Mongabay.co.id

Orangutan Juga Suka Mengembara Dalam Kehidupannya

Ketambe adalah rumah menyenangkan bagi kehidupan orangutan sumatera.

 

 

Seperti manusia, orangutan juga mengembara ke sejumlah wilayah hutan dalam kehidupannya.

Ini terlihat sebagaimana yang dijelaskan Julian Mörchen dkk. [2024], bahwa orangutan memiliki sosok-sosok pengembara, yang beperan penting dalam menjaga eksistensi mereka di alam liar.

“Perjalanan manusia selalu berkaitan dengan migrasi yang digambarkan sebagai orang-orang luar biasa, dalam hal keserbagunaan, ketahanan, dan kemampuan beradaptasi. Ini sebuah kemampuan yang tampaknya kita miliki bersama dengan kerabat jauh kita [orangutan],” tulisnya dalam penelitian tersebut.

Dikutip dari ScienceDaily, orangutan jantan dewasa yang sudah mencapai kemandirian akan bermigrasi atau meninggalkan “kampung halaman” dan menghabiskan sisa hidup mereka sebagai pengembara yang menjelajahi hutan hujan; mengamati, meniru dan menginovasi perilaku penduduk lokal untuk belajar bertahan hidup.

“Ini berarti orangutan jantan seperti turis abadi, harus terus mempelajari perilaku penting, seperti makanan apa yang aman untuk dimakan,” terang Mörchen, mahasiswa doktoral di Universitas Leipzig, Senin [5/2/2024].

Penelitian Whiten & van de Waal [2018] menjelaskan, secara umum primata non-manusia [termasuk orangutan] memiliki tiga fase strategi pembelajaran sosial dan menggarisbawahi pentingnya peran ibu sebagai pengasuh utama mereka.

Pertama, sejak dilahirkan hingga sekitar usia lima tahun, ibu menjadi sosok penting dalam konteks mencari, memilah dan mengolah makanan [orangutan tercatat setidaknya mengonsumsi 400 jenis makanan], serta membangun sarang [kebutuhan subsisten].

Kedua, saat beranjak remaja, sekitar usia lima tahun dan seterusnya, pengamatan akan mulai meluas kepada anggota kelompok lebih luas. Minat belajar pada tahap ini juga sangat tergantung kepada pengetahuan apa yang belum dan perlu mereka kuasai.

Mörchen dkk. [2017] mengkonfirmasi pengamatan sebelumnya dari Schuppli dkk. [2016] bahwa orangutan muda menunjukkan ketergantungan yang jelas pada aktivitas induknya, seiring perkembangannya. Orangutan yang lebih tua menunjukkan preferensi untuk menonton aktivitas pejantan dewasa imigran yang belum dewasa, terutama dalam konteks persarangan dan sosial.

“Para penulis berpendapat bahwa pejantan yang tidak memiliki flang [bantalan pipi] dapat bertindak sebagai vektor budaya, memfasilitasi transfer tradisi antarpopulasi orangutan,” dikutip dalam Whiten & van de Waal, [2018].

Ketiga, saat orangutan sudah mencapai kematangan seksual atau kemandirian, barulah mereka menyebar ke wilayah lain [migrasi], menghadapi kondisi ekologi dan sosial yang baru dan asing.

“Proses penyebaran ini biasanya aktivitas yang melibatkan pejantan pada beberapa spesies dan betina pada spesies lain, untuk menghindari perkawinan sedarah,” lanjutnya.

Dikutip dari situs resmi San Diego Zoo, secara umum orangutan memiliki wilayah jelajah yang luas, dan mungkin tumpang tindih. Setiap betina dewasa biasanya tinggal di wilayah jelajah yang stabil dengan luas sekitar 3,5 mil persegi [9 kilometer persegi]. Sedangkan pejantan dewasa bisa mencapai 15 mil persegi [39 kilometer persegi].

“Jantan cenderung lebih nomaden, mengunjungi wilayah betina jika diperlukan,” tulisnya.  Situasi berbeda dengan betina, yang jarang melakukan migrasi jauh dari wilayah jelajah induknya.

Baca: Riset: Manusia Harus Berbagi Ruang Hidup dengan Kera Besar di Planet Bumi

 

Orangutan sumatera liar ini berada di Stasiun Penelitian Ketambe, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Untuk bertahan hidup

Pada tahun 2003, Van Schaik dkk. menggambarkan dua lusin perilaku yang terdapat pada beberapa populasi orangutan. Praktik ini dipelajari dari anggota kelompok lain dan diturunkan dari generasi ke generasi.

Misalnya di wilayah Kalimantan, orangutan menggunakan segenggam daun sebagai serbet untuk menyeka dagunya, sedangkan orangutan di wilayah Sumatera menggunakan daun sebagai sarung tangan, membantu mereka memegang buah dan dahan berduri, atau sebagai bantalan tempat duduk di pohon berduri.

“Budaya kera besar memang ada dan mungkin sudah ada setidaknya selama 14 juta tahun,” tulisnya dalam penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Science tersebut.

Bagaimana orangutan belajar budaya itu? Seberapa penting untuk meneruskan ke generasi berikutnya?

Penelitian Mörchen dkk. [2023] menjelaskan, budaya turun temurun yang ada pada orangutan dipelajari melalui pembelajaran sosial observasional. Para peneliti menyebut, perilaku belajar ini dengan istilah “peering” atau mengintip.

Mengintip diartikan sebagai pengamatan jarak dekat [jarak dua meter dalam memberi makan dan jarak lima meter dalam konteks pembangunan sarang].

Hal ini dilakukan dengan penuh perhatian terhadap satu individu sehingga memungkinkan pengintip [orangutan yang mengamati] menyaksikan rincian aktivitas target. Satu individu dapat mengamati sekitar lima detik.

“Individu yang mengintip menghadap ke target dan menunjukkan tanda-tanda mengikuti tindakan target dengan gerakan kepala,” tulisnya dalam penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Ecology and Evolution.

Penelitian yang sama juga menegaskan, perilaku peering sangat penting, terutama untuk orangutan jantan yang pindah ke daerah baru, sebagai upaya bertahan hidup dan menemukan wilayah jelajahnya di masa depan.

“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa migran jantan menggunakan teman sebaya untuk mempelajari pengetahuan ekologi baru setelah penyebaran [misalnya, di mana dan makanan apa yang harus dimakan], dan terus mempelajari keterampilan yang kompleks di masa dewasa,” tulis penelitian tersebut.

Untuk melakukan hal ini, para migran secara selektif akan menemui individu yang paling berpengetahuan, mempraktikkan keterampilan baru setelahnya, dan bahkan secara fleksibel menyesuaikan pembelajaran mereka. Misalnya, ketika berhadapan dengan penduduk lokal yang intoleran atau ketika kebutuhan akan pembelajaran berkurang.

“Secara keseluruhan, penelitian kami memberikan bukti penting bahwa pembelajaran sosial pada kera besar berkembang hingga dewasa, sebuah kemampuan yang juga berdampak penting pada evolusi manusia.”

Baca: Inilah Alasan, Mengapa Anak Orangutan Tidak Boleh Dipisahkan dari Induknya

 

Orangutan akan mendatangi kawasan hutan yang memiliki sumber pakan melimpah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Setahun setelahnya, Mörchen et al. [2024] menemukan, ketika makanan lebih banyak di sebuah lingkungan, orangutan jantan akan menghabiskan lebih banyak waktu dekat dengan orangutan lain, dan lebih banyak mengintip ke arah mereka.

“Lingkungan ekologi hewan dan ketersediaan sumber daya mempunyai efek tidak langsung terhadap peluang pembelajaran sosial individu, tetapi juga pada kecenderungan mereka untuk belajar sosial seiring berjalannya waktu,” lanjut Mörchen, dikutip dari ScienceDaily.

Temuan ini menunjukkan bagaimana ekologi hewan dapat memengaruhi peluang mereka untuk belajar secara sosial. Dengan demikian, kemungkinan perilaku baru dapat menjadi inovasi yang memiliki sifat budaya.

“Ketersediaan sumber daya kemungkinan besar akan berpengaruh pada landasan perkembangan dan genetik, yang mendasari kecenderungan untuk memperhatikan informasi ekologis yang dapat diakses penduduk lokal, yang seiring waktu memainkan peran penting dalam sejarah migrasi manusia dan munculnya budaya kita yang tiada tandingannya,” tulis para peneliti.

Penelitian ini merupakan hasil dari analisis 4.009 pergaulan sehari-hari antara dua individu orangutan dengan dan tanpa peristiwa pada 77 pejantan orangutan sumatera [Pongo abelii] di Stasiun Penelitian Suaq Balimbing, Aceh Selatan, Aceh, dan 75 pejantan orangutan kalimantan [P. pygmaeus] di Stasiun Penelitian Tuanan di Kalimantan Tengah. Data penelitian ini dikumpulkan dari 2003-2018 dan 2007-2020 yang mencakup gabungan waktu penelitian selama 30 tahun.

Baca juga: Misteri Punahnya Gigantopithecus blacki, Kera Terbesar di Bumi Terkuak

 

Hutan Leuser yang merupakan habitatnya orangutan sumatera harus dijaga dari kerusakan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Terancam

Secara global, Indonesia merupakan rumah besar bagi orangutan. Kita memiliki tiga jenis orangutan yaitu orangutan sumatera [Pongo abelii], orangutan tapanuli [Pongo tapanuliensis], dan orangutan kalimantan [Pongo pygmaeus].

Penelitian Singleton & van Schaik [2001] menyatakan, di hutan rawa Sumatera, wilayah jelajah minimum yang dapat diandalkan untuk betina dewasa sekitar 850 hektare, sedangkan sedangkan laki-laki sub-dewasa dan dewasa menggunakan wilayah jelajah setidaknya 2.500 hektare, dan mungkin lebih.

“Tumpang tindih wilayah jelajah sangat tinggi: hingga 16 betina dewasa, 9 jantan dewasa, dan setidaknya 15 jantan sub-dewasa, terlihat dalam area seluas 4 hektare di tengah wilayah penelitian,” tulisnya.

Penelitian selama 24 bulan oleh Campbell-Smith dkk. [2011] di lanskap yang telah diubah oleh manusia di Batang Serangan, Sumatera Utara, menemukan wilayah jelajah inti dari delapan orangutan dewasa hanya mencakup 14% dari wilayah studi yang tersedia.

Luas wilayah jelajah bulanan rata-rata 423 ha untuk jantan, dan 131 ha untuk betina, dan hal ini dipengaruhi secara positif oleh keberadaan buah-buahan liar dan budidaya, serta konsumsi tanaman.

Sementara itu, penelitian di Taman Nasional [TN] Sebangun Kalimantan Tengah, oleh Panda dkk. [2023], menemukan ukuran wilayah jelajah orangutan terbesar, yaitu 259,6 hektare, diamati pada pasangan ibu-bayi selama pemantauan, melampaui ukuran wilayah jelajah jantan sebesar 250 hektare per tahun yang dilaporkan di Laboratorium Gambut Alam, CIMTROP-UPR.

International Union for Conservation of Nature [IUCN] menyatakan ketiga spesies orangutan yang hidup di Indonesia berstatus Kritis [Critically Endangered/CR], atau satu langkah lagi menuju kepunahan di alam liar [Extinct In The Wild/EW].

 

Referensi jurnal:

Campbell-Smith, G., Campbell-Smith, M., Singleton, I., & Linkie, M. (2011). Apes in space: saving an imperilled orangutan population in Sumatra. PLoS One, 6(2), e17210.

Mörchen, J., Luhn, F., Wassmer, O., Kunz, J. A., Kulik, L., van Noordwijk, M. A., Rianti, P., Rahmaeti, T., Utami Atmoko, S. S., Widdig, A., & Schuppli, C. (2024). Orangutan males make increased use of social learning opportunities, when resource availability is high. IScience, 27(2). https://doi.org/10.1016/j.isci.2024.108940

Mörchen, J., Luhn, F., Wassmer, O., Kunz, J. A., Kulik, L., van Noordwijk, M. A., van Schaik, C. P., Rianti, P., Utami Atmoko, S. S., Widdig, A., & Schuppli, C. (2023). Migrant orangutan males use social learning to adapt to new habitat after dispersal. Frontiers in Ecology and Evolution, 11. https://doi.org/10.3389/fevo.2023.1158887

Panda, A., Meididit, A., Simon, O., Artama, W. T., Priyowidodo, D., & Djohan, T. S. (2023). Orangutan (Pongo pygmaeus ssp. wurmbii) ranging pattern in Punggualas, Sebangau National Park, Central Kalimantan Indonesia: Ranging pattern of Pp wurmbii in Punggualas, Sebangau National Park. BIOTROPIA, 30(3), 282–296.

Singleton, I., & van Schaik, C. P. (2001). Orangutan Home Range Size and Its Determinants in a Sumatran Swamp Forest. International Journal of Primatology, 22(6), 877–911. https://doi.org/10.1023/A:1012033919441

Van Schaik, C. P., Ancrenaz, M., Borgen, G., Galdikas, B., Knott, C. D., Singleton, I., Suzuki, A., Utami, S. S., & Merrill, M. (2003). Orangutan cultures and the evolution of material culture. Science, 299(5603), 102–105.

Whiten, A., & van de Waal, E. (2018). The pervasive role of social learning in primate lifetimedevelopment. Behavioral Ecology and Sociobiology, 72(5), 80. https://doi.org/10.1007/s00265-018-2489-3

 

Ketambe, Desa yang Bersahabat dengan Orangutan Sumatera

 

Exit mobile version