Mongabay.co.id

Muro, Kearifan Masyarakat Lembata Menjaga Ekosistem Laut Berkelanjutan

Ikan-ikan karang mulai kembali di ekosistem yang mulai terpulihkan di Teluk Hadakewa, Pulau Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

 

Hamparan laut di Desa Kolontobo, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, NTT, tampak surut. Perairan Wewa Belen di depannya, merupakan wilayah Muro seluas 107,03 ha.

Benediktus Bedil Direktur, LSM Pengembangan Masyarakat Lembata [Barakat] menuturkan, Muro adalah kesepakatan sosial dalam bentuk narasi tanpa wujud fisik.

Muro mengatur tingkah laku manusia terhadap obyek, mulai dari tata cara perencanaan, pelaksanaan, kewenangan, pengelolaan, pengawasan, distribusi, waktu, sampai sanksi-sanksi atau hukuman yang semuanya dilakukan melalui kesepakatan sosial.

“Kesepakatan ini diinisiasi masyarakat adat melalui kabelen lewo [kepala suku] yang memiliki keyakinan bahwa dirinya adalah bagian dari alam yang mewajibkannya untuk menjaga dan melidungi lingkungan,” ujarnya awal Maret 2024.

Muro merupakan kearifan lokal masyarakat di Pulau Lomblen [Lembata] menjaga laut berkelanjutan. Konservasi laut ini telah mendapat pengakuan Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP], melalui Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 95 Tahun 2021 tentang Kawasan Konservasi di Perairan di Wilayah Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT].

Muro juga disahkan melalui SK Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor: 192/KEP/HK/2019 tertanggal 11 Juni 2019 tentang Pencadangan Konservasi Perairan Daerah di Kabupaten Lembata.

Baca: Saat Laut dijaga dengan Muro, Ikan-Ikan pun Datang Kembali ke Lamatokan

 

Ikan-ikan karang mulai kembali di ekosistem yang mulai terpulihkan di Teluk Hadakewa, Pulau Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Karakteristik kawasan

Ben jelaskan, Muro mengenal tiga zonasi. Zona pertama, “Tahi Tubere” atau jiwa laut. Lokasi ini sama dengan zona inti, tempatnya ikan bertelur dan berkembang biak.

“Tidak boleh diganggu, agar ketika ikan sudah besar dan keluar kawasan ini bisa ditangkap,” ungkapnya.

Zona kedua, “Ikan Berewae” atau ikan perempuan. Lokasinya sama dengan zona penyangga dan hanya perempuan beserta anak-anak yang diutamakan memancing di areal ini.

Zona ketiga, “Ikan Ribu Ratu” atau ikan untuk umum”. Lokasinya di zona pemanfaatan dan dibuka atau ditutup sesuai kesepakatan.

“Ada yang dibuka setiap tahun. Ada yang tergantung kebutuhan umum dan ada yang dibuka 3-5 kali setahun untuk semua masyarakat. Kearifan Muro yang lama hilang kini dihidupkan lagi di 5 desa yaitu di Dikesare seluas 92,10 ha, Lamawolo [11,25 ha], Lamatokan [54,36 ha], Tapobaran [97,23 ha], dan Kolontobo [107,03 ha]. Luas total 361,87 ha,” terangnya.

Baca juga: Muro, Kearifan Lokal Lindungi Ikan dan Laut. Seperti Apa?

 

Anak-anak sedang mandi dan menangkap ikan di pesisir pantai Desa Lamatokan, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, NTT yang masuk kawasan zona penyangga. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Tindak pelanggar

Felix Baso, tokoh adat Desa Kolontobo, mengakui sebelum ada Muro ada, orang-orang menangkap ikan tanpa aturan.

Tahun 2022, dilakukan ritual adat untuk menutup kawasan laut dan tiga kasus pelanggaran ditindak. Pelanggar pertama hanya dikenakan sanksi mengganti material ritual adat. Pelanggar kedua asal Kedang, yang mencari madu di hutan bakau, diminta membayar denda di kantor desa. Pelanggar ketiga yang melepas pukat di wilayah Muro, disita alat tersebut dan pelakunya melarikan diri.

“Setelah Muro diterapkan, jumlah ikan melimpah. Kami harus melestarikan laut dan darat untuk anak cucu,” ungkapnya, awal Maret 2024.

Muro dulu pernah ada, untuk kebun maupun kawasan hutan dan kini dengan adanya pendampingan Barakat, Muro laut pun dikembangkan.

“Kami percaya Nuha tempat bersemayamnya arwah leluhur kami,” ungkapnya.

 

Lokasi Muro yang masuk zona pemanfaatan di Desa Kolontobo,Ile Ape, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT]. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Nuha [pulau] di Teluk Hadakewa terbagi Nuha kecil dan Nuha besar. Sementara Muro disebut Welo Matan, tempat keluarnya ikan.

Viktor Diri, tetua adat lainnya menambahkan, Nuha harus dijaga karena menjadi wilayah konservasi.

“Di Pulau Nuha Nera besar terdapat hutan mangore seluas 1,5 km persegi dengan berbagai jenis burung dan satwa lainnya.”

Mantan Bupati Lembata Thomas Ola Langonday menegaskan, Muro hendaknya didaftarkan sebagai Hak Kekayaan Intelektual/HAKI.

“Muro relevan dengan menjaga kelestarian dan keberlanjutan ekosistem lingkungan ditengah kondisi pemanasan global yang mengancam bumi,” pungkasnya.

 

Wawancara dengan Benediktus Bedil: Menjaga Pesisir Pulau Lembata dengan Adat “Muro”

 

Exit mobile version