Mongabay.co.id

Pengusaha Timbun Mangrove Vonis 3,6 Tahun, Teluk Youtefa Masih Terus Terancam

 

 

 

 

 

Hutan mangrove di Taman Wisata Alam Teluk Youtefa terus terancam beralih fungsi jadi berbagai kepentingan, dari tempat usaha, pemukiman, sampai pembangunan infrastruktur. Penegakan hukum mulai jalan tetapi masih terkesan belum serius karena banyak pembiaran terjadi.

Baru Januari lalu, pengusaha penimbun hutan mangrove seluas 1,2 hektar,  H Syamsunar R kena hukuman tiga tahun enam bulan, denda Rp100 juta subsider penjara enam bulan penjara oleh Majelis Hakim PN Jayapura.

“Terdakwa terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kegiatan tidak sesuai fungsi zona pemanfaatan dan zona lain taman wisata alam,” bunyi putusan hakim Januari lalu.

Sebelumnya,  pada 11 Juli 2023, Tim Gabungan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua (BBKSDA) Papua, Polda Papua, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Papua, Dinas Lingkungan Hidup Kota Jayapura, Sekretaris Daerah Kota Jayapura, mengamankan lokasi penimbunan yang terletak di tepi Jalan Hamadi ,Kota Jayapura.  Sebanyak 11 mobil berisi material penimbun dan satu eskavator menjadi barang bukti.

Dalam nota pembelaan, kuasa hukum Syamsunar menyatakan,  pada 2012, Syam sudah membeli lahan dari pemilik ulayat yaitu Hengky Dawir, Kepala Suku Dawir. Dari kesepakatan itu terbit surat hak milik (SHM) Nomor 00055/Tobati atas nama Eryanto Wibowo pada 13 Agustus 2012.

Hakim menolak pledoi itu. Hakim berpendapat, tidak boleh ada penerbitan sertifikat hak milik di area yang masuk kawasan konservasi itu.

Hakim juga menggunakan ketentuan tentang pendaftaran hak atas tanah tahun 1997. Dengan ada fakta hukum bahwa yang ditimbun merupakan kawasan konservasi, maka data fisik dan yuridis yang tercantum dalam SHM tidaklah benar. Syam juga terbukti melanggar aturan soal pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.

Tindakan terdakwa mengubah bentang alam di kawasan itu adalah perbuatan yang dilarang,” kata hakim dalam pertimbangannya.

Dalam pembelaan, Syam menyampaikan fakta banyak tempat usaha dan pemukiman yang mengubah bentang alam kawasan konservasi ini. Hakim menolak alasan itu dengan alasan fakta itu tidak bisa jadi pembenaran atas perbuatannya.

“Aparat penegak hukum haruslah melakukan penegakan hukum yang adil, dengan memproses pihak-pihak yang diduga melakukan perusakan kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa itu,” kata hakim.

Syamsunar tidak menerima putusan ini dan mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Jayapura 1 Februari 2024.

 

Majelis Hakim, Derman P Nababan, Hakim Ketua. Llau Wempy WJ Duka dan Roberto Naibaho, sebagai Hakim Anggota, saat baca putusan. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Terus terjadi alih fungsi, banyak ancaman

Kawasan Teluk Youtefa adalah wilayah adat tiga kampung yaitu Tobati, Enggros dan Nafri. Masyarakat sebagian besar sebagai nelayan ini memanfaatkan kawasan ini sebagai sumber penghidupan. Di hutan mangrove, perempuan-perempuan biasa mencari berbagai jenis kerang untuk konsumsi maupun jual. Karena fungsinya, kawasan mangrove ini sering juga disebut sebagai hutan perempuan.

Pemanfaatan secara tradisional oleh masyatakat tidak dilarang, karena tidak mengubah bentang alam. Namun, masifnya pembukaan jalan lingkar Jayapura di kawasan konservasi ini mendorong perubahan fungsi kawasan.

Riset Universitas Cenderawasih Jayapura menunjukkan,  dari 1994 hingga 2017, terjadi pengurangan luas kawasan mangrove 159,34 hektar atau 40,59%.

Kawasan konservasi makin tergerus diperkirakan setelah Presiden Joko Widodo meresmikan jembatan merah pada  Oktober 2019. Jembatan ini mendorong banyak pengusaha memanfaatkan kawasan ini sebagai lokasi bisnis. Selain itu, Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021 juga menimbun sebagian ekosistem mangrove untuk pembangunan venue dayung.

Petronela Meraudje,  warga Kampung Enggros mengatakan, pembangunan jalan dan jembatan memicu perubahan kawasan ini.

“Ketika mulai ada pembangunan ring road dan jembatan merah, pengusaha mulai masuk membangun di mana-mana.Ini semua ada pada pembangunan jembatan.”

Penerima Kalpataru Award 2023 ini berharap, vonis terhadap Syamsunar menjadi peringatan bagi semua pihak bahwa benar kawasan ini dilindungi hukum.

Selain hukuman hakim, pelaku juga harus mengangkat mengembalikan timbunan di lokasi mangrove.

“Kami siap menanam kembali.”

Ema Hamadi, Lurah Argapura dan perempuan Adat Kampung Tobati mengapresiasi putusan hakim. Dia berharap masyarakat adta tidak lagi menjual tanah di kawasan konservasi ini.

“Sebagai perempuan yang tinggal di kawasan situ, banyak yang datang tanya saya, tanya ini jual? Saya bilang tidak tanah ini kawasan konservasi. Yang bisa tinggal hanya pemilik ulayat saja.”

Dia berharap,  pemerintah memberikan kontribusi setimpal kepada masyaraka adat atas usaha mereka mempertahankan kawasan ini, serta jalankan aturan perlindungan kawasan.

Dengan begitu banyak ‘pemanfaatan’  area di kawasan konservasi itu, dia nilai sebagai   tindakan pembiaran. “Sebenarnya masyarakat sudah menyadari tempat ini jangan dijual, tapi mereka mencoba-coba. Mereka bilang tidak ada respon dari pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk menyetopnya. Jadi mereka jalan terus.”

Ke depan, semua orang yang melanggar aturan perlindungan kawasan ini harus kena hukum sama.

“Jangan tebang pilih juga. Jangan Bapak Haji Syamsunar saja yang dihukum,  tapi yang lain dibiarkan.”

Hutan bakau yang sudah ditimbun di area kawasan konservasi Taman Wisata Alam Teluk Youtefa Jayapura. Foto: Asrida Elisabeht/ Mongabay Indonesia

 

******

 

Perempuan Adat Desak Tindak Tegas Penimbun Hutan Mangrove Teluk Youtefa

Exit mobile version