Mongabay.co.id

Mentawai Sulit Air Bersih, Hutan Harus Terjaga

 

 

 

 

 

Daerah kepulauan seperti Mentawai, rawan alami krisis air bersih terlebih kemarau panjang atau el-nino melanda seperti pada 2023.  Untuk keperluan air bersih untuk konsumsi, masyarakat bergantung pada tadah air hujan.   Seperti terjadi di Dusun Sinaka, dan Koritbuah, Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

Kesulitan air untuk kebutuhan sehari-hari di Koritbuah, merembet juga ke masalah kebersihan dan kesehatan. Setiap tahun,  ada satu periode penyakit yang membuat anak-anak atau warga Koritbuah diare.

Dewi,  warga Koritbuah mengatakan,  tiap tahun ada musim sakit. “Kadang belum sampai sumur sudah mencret. Setidaknya, harus ada air di penampungan WC. Artinya ada air, gayung, tapi kalau nggak ada air terpaksa ke sungai,” katanya.

Siti Mariani dan Dewi sembari bercanda mengatakan, kadang menangis karena harus menampung air dari sungai.

“Badan sudah kurus. Biasanya pagi-pagi benar berangkat ke sungai. Kadang jam 6. Kadang juga anak-anak yang ambi di siang hari. Bisa sampai tiga kali. Jadi kadang satu hari harus penuh menampung air agar tidak repot-repot lagi saat pulang dari sawah malam-malam,” kata Mariani.

Selain untuk kebutuhan sehari-hari,masa  selesai melahirkan juga merepotkan. Sebelum melahirkan,  suami-suami mereka harus ambil dulu air di sungai satu drum. Selain itu untuk mencuci kain-kain yang banyak darah sehabis melahirkan pun haus cuci ke sungai.

Nopri, warga lain mengatakan,  para perempuan di Koritbuah sehari-hari mengerjakan urusan rumah rumah tangga dan beberapa hari dalam seminggu ke ladang. “Selain itu juga memancing,” katanya.

 

Para ibu Dusun SInaka harus beratus meter ke sungai dari rumahnya agar mendapatkan air bersih. Foto: Rus Akbar

 

Berharap air hujan

Pilus, warga Koritbuah mengatakan,  di rumah ada sumur tetapi posisi di dataran tinggi saat kemarau sering kering. “Dua bulan aja kemarau sudah hancur semua. Termasuk sungai besar ini,” katanya.

“Air hujanlah yang kita harapkan,” katanya.

Sebelah Pilus ada Dolmen. Dolmen bilang, sungai di belakang rumah mereka air lambat mengalir saat kemarau. “Air terjun nggak ada, jadi nggak enak airnya, kadang bau ya bau daun gitu. Tergenang aja airnya di situ nggak bisa (lambat) mengalir,” katanya.

Dia mengatakan, desanya pernah bikin sumur namun ada dua anak menjadi korban terjatuh ke dalamnya. Lantas sumur itu ditutup hingga sekarang.  Padahal,  sudah sebelas tahun desa ini berdiri, tetapi air masih jadi masalah. “Kalau nggak ada hujan susah.”

Martinus pun menyediakan beberapa penampungan air dari menadah air hujan pakai toren. Ada juga beberapa drum untuk cadangan lain. Martinus adalah pengepul gurita, bagi masyarakat setempat dia cukup memiliki uang untuk membeli semua itu.

Tak hanya Koritbuah yang kerap kekeringan, Dusun Sinaka tempat asal mereka juga sama. Mereka harus berjalan beberapa ratus meter untuk mengambil air di sungai. Biasa sumur dekat rumah tak bermasalah tetapi kalau kemarau panjang seperti tahun 2023, mereka kesulitan air.

Pada kemarau tahun lalu, tak hanya di Siberut kekeringan juga di Pulau Sipora.

“Hampir di setiap rumah khusus Tuapejat rata-rata beli air per ton di penjual air,” kata Robert Choi, warga Tuapeijat, Sipora.

Dia mengatakan,  sumber air dari Sungai Goisooinan dan ada pula dari sumur. “Itu juga jadi rebutan tapi masuk kategori parah. Akses air untuk konsumsi itu yang payah. Kecuali untuk mandi bisa pakai yang keruh,” katanya.

Untuk yang beli air punya pengeluaran bervariasi. Ada yang harga sampai Rp300.000 untuk satu drum. Dia merasa miris ketika wilayah kesulitan air kayu masih juga ditebang.  Di Sipora masih ada perusahaan kayu beroperasi. “Kita kesulitan air kayu malah banyak dibabat,” katanya.

Pinda Tangkas, warga Tuapejat, cari upaya lain. Dia memasang instalasi buatan untuk menampung air hujan dan menyaring yang menghabiskan anggaran jutaan rupiah. Padahal dia hidup di ibu kota Mentawai yang seharusnya punya pengelolaan air tetapi tidak juga.

Yosep Sarokdok,  Ketua DPRD Kepulauan Mentawai mengatakan, pemetaan sumber air ini masih ada perdebatan.

“Ini masih belum tuntas RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) kita. Harusnya negara sudah petakan,” kata Yosep.

 

 

Martinus, warga Koritbuah membuat instalasi penampung air sendiri yang mengalir ke kamar mandi dan beberapa penampung. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Izin perusahaan memperburuk keadaan

Dia mengatakan, izin-izin perusahaan kayu menebang pohon-pohon di hutan mempengaruhi kondisi sumber air seharusnya benar-benar jadi perhatian Pemerintah Sumatera Barat.

“Sampai saat ini masih kesulitan air bersih karena tidak ada sumber air yang representatif yang layak dikonsumsi masyarakat di Sipora. Ini tolong diperhatikan dampak lingkungan ke depan. Jadi,  jangan hanya mengambil kayu tanpa melihat dampak. Kemarin aja banjir setengah mati, baru hujan sebentar banjir,” katanya.

Perkantoran DPRD dan beberapa kantor lain sumber air selain dari PDAM juga dari air hujan. Yosep sebagai anggota DPRD yang sudah 10 tahun tinggal di Sipora mengatakan,  harus menghabiskan lebih Rp1 juta per bulan untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Dia membeli satu tangki air Rp 200.000 per tiga hari. Berarti dalam satu minggu Yosep habiskan Rp400.000, dalam sebulan sekitar Rp1.600.000. Biaya itu belum termasuk pembelian air galon isii ulang Rp10.000.

Yosep meminta pemerintah provinsi betul-betul melihat urgensi kebijakan-kebijakan yang mengancam sumber air di Mentawai.

Dari berita Mongabay sebelumnya menyebutkan, Dari luas sekitar 600.000-an hektar Kepulauan Mentawai, pemukiman hanya 3.000-an hektare. Sekitar, 491.000-an hektar sudah sebagai kawasan hutan, 109.000 hektar areal penggunaan lain (APL).

Heronimus Tatteboruk, perwakilan Masyarakat Adat Mentawai mengatakan, kecemasan kalau hutan mereka rusak. Selain merugikan masyarakat adat, praktik-praktik perusakan hutan juga menyebabkan lingkungan hidup mereka terdegradasi.

Investasi skala besar silih berganti masuk Mentawai sejak 1970-an dari HPH, HTI, sawit sampai atas nama ‘energi terbarukan.’ Bisnis skala besar ini mendapat penolakan dan Masyarakat Mentawai.

Arjun Pasaribu, Kepala Bidang Cipta Karya dan Bina Konstruksi Dinas Pekerjaan Umum Mentawai mengatakan,  penebangan hutan di hulu sungai berdampak pada sumber air perusahaan air minum daerah Mentawai terutama di Pulau Sipora.  Dia mengakui, satu-satunya sumber dari Sungai Simalelet agak terganggu dan keruh setiap setelah hujan.

“Mungkin dampaknya tidak hari ini tapi ke depan. Tindakan ini akan terasa dampaknya. Kalau tidak kita yang akan kehilangan karena di sini yang punya potensi (air bersih) ya sungai itu,” katanya.

Dia bilang, ada rencana membuat satu penampungan besar yang akan memenuhi kebutuhan air di seluruh Sipora. Namun, katanya, masih perlu waktu dan biaya untuk memenuhi kebutuhan sekitar 1.900-an warga Sipora.  Hingga kini, katanya, pemerintah belum bisa memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat melalui PDAM selama 24 jam penuh.

 

 

Warga mengambil air di aliran air yang kecil karena sumur di Dusun Sinaka, Desa Sinaka Kering oleh kemarau atau Elnino. Foto: Rus Akbar

 

Dampak ElNino terasa di pulaupulau kecil

Heron Tarigan,  Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Sumatera Barat mengatakan, El-nino berdampak pada curah hujan kurang di wilayah Indonesia umumnya, termasuk Mentawai.

Pada 2023 sampai penghujung tahun lalu, Mentawai,  mengalami penurunan curah hujan lebih rendah dari rata-rata biasa. Kondisi ini,  menyebabkan kekeringan di pelbagai tempat di Mentawai. Musim hujan akan masuk ke Mentawai namun akan lebih sedikit karena fenomena ini.

Heron berharap, semua elemen masyarakat di Mentawai menjaga hutan dan sumber air yang masih ada agar tetap dapat mencari sumber air bersih untuk kebutuhan keluarga. Kemarau, katanya, akan mempengaruhi sendi ekonomi, budaya sampai kesehatan.

Indang Dewata,  pakar lingkungan hidup dari Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Negeri Padang mengatakan,  kekeringan berkepanjangan di Mentawai karena pengelolaan lingkungan buruk pemerintah.

“Tata kelola yang buruk. Sepanjang kebijakan tidak didukung oleh politik maka kebijakan tinggal jadi monumen,” katanya.

Menurut Indang,  orang politik yang naik seharusnya yang punya pengetahuan lebih tentang sumber daya alam dan dampak kalau terjadi kerusakan. “Hingga pemikiran eksploitasi jadi konservasi untuk masa akan datang. Terutama di Mentawai yang daerahnya rawan dan penuh asesoris bencana,” katanya.

Dia mengatakan,  harus ada inisiatif kebijakan dari pemerintah. “Misal, inisiatif peraturan daerah, rencana tata ruang wilayah dan dan lanjut ke rencana detil tata ruang dan taat azas dengan perda,” katanya.

 

Warga menutup sumur agar airnya tak diambil orang lain di Koritbuah Mentawai. Foto: Rus Akbar

 

Perlu anggaran adaptif perubahan iklim

Andi Chairil Ichsan,  Associate Professor of Forest Science di Universitas Mataram mengatakan,  bicara kerentanan pulau-pulau kecil terhadap El-nino sangat penting mengingat masyarakatnya punya arena aktivitas terbatas di sana. “Cenderung memiliki daerah aliran sungai relatif pendek hingga sangat rentan bencana hidrometeorologi,” katanya.

Dalam konteks banjir dan longsor di hulu serta abrasi maupun banjir rob menjadi pemandangan sehari-hari bagi warga pulau-pulau kecil kalau ekosistemnya terganggu.

“Untuk musim hujan banjir dan musim panas gagal panen dan defisit sumber air jadi hal paling sering kita temui, sama dengan Mentawai.”

Untuk beberapa kasus tertentu, katanya,  mengatasi kekeringan di pulau-pulau kecil butuh langkah sistematis seperti kebijakan, perencanaan, program dan anggaran adaptif dengan perubahan iklim dan taktis. “Baik dalam inovasi teknis dalam konteks peningkatan air tanah seperti pembuatan sumur resapan, IPAH, revegetasi dan lainnya,” katanya.

Andi mengatakan,  pengambil kebijakan harus menghindari tindakan eksploitatif dan ekstraktif. “Fokus pada kebijakan yang soft dan tidak menimbulkan risiko lingkungan tinggi seperti pertambangan, perkebunan dan lain-lain,” katanya.

Diki Rafiqi, Koordinator Divisi Advokasi LBH Padang mengatakan,  perusakan ruang sosio-ekologis Mentawai sudah terjadi sejak lama. “Tak ayal bencana-bencana seperti kekeringan ini terjadi di Mentawai. Sebab hutan tropis yang berperan sebagai penyimpan air juga dibongkar sedemikian rupa oleh kegiatan industri,” katanya.

Kondisi ini, katanya,  memperumit upaya-upaya mitigasi bencana yang dirancang negara. “Bukan menyembuhkan problem utama di Mentawai tapi banyak kebijakan menambah parah krisis sosio-ekologis di bumi Sikerei itu.”

Dia contohkan, izin industri ekstraktif di sektor kehutanan dan kebijakan-kebijakan energi seperti biomassa dan semacamnya ada di Mentawai.  “Bukannya menyembuhkan problem utama tapi malah menambah parah krisis di kepulauan itu.”

 

Salah satu sungai kecil mengambil air di Koritbuah. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

 

*******

 

Hutan Tumpuan Hidup, Orang Mentawai Tak Ingin Ruang Hidup Terganggu

Exit mobile version