Mongabay.co.id

Ketika Para Pembela Lingkungan Makin Terancam, Masukan buat Pemerintah?

 

 

 

 

Krisis ikilm dan degradasi lingkungan jadi persoalan besar Indonesia.  Mirisnya, ketika masyarakat berupaya menjaga, membela dan mempertahankan lingkungan yang jadi ruang-ruang hidup mereka agar tak makin rusak, ancaman dan tindakan kekerasan justru makin meningkat kepada para pembela lingkungan (environmental defenfer) ini.

Laporan status pembela lingkungan hidup di Indonesia periode 2014-2023 dari  Auriga Nusantara menunjukkan itu. Dalam satu dekade, Auriga mencatat setidaknya 133 kasus ancaman atau SLAPP (Strategic Lawsuit Againts Public Partisipation), yang dilakukan para pihak yang merasa terganggu dengan upaya penyelamatan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan.

Kasus teranyar dialami Daniel Frits Maurits, aktivis lingkungan asal Jepara, Jawa Tengah. Daniel aktif dalam gerakan #savekarimunjawa masuk tahanan atas tudingan pelanggaran UU ITE/2016 gara-gara Daniel mengunggah video tentang pencemaran di perairan Karimunjaawa, Jawa Tengah.

Sebelumnya, jerat hukum juga dialami Bambang Hero, pakar lingkungan hidup yang sempat digugat perusahaan sawit PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) atas keterangan sebagai ahli dalam persidangan kasus dugaan perusakan perusahaan.

“Bambang Hero merupakan pembela lingkungan. Yang dilakukan perusahaan, termasuk kategori SLAPP,” kata Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara saat rilis laporan, Februari lalu.

Selama satu dekade, katanya, ada ratusan korban SLAPP atau ancaman pada para pembela lingkungan di seluruh Indonesia. Jawa merupakan pulau terpadat menduduki peringkat pertama dengan kasus terbanyak, 36 kasus. Disusul Sumatera (30), Sulawesi (23), Kalimantan (22), Bali dan Nusa Tenggaara (15), Kepulauan Maluku (5) dan Papua (2).

“Kenapa Jawa paling banyak? Karena liputan media memang lebih banyak. Nah, mengapa Papua sedikit, karena memang tidak banyak terekam, minim informasi,” ujar Timer.

Dari sebarannya, ratusan kasus ancaman ini tersebar di 27 dari 38 provinsi di Indonesia. Meliputi Jawa Tengah dengan jumlah kasus terbanyak (11), disusul Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Utara yang masing-masing 10 kasus.

Sebagian besar data dalam laporan ini dia kompilasi dari pemberitaan media. Sebagian lain dari laporan para korban ke Auriga yang telah diverifikasi. Namun, tidak menutup kemungkinan ada kasus-kasus lain yang belum tercatat karena keterbatasan akses dan lain-lain.

“Bisa saja itu terjadi mengingat ada banyak daerah terpencil di Indonesia yang sulit diakses oleh media atau korban tidak melapor karena takut atau hal lain,” katanya.

 

 

 

Berdasar jenisnya, kriminalisasi menjadi ancaman paling banyak. Dalam catatan Auriga, dari 133 kasus, 62% atau 82 merupakan kriminalisasi. Disusul ancaman fisik (20), intimidasi (15), pembunuhan (12), pembakaran rumah (2), imigrasi/deportasi (2).

“Ancaman Imigrasi dengan deportasi ini biasa terjadi pada para indonesianis atau periset asal luar negeri. Inilah yang pada akhirnya membuat para peneliti spesies dari luar alami kesulitan beraktivitas di Indonesia,” jelas Timer.

Dari sisi sektor yang berkontribusi, pertambangan dan energi dengan kasus paling banyak, ada 60 kasus, disusul perkebunan 34 kasus. Kemudian, kehutanan (14), tanah adat (9), perairan dan kelautan (9), lingkungan hidup (7).

Kriminalisasi tidak selalu dalam bentuk vonis pengadilan juga penetapan tersangka oleh kepolisian. Inilah yang menurut Timer menjadi persoalan. “Perjuangan mereka seharusnya dilihat sebagai upaya mempertahankan dan melindungi lingkungan agar tidak terjadi kerusakan lebih parah. Kalau tidak ada orang-orang ini, makin rusak.”

Timer menganalisis mengapa sektor pertambangan dan energi banyak menyumbang ancaman bagi para pembela lingkungan. Hal itu tak lepas dari kebijakan rezim saat ini yang lebih pro terhadap industri ekstraktif. Bahkan, demi memuluskan kebijakan itu, sederet pesal pun kerap digunakan untuk menjerat para korban.

Beberapa aturan yang biasa dipakai menjerat para pembela lingkungan itu antara lain, Kitab UU Hukum Pidana (KUHP), UU Lambang Negara, UU Darurat, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), hingga UU Keimigrasian.

“Termasuk juga UU Minerba yang memuat ketentuan barang siapa memprotes pertambangan berizin adalah tindakan kriminal. Ini bertentangan dengan ketentuan setiap orang bebas menyetakan pendapat.”

Peningkatan kasus ancaman pembela lingkungan pada momen tertentu mengonfirmasi temuan Auriga ini. Pada 2017, misal, kasus ancaman meningkat selang setahun pengesahan Peraturan Presiden (Perpres) soal Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal sama terjadi tatkala pemerintah mengesahkan aturan soal omnibus law.

“Memang masih perlu riset lebih lanjut, apakah karena aturan soal PSN atau ombinus law berkorelasi langsung, setidaknya regulasi-regulasi ini bisa jadi pemantik. Karena dari 2018 angkanya konstan naik,” kata Timer.

Baginya, temuan ini menjadi alarm bahaya bagi para pembela lingkungan. Karena itu, bersama sejumlah kelompok sipil lain, Auriga menyusun protokol perlindungan untuk jadi panduan bagi para pembela lingkungan. Penyusunan dokumen sekaligus sebagai respons atas kegagalan negara dalam melindungi para pembela lingkungan.

Dari ratusan data ancaman kepada para pembela lingkungan itu, katanya, hampir pasti ada korporasi terlibat. “Kalau kami analisa, dari 107 korporasi terlibat, 9 pelaku sama. Artinya, perusahaan ini melakukan berulang.”

Sementara situasi global juga menggambarkan kondisi sama. Secara kumulatif, laporan Global Witness, kasus pembunuhan pembela lingkungan mencapai 382 orang di seluruh dunia. Bertambah enam orang dari sebelumnya 376 orang. Dari jumlah ini, masyarakat adat menjadi korban paling banyak yang mencapai sepertiga dari total keseluruhan kasus.

 

 

 

Evaluasi regulasi

Dia pun mendorong pemerintah mengevaluasi produk hukum yang menjerat para pembela lingkungan atau membuat instrumen perlindungan lebih ketat.

Langkah penting ini, katanya, untuk memastikan gerakan penyelamatan sumber daya alam tetap ada. Sebab, orang-orang seperti mereka yang konsisten berjuang memastikan bumi tetap lestari dan layak ditinggali. “Mereka memiliki peran penting mengontrol eksploitasi sumber daya alam tetap terkendali,” katanya.

Asfinawati, pakar hukum dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera mengatakan, tren ancaman meningkat terhadap pembela lingkungan itu tak boleh terjadi di tengah usaha mewujudkan keadilan iklim saat ini. “Ini miris.”

Para pembela lingkungan, kata Asfinawati, seharusnya mendapat perlindungan atas peranan mereka memastikan keberlanjutan. Peningkatan kasus ancaman pada pembela lingkungan ini sebagai satu bentuk kegagalan reformasi.

Dia bilang, melihat para pembela lingkungan itu seharusnya sebagai penjaga terakhir agar tak lanjut kerusakan. Yang terjadi justru sebaliknya. Para pembela lingkungan itu kerap berhadapan pada ancaman hukum, seperti kriminalisasi.

Asfina menilai, ancaman pembela lingkungan tinggi tidak sejalan dengan isi deklarasi PBB perihal Hak Asasi Manusia 1998. Deklarasi itu menyatakan, setiap orang memiliki hak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk mengumpulkan, menerima dan menggunakan sumber daya dengan maksud memajukan dan melindungi HAM dan kebebasan dasar.

Merujuk deklarasi itu, yang dilakukan para pembela lingkungan seharusnya mendapat perlindungan negara.

Asfina mendorong pemerintah menyusun kembali protokol atau standard operating procedure (SOP) dalam menangani kasus-kasus berkaitan para pembela lingkungan. Termasuk, melakukan pembaruan hukum acara pidana.

Memang, lanjut Asfina, ada mekanisme pengajuan praperadilan untuk menguji sah tidaknya penetapan tersangka oleh aparat penegak hukum. Namun dia berharap, mekanisme itu lebih bersifat mandatori.

“Mandatori ini akan mengharuskan setiap penersangkaan harus diuji di pengadilan. Tidak seperti sekarang. Apakah yang bersangkutan mau ngajukan atau tidak. Bagi yang punya duit, tidak masalah. Tapi, bagaimana dengan mereka yang tidak punya?“

 

 

 

Eko Cahyono, sosiolog jufa peneliti agraria Sayogjo Institute mengatakan, sejatinya Indonesia memiliki sejumlah perangkat perlindungan terhadap para pembela HAM dan lingkungan. Seperti, Pasal 60 UU Nomor 12/2014 tentang Pengelolaan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH).

Beleid itu menyatakan,  setiap orang yang memperjuangkan perlindungan lingkungan tidak dapat digugat perdata maupun pidana.

Sayangnya, aturan itu tak lebih dari tulisan di kertas karena dalam praktik banyak para pejuang lingkungan justru berhadapan dengan berbagai ancaman hukum (kriminalisasi). “Aturan ini sering diabaikan karena ada kepentingan politik lain,” kata Eko.

Dia menyebut, masyarakat Indonesia kini berhadapan dengan sistem dan rezim yang  mengabaikan semua aturan. Alih-alih melindungi para pembela lingkungan, rezim penguasa cenderung mengutak atik aturan demi memuluskan kepentingan tertentu.

Aturan soal PSN, misal, kata Eko, ada banyak kemudahan ketika sebuah proyek naik status dari proyek non PSN menjadi PSN.

Peningkatan status itu tidak hanya jadikan negara menandani langsung proyek, juga membuka ruang keterlibatan TNI-Polri.

“Aturan soal PSN ini membuka ruang keterlibatan TNI-Polri untuk menjaga. Ini salah satu faktor kunci meningkatkan kekerasan, ancaman dan kriminalisasi terhadap para pembela HAM dan lingkungan.”

Pada akhirnya, pelibatan aparat dalam program PSN ini juga membawa konsekuensi lain. Konflik-konflik yang terjadi dengan pelibatan aparat justru lebih sulit selesai ketimbang antar masyarakat.

Label PSN, katanya, tidak sekadar status. Di dalamnya,  ada peningkatan otoriti, politik, bahkan kewenangan untuk melakukan apapun demi memuluskan proyek.

“Dengan kata lain, status PSN jadikan negara lebih power full untuk melakukan apa pun. Termasuk pelibatkan TNI Polri yang akhirnya justru meningkatkan eskalasi konflik”.

 

Aksi masyarakat yang protes terhadap banyaknya jerat hukum pada para pembela lingkungan, seperti dalam kasus penambangan di Wadas. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

******* 

 

 

Kritik Tambak Udang Cemari Perairan Karimunjawa Berbuntut Jerat Hukum Aktivis Lingkungan

Exit mobile version