalam regulasi itu, kapal-kapal besar mestinya hanya boleh beroperasi di WPP 712 dengan lokasi di Laut Jawa dan perairan sekitar Natuna.

 

Nelayan di Pulau Marabatuan ketika akan membuat rumpon. Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia.

 

Sementara nelayan Kalsel melaut di WPP 712 dan WPP 713,  meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, dan sekitar.

Mukhlis menduga, nelayan Jawa menginvasi WPP 713 lantaran kondisi WPP 712 makin kritis. Meski begitu, katanya, bukan berarti membenarkan kapal-kapal cantrang bisa seenaknya memasuki perairan tetangga.

“Kalau melaut pakai kapal kecil dan alat biasa, kami tidak masalah. Tapi, ini sampai rumpon-rumpon hancur ditarik jaring cantrang. Padahal, kita bikinnya pakai uang,” katanya.

Membuat satu rumpon perlu modal sekitar Rp1,5 juta. Dalam sebulan mereka kehilangan 5-10 rumpon karena tersapu cantrang.

“Kami jelas merugi. Selain hilang rumpon, kami juga tak dapat ikan. Belum dihitung kerugian membeli solar Rp11.000 per liter,” katanya.

Tak terelakkan, kondisi itu memicu nelayan lokal dan nelayan cantrang sering berkonflik di tengah laut. Beberapa nelayan Pulau Sembilan katakan, kapal kecil mereka pernah hancur ditabrak kapal cantrang. Bahkan ada yang pernah diancam pakai pistol, seperti dialami Said, adik Mukhlis.

“Saya pernah ditodong. Tapi tidak tahu pistol beneran atau bukan. Saya tidak takut. Justru saya suruh tembak, tapi tidak berani juga.”

Konflik menahun itu diaminkan Amiruddin, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Bina Laut Sejahtera yang berbasis di Pulau Marabatuan.

Menurut Amir, aktivitas kapal-kapal besar dengan jala cantrang di WPP 713 berdampak buruk terhadap kehidupan nelayan lokal.

Sedangkan kapal-kapal besar itu serba diuntungkan. Selain menangkap dalam skala besar, mereka juga tak peduli dengan faktor cuaca.

“Karena kapal besar, mereka tetap melaut saat gelombang tinggi. Justru ini kesempatan bagi mereka karena saat seperti itu nelayan lokal tidak bekerja.”

Dongkol, tak sekali dua kali Amir bergesekan dengan ABK kapal cantrang.

“Walau kapal kalah besar dan kalah orang, pernah saya lempari pakai batu, supaya mereka pergi. Mereka balas pakai batu dan es batu,” ujar Amir mengomel.

“Pernah juga kapal saya ditabrak sampai hancur. Beruntung masih bisa sampai ke daratan,” imbuh pria 38 tahun itu.

Amir bersama nelayan lain pernah membawa paksa kapal cantrang beserta ABK-nya ke daratan Pulau Sembilan. Mereka digelandang ke kantor kepolisian untuk ditindak.

“Pernah beberapa kali. Setelahnya kapal-kapal cantrang itu dilepas, beberapa hari kemudian ada lagi yang beroperasi di wilayah kami. Seperti tidak pernah ada tindakan tegas.”

Nelayan juga sudah berkali-kali melaporkan kasus ini ke Polres Kotabaru, Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Tarakan. Mereka meminta pihak berwenang mengawasi.

“Patroli memang ada. Tapi kami bingung, setiap kali patroli, mereka bilang nggak pernah ketemu sama aktivitas cantrang. Padahal,  kalau kami melaut, hampir selalu ketemu,” kata Amir, heran.

 

Perahu-perahu milik nelayan lokal tengan bersandar di pesisir Pulau Marabatuan. Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia.

 

Melihat kondisi itu, nelayan lokal menduga aroma persekongkolan antara oknum aparat dan cukong-cukong pemilik cantrang.

Tidak hanya cantrang, nelayan lokal di Pulau Sembilan juga mengeluhkan aktivitas kapal-kapal penangkap cumi berskala besar.

Kapal-kapal ini kerap beroperasi malam hari dengan memakai lampu besar untuk menarik perhatian cumi-cumi dengan sorotan super terang, bukan cumi saja yang tertarik, juga ikan-ikan lain.

“Terkadang mereka beraktivitas di dekat rumpon kami. Alhasil ikan-ikan di rumpon ikut tertarik,” kata Amir.

Sebagai bonus masalah, muncul lagi nelayan-nelayan yang memakai bom potasium.

Kemudian persoalan dampak perubahan iklim. Cuaca ekstrem makin sering terjadi dan kian sulit ditebak.

“Akibatnya kami harus makin ke tengah laut. Risiko jadi tambah besar. Itu pun belum tentu ada hasil.”

Kalau tidak ada tindakan tegas aparat, nelayan Pulau Sembilan khawatir perikanan ilegal terus-menerus dibiarkan akan menghancurkan ekosistem laut dan ekonomi nelayan lokal.

“Hidup kami sekarang penuh utang,” kata Amir.

Mereka terpaksa meminjam sana-sini untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan modal melaut.

“Warung-warung di sini sudah paham. Jadi kebanyakan nelayan ngutang dulu buat makan. Sama buat solar. Nanti diganti kalau uangnya sudah terkumpul,” ucap Amir.

Persoalan ini tak hanya dialami nelayan Pulau Marabatuan. Nelayan di gugusan pulau lain di Pulau Sembilan juga merasakannya. Pulau Sembilan mencakup sembilan pulau: Marabatuan, Maradapan, Matasiri, Denawan, Pamalikan, Payung-Payungan, Kalambau, Labuan Barat, dan Sarang.

 

Kapal nelayan dari Jawa melabuh jangkar di perairan yang berjarak kurang lebih 2 mil dari daratan Pulau Matasiri. Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia.

 

Klaim pemerintah

Rusdi Hartono, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalsel, mengaku geram dengan aktivitas kapal-kapal cantrang.

Dia bilang, kapal cantrang yang kebanyakan dari Jawa Tengah itu tidak hanya membuat resah nelayan Kotabaru, juga di kabupaten tetangga, seperti Tanah Bumbu dan Tanah Laut.

“Saya sangat prihatin dengan nasib nelayan kita,” katanya.

Dia melihat, kapal-kapal besar itu kerap memanipulasi izin dengan penggunaan jaring tarik berkantong (JTB) yang pemerintah izinkan.

JTB bisa dipakai dengan alasan lebih selektif saat menangkap ikan karena ukuran mata jaring lebih besar daripada cantrang, minimal dua inci dan berbentuk square.

“Izinnya JTB, kenyataan pakai cantrang. Supaya bisa meraup ikan lebih besar.”

Kalau benar menggunakan JTB, katanya, secara kewilayahan mereka tidak boleh masuk ke zona WPP 713.

Rusdi juga jengkel melihat terumbu karang dan padang lamun rusak karena cantrang.

“Hancurnya terumbu karang dan padang lamun turut merusak ekosistem perairan kita. Praktis ikan jadi makin sulit dicari,” katanya.

DKP Kalsel punya tanggung jawab untuk konservasi ruang laut seluas 179.659,89 hektar di perairan Angsana, Pulau Laut-Pulau Sembilan, Kepulauan Samber Gelap, dan Sungai Loban.

“Maraknya kapal cantrang merusak area konservasi kita. Akan berangsur kita pulihkan kembali. Mulai 2024 ini.”

Untuk soal cantrang, katanya, mereka sudah datangi Pemerintah Provinsi Jateng membicarakan soal keluhan nelayan Kalsel ini. Juga sudah patroli bersama Polair Polda Kalsel, Polres Kotabaru, Lanal Kotabaru, Stasiun PSDKP Tarakan, dan Satker PSDKP Kotabaru.

“Namun di lapangan, kapal cantrang sangat lihai main kucing-kucingan. Kalau kami patroli, mereka tidak ada. Namun, selesai patroli mereka datang lagi.”

Dia mengakui keterbatasan wewenang. Sesuai aturan, kewenangan Pemerintah Provinsi Kalsel hanya 12 mil dari pulau terluar. Sedangkan wilayah operasi kapal cantrang itu terkadang di atas 12 mil.

“Jika wilayah operasinya sudah di atas 12 mil, Stasiun PSDKP Tarakan yang memiliki kewenangan.”

Kendati demikian, bukan berarti tak pernah ada aksi penindakan. Sejak 2021-2023, sudah 26 kapal besar diseret ke pengadilan karena memakai cantrang atau pelanggaran wilayah tangkap.

Rusdi meminta,  nelayan Kalsel tetap menahan diri dan menjaga emosi, jangan main hakim sendiri seperti tiga insiden pembakaran kapal cantrang di masa lalu.

“Nelayan jangan khawatir. Kami pemprov serius menyelesaikan persoalan ini,”  janjinya.

 

Dua kapal besar dari Jawa Tengah diamankan oleh PSDKP karena memasuki WPP 713, akhir Desember lalu. Foto: Satpolair Polres Kotabaru

 

Alasan keterbatasan

Komandan Lanal Kotabaru, Letkol Laut (P) Hapsoro A Purbaningtyas mengaku kesulitan menindak kapal-kapal cantrang. Alasannya, pergerakan mereka yang licin.

“Jika mendapati informasi demikian, biasa kami pantulkan ke KRI yang sedang patroli. Setelah dicek, kapal yang dimaksud sudah tidak ada,” ujar Hapsoro dikonfirmasi melalui telepon.

Dia menduga, kapal cantrang bisa menghindari patroli karena mendapat bocoran informasi dari oknum masyarakat.

“Kita sempat dapat informasi, kalau ada oknum warga yang berkongsi dengan juragan cantrang. Mereka yang diduga membocorkan ada patroli,” katanya menduga.

Namun, Hapsoro juga mengakui keterbatasan armada untuk mengawasi perairan Kotabaru.

“Sarana patroli terbatas, tidak bisa menembus pulau-pulau kecil. Ditambah cuaca yang terkadang tidak bersahabat,” dalihnya.

Meski begitu Hapsoro menyatakan komitmen memerangi segala bentuk perikanan ilegal.

AKP Koes Adi Dharma,  Kasat Polair Polres Kotabaru, menjawab anggapan dan tudingan lembeknya aparat.

Koes tak memungkiri, banyak kapal-kapal besar dari Jawa yang menghancurkan rumpon-rumpon milik nelayan lokal.

Cuman biasa kalau ada nelayan yang melihat dan terbukti ada rumpon rusak, orang kapal besar itu akan langsung mengganti rugi. Urusan selesai di tengah laut,” katanya.

Koes bilang, tidak semua kapal besar itu memakai cantrang. Pengguna cantrang, katanya,  makin jarang, kebanyakan beralih ke JTB.

“Meskipun mungkin ada juga yang bersiasat. Izin JTB, padahal alat cantrang. Tapi sudah sangat jarang.”

Bukankah ketika kapal JTB masuk ke WPP 713 sudah melanggar aturan? Koes mengiyakan.

Namun sesuai aturan, hukuman bisa hanya sanksi administrasi. “Tidak ada pidana.”

Seperti yang terjadi akhir Desember 2023. PSDKP mengamankan dua kapal besar asal Jawa, KM Gajah Mada dan KM Arif Wijaya Kusuma yang memasuki WPP 713.

“Awalnya dikira cantrang. Rupanya JTB. Lantas hanya bisa kena sanksi administrasi.”

Sanksi administrasi inilah yang kadang membuat masyarakat lokal merasa tidak puas. Kemudian menimbulkan persepsi negatif terhadap aparat.

“Mereka mengira kami melepas begitu saja. Kenyataan, sudah ditindak sesuai aturan,” katanya.

Disinggung soal lambatnya tindaklanjut aparat atas laporan nelayan, kata Koes, untuk mendatangi lokasi memang personel sering menghadapi beberapa kendala.

 

Amiruddin, Ketua Pokwasmas Bina Laut Sejahtera yang berbasis di Pulau Marabatuan. Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia.

 

Perbatasan WPP 712 dan 713, ktanya,  berada di sekitaran pulau terluar, yakni Matasiri. Jarak jauh. “Terkadang kita sampai di sana mereka sudah tidak ada.”

Senada dengan Hapsoro, Koes menduga ada oknum-oknum informan. “Sudah bukan rahasia umum. Ada sebagian oknum yang mendapat keuntungan dari pemilik kapal cantrang atau JTB. Merekalah yang memberitahu orang-orang kapal kalau sedang ada patroli,” katanya.

Namun, kata Koes, kepolisian takkan berpangku tangan. Pada 2022, Polair dengan Lanal Kotabaru menindak delapan buah kapal besar asal Jawa.

“Upaya pengawasan semaksimalnya. Karena yang terpenting terjamin hak-hak nelayan lokal,” katanya.

Dia minta, kalau ada kapal besar memasuki perairan WPP 713,  masyarakat jangan lakukan kekerasan, tetapi laporkan ke pihak berwajib.

Erwin Rosadi, akademisi Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), menyatakan, mayoritas nelayan Kalsel masih dalam kondisi prasejahtera. Untuk itu, negara harus hadir memberi perlindungan kepada nelayan lokal dari gempuran illegal fishing, terutama kapal cantrang.

Dia melihat, selama ini penegakan hukum masih lamban dan kurang tegas. Pemegang otoritas di tingkat daerah terkesan hanya menunggu laporan.

“Tetapi pemangku kebijakan tidak bisa lambat. Sebab kalau terus dibiarkan, bisa memicu konflik sosial yang besar,” katanya.

Dia khawatir, kasus pembakaran kapal cantrang oleh nelayan lokal kembali terulang.

Erwin menyarankan, pemerintah lintas provinsi untuk duduk bersama mencari solusi.  “Pemprov Kalsel harus terus beraudiensi dengan pemerintah asal kapal-kapal cantrang yang kebanyakan dari Jateng. Upaya pengawasan harus dibicarakan. Agar kapal cantrang tak lagi memasuki perairan kita.”

Dia usulkan pula, pemda dan aparat penegak hukum membangun pos pemantauan bersama di wilayah terluar Kalsel.

“Supaya pengawasan di wilayah laut bisa lebih intensif.”

Kemudian, katanya, para nelayan lokal yang merasa dirugikan bisa menempuh gugatan class action. “Agar para pelaku bisa kena sanksi maksimal. Memberi efek jera kepada juragan-juragan kapal yang masih memakai cantrang.”

 

 

******

 

Nelayan Lokal Meradang: Tangkap Kapal Cantrang yang Menjamur di Natuna

Exit mobile version