Mongabay.co.id

Plastik Sekali Pakai, Tidak Ramah Lingkungan dan Berbahaya Bagi Kesehatan

 

 

Plastik jenis Polystyrene yang banyak digunakan sebagai alat makan sekali pakai, memiliki dampak tidak baik bagi kesehatan manusia.

Plastik aromatik ini mengeluarkan styrene yang dapat menempel pada makanan atau minuman dan jumlahnya semakin banyak pada makanan atau minuman berlemak, berminyak, maupun  panas. Bahan styrene juga dapat memicu kanker, ganguan sistem reproduksi, dan sistem saraf.

“Jadi, sangat tidak direkomendasikan untuk kemasan makanan dan minuman,” ujar Hanie Ismail, Koordinator Komunitas Nol Sampah Surabaya, awal Maret 2024.

Dijelaskan Hanie, sejumlah negara Uni Eropa seperti Inggris, Skotlandia, dan Wales, telah melarang penggunaan alat makan jenis ini. Menurut data Kementerian Lingkungan Inggris, lanjut dia, Inggris menggunakan satu miliar piring sekali pakai dan lebih empat miliar sendok garpu plastik setiap tahunnya. Dari jumlah itu, kurang dari 10 persen yang dapat didaur ulang.

Di Surabaya, jumlah sampah plastik terus meningkat. Tahun 1988 jumlah sampah plastik tercatat 5,6 persen dan bertambah hingga 12 persen pada 2000. Pada 2017, jumlahnya naik 14 persen dari total yang dihasilkan warga Surabaya.

“Studi tahun 2021, menyebutkan sampah plastik sudah meningkat menjadi 22 persen, atau rata-rata satu orang menghasilkan 0,7 kg/hari sampah. Artinya, setiap harinya warga Surabaya menghasilkan sekitar 2.170 ton sampah,” terang Hanie.

Data Surabaya City Baseline Report 2021 yang dilakukan Institut Teknologi Sepuluh Nopember [ITS] Surabaya bersama United Nations ESPAP, serta sejumlah lembaga, mengkategorikan sampah yang dihasilkan warga Surabaya dalam beberapa jenis. Kantong plastik menempati urutan teratas [27%], disusul alat makan [18%], popok atau pembalut [17%], botol plastik [14%], dan plastik kemasan [8%].

“Survei yang dilakukan Nol Sampah, menunjukkan sampah alat makan sekali pakai menjadi jenis yang terus meningkat. Ini dipengaruhi menjamurnya restoran, cafe, dan tempat makan yang menyediakan jenis tersebut dengan alasan praktis,” ujar Hanie.

Bersama komunitas peduli lingkungan lainnya, Hanie mendesak Pemerintah Kota Surabaya meninjau ulang Peraturan Wali Kota [Perwali] Nomor 16 Tahun 2022 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik, agar membatasi plastik sekali pakai, termasuk alat makannya.

Baca: Pemilu 2024: Jangan Ada Botol Plastik Sekali Pakai dalam Debat Capres Cawapres

 

Sampah plastik merupakan persoalan utama di Indonesia yang harus segera diselesaikan. Foto: Greenpeace

 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup [DLH] Kota Surabaya, Agus Hebi Djuniantoro, mengatakan Perwali Nomor 16 tahun 2022 menyasar toko swalayan, pasar moderen, restoran dan pasar rakyat. Isinya, melarang penggunaan kantong plastik dan kewajiban menggunakan kantong belanja ramah lingkungan.

“Kalau masyarakat mau belanja di pusat perbelanjaan, pasar tradisional, toko swalayan, dan restoran, diimbau menggunakan kantong belanja ramah lingkungan. Nantinya tidak ada lagi yang menjual atau menyediakan kantong plastik,” katanya.

Agus berharap, peraturan ini dapat mengurangi 50 persen dari sekitar 111.300 ton sampah plastik yang dihasilkan setiap tahunnya oleh warga Surabaya.

“Aturan ini juga dituangkan melalui pembentukan satgas khusus penanganan kantong plastik, yang bertugas melakukan sosialisasi dan penindakan,” ujarnya.

Baca: Manta dan Mola Rentan Memakan Mikroplastik di Manta Bay

 

Kampanye Stop Pakai Alat Makan Sekali Pakai di Car Free Day Taman Bungkul Surabaya, awal Maret 2024. Foto: Nol Sampah Surabaya

 

Aksi Sungai Brantas

Aksi membebaskan Sungai Bratas, Jawa Timur, dari sampah dilakukan Aliansi Sungai Brantas, ECOTON, bersama perwakilan Pemerintah Provisi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Gresik, awal Maret 2024.

Bupati Gresik, Fandi Akhmad Yani, mengatakan peran aktif masyarakat merupakan dukungan positif bagi pemerintah daerah untuk mengatasi berbagai persoalan lingkungan, mulai dari hulu hingga hilir.

“Kami tidak bisa jalan sendiri. Gerakan masyarakat seperti memilah sampah dari rumah, belanja isi ulang, serta tidak membuang sampah ke sungai, merupakan hal sangat baik. Kita semua berharap ekosistem Sungai Brantas tetap terjaga dan dapat berfungsi dengan baik,” ujarnya.

Fandi mengatakan, Pemkab Gresik telah memiliki mesin pengolah sampah menjadi RDF (Refuse-Derived Fuel), pertengahan 2023. Sampah organik maupun sampah jenis plastik yang dibawa ke TPA Ngipik diolah menggunakan mesin RDF. Sampah yang telah dicacah dan diolah menjadi ukuran lebih kecil tersebut, dijadikan briket.

“Sudah dimanfaatkan usaha mikro kecil dan menengah [UMKM] di Gresik sebagai bahan bakar dalam aktivitas mereka,” ujarnya.

 

Sepeda belanja refill ini mendapat sambutan positif dari warga di Surabaya. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Pemkab Gresik telah mengoperasikan tempat pengolahan sampah terpadu [TPST] baru di wilayah Belahanrejo, yang difungsikan menampung sampah dari kawasan Gresik selatan. Targetnya, mampu mengolah 20 ton sampah per hari, serta memproduksi setiap jamnya sekitar 100 kilogram briket.

Di Gresik juga juga telah ada Peraturan Bupati yang melarang penggunaan botol plastik air kemasan dan plastik dalam berbagai kegiatan di lingkungan Pemkab Gresik.

“Disarankan menggunakan gelas,” paparnya.

Pada Aksi Brantas, dilakukan juga pemantauan air sungai, melalui pengujian kualitas air dan biotilik. Dengan mengetahui kondisi tersebut, dapat diterapkan langkah yang tepat dalam penanganan maupun upaya menjaga kejernihan sungai.

“Bila tercemar bisa dirancang langkah perbaikan. Bila sehat, perlu disusun upaya menjaga kualitas airnya agar tetap baik,” ujar Daru Setyorini, Direktur Eksekutif ECOTON.

 

Sampah Plastik dan Perubahan Iklim, Seperti Apa?

 

Exit mobile version