Mongabay.co.id

Kearifan Lokal Bajo Wakatobi Selamatkan Dugong dari Perburuan

 

Diyo’h…diyo’h,” teriak segerombolan bocah suku Bajo yang berlari kencang, berlomba menyusuri jalan-jalan sempit di atas timbunan karang membentuk desa pesisir Mola Selatan, Pulau Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Minggu (24/3/2024).

Samran (39), yang sedang menunggu waktu berbuka puasa ramadhan menjadi penasaran, spontan berlari tergesa-gesa berusaha menyusul langkah anak-anak yang semakin cepat mendatangi satu kolam petak segi empat membentuk pagar kolam berbahan timbunan karang, di ujung kampung. Warga dan anak-anak yang lebih dulu sampai, ramai berdiri. Mereka dengan seksama mengamati seekor diyo’h, sebutan lokal mamalia laut duyung (Dugong dugon).

Samran yang merupakan aktivis lingkungan Bajo setempat, segera menghimpun informasi mengenai keberadaan satwa dugong yang langka untuk dijumpai – bisa berada dalam kolam pemukiman Bajo.

Rupanya, dugong itu terperangkap ke dalam jaring nelayan terumbu karang, area penangkapan ikan nelayan Bajo, berjarak setengah jam menggunakan perahu bermesin tempel.

“Nelayan itu membawa pulang dugong untuk diamankan, dia takut nanti di tangkap nelayan pemburu dugong untuk dimakan,” ungkapnya.

Baca : Pertama Kali, Dugong Mati Terdampar di Perairan Sumatera Barat. Apa Penyebabnya?

 

Time rescue Balai Taman Nasional Wakatobi (TNW) melepasliarkan dugong yang terperangkap jaring nelayan di habitatnya, 25 April 2024. Foto: Balai TN Wakatobi

 

Belakangan diidentifikasi Balai Taman Nasional Wakatobi (TNW), dugong berjenis kelamin betina dengan panjang tubuh sekitar 135 cm. Balai TNW melepasliarkan sehari kemudian ke habitat alaminya di salah satu titik di perairan Wakatobi.

TNW ingin “Memastikan satwa tersebut dapat hidup kembali bersama Dugong lainnya di habitatnya,” tulis Union, pemimpin Tim Rescue Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Balai TNW, dalam rilis yang diperoleh Mongabay Indonesia.

Sementara Samran yang selama bertahun-tahun fokus terlibat mengampanyekan penyelamatan dugong, dibuat kaget dengan pengakuan nelayan yang menyelamatkan dugong – khawatir akan perilaku nelayan pemburu dugong.

 

Spesies umbrella

“Ada yang good news dan ada yang bad news”, ucap Sekar Mira, pakar mamalia laut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ketika mendengar kepedulian nelayan Bajo yang berusaha menyelamatkan dugong terperangkap jaring dari perburuan liar.

Berita buruknya berupa informasi masih terjadi praktek perburuan dugong di wilayah TNW. Berita baiknya, kepedulian dan rasa ingin melestarikan lingkungan ada di masing-masing orang yang bahkan mungkin belum tahu bahwa dugong satwa dilindungi.

Esti Hasrawaty dkk telah menerbitkan jurnal penelitian “Peran kearifan lokal Suku Bajo dalam mendukung pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Wakatobi” pada tahun 2017. Penelitian dengan metode observasi, wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) itu bertujuan untuk menganalisis kondisi ekosistem perairan di TNW melalui representatif tutupan lamun dan tutupan karang.

Hasilnya, implementasi kearifan lokal nelayan Suku Bajo dapat dikatakan efektif pada beberapa stasiun yang ditujukan dengan kondisi karang yang masih terjaga. Kearifan lokal yang dimaksud antara lain: tuba dikatutuang, larangan penangkapan dalam jumlah besar di area tertentu dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan ; dan adanya parika merupakan sistem kelembagaan bertindak sebagai penentu waktu penangkapan dan tempat penangkapan.

Baca juga : Dugong dan Penyu di Pulau Gelam yang Terancam Tambang

 

2. Nelayan menjaring ikan di pesisir Desa Mola Selatan, Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Menurut Mira, pengetahuan dan kearifan lokal suku Bajo terhadap perilaku konservasi jauh lebih maju dari masyarakat modern, meski ada pekerjaan rumah (PR) besar pemerintah untuk lebih mensosialisasikan hewan-hewan yang dilindungi seperti dugong ke mereka.

“Kita justru harus belajar ke mereka,” ujar Mira. Katanya jika masyarakat nelayan di TNW terus menjaga kelestarian dugong berkorelasi dengan perilaku adaptif terhadap perubahan iklim global. Dalam ekologi laut, dugong merupakan umbrella species di laut, membantu penyebaran biji-biji lamun yang berguna untuk ‘carbon stop’.

Dugong juga disebut sebagai spesies yang ikonik dan kharismatik, yang jika dilibatkan dalam upaya pelestariannya menjadi ketertarikan tersendiri untuk mendatangkan stakeholder. Melestarikan dugong secara tidak langsung telah melestarikan banyak spesies terkait lain berhubungan dengan kelangsungan hidupnya.

Bersama menjaga peran dugong pada habitatnya di TNW, merupakan langkah besar untuk menjaga kelestarian jantung segitiga karang dunia.

Mira menyarankan untuk lebih ditingkatkan kontrol terhadap masyarakat, mengingat peraturan perlindungan dugong sudah lengkap, meski terkendala pada sosialisasi yang belum maksimal untuk menjangkau semua kalangan dalam satu waktu.

“Kita negara kepulauan, sulit untuk menjangkau semua,” pungkasnya.***

 

 

Setelah Belasan Tahun Menghilang, Dugong Kembali Muncul di Pantai Nipah Lombok Utara

 

 

Exit mobile version