Mongabay.co.id

Kera Raksasa Itu Punah, Ini Penyebabnya

 

Bayangkan seekor kera raksasa setinggi tiga meter, dengan berat mencapai 300 kg. Bahkan atlet sumo terberat yang pernah ada (292,6 kg) akan mudah dikalahkannya. Namun kera raksasa itu telah punah. Ukurannya yang besar justru menjadi beban.

Sebelumnya penyebab kepunahan mereka masih teka teki. Tapi kini ilmuwan telah mengetahuinya. Lingkungan berubah dan mereka gagal beradaptasi.

“Ketika makanan mulai langka, badan yang sangat besar membuatnya sulit memanjat pohon untuk mencari sumber makanan baru,” kata Renaud Joannes Boyau, salah satu peneliti, yang laporannya dimuat di jurnal Nature, Januari, 2024 lalu. Pernyataannya dikutip dari Phys.

Penelitian melibatkan beberapa universitas dari China, Australia, dan Amerika. Ini merupakan proyek kerja sama berskala besar, dengan mengumpulkan bukti tak kurang dari dua puluh situs di wilayah yang luas di propinsi Guangxi, China selatan.

Saat ini ada empat primata yang dimasukkan ke dalam keluarga Hominidae yang disebut kera besar. Mereka adalah orangutan, gorila, simpanse dan bonobo. Dari keempat yang tersisa, gorila adalah yang terbesar. Tingginya bisa mencapai 195 cm, dengan berat mencapai 200 kg.

Jika masih ada, kera dengan nama ilmiah Gigantopithecus blacki tentu akan dimasukkan ke dalamnya. Dia punah sekitar 295 ribu hingga 215 ribu tahun lalu. Menyisakan kerabatnya yang masih bertahan sampai saat ini, termasuk orangutan yang tinggal di hutan Sumatera dan Kalimantan yang kelestariannya kini juga terancam.

Baca : Misteri Punahnya Gigantopithecus blacki, Kera Terbesar di Bumi Terkuak

 

Ilustrasi dari peneliti ini menggambarkan Gigantopithecus blacki di sebuah hutan di wilayah Guangxi, Tiongkok selatan. Sumber : Garcia/Joannes-Boyau/Universitas Southern Cross

 

Mengutip JSTOR, G. blacki diidentifikasi pada tahun 1935 oleh ahli paleontologi Jerman Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald. Dia awalnya menemukan gigi geraham dan sejumlah tulang yang kala itu disebut gigi naga dijual di sebuah toko obat. Dia kemudian mempublikasikan temuannya dan menamakannya G. blacki sebagai penghargaan untuk Davidson Black yang menemukan fosil manusia Peking.

Sejak itu, para peneliti kemudian menemukan ribuan gigi dan beberapa tulang rahang dari kera raksasa ini. Sayangnya kerangka lengkap belum pernah ditemukan hingga kini.

Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald sendiri cukup dikenal di Indonesia. Dia melakukan beberapa penelitian di Jawa dan menghasilkan temuan yang juga sangat penting guna memahami evolusi manusia. Temuan pentingnya itu antara lain sejumlah fosil Phitecantropus pada 1930-an di Sangiran.

Volume otak dari fosil temuan ini sekitar 775 cc, atau hanya separuh dari manusia modern. Meski begitu masih lebih besar dari volume otak kera.

Pada 1950 dia mempublikasikan temuan fosil lain yang diberi nama Meganthropus palaeojavanicus. Kali ini volume otak fosilnya sedikit lebih besar.

Baca juga : Kera Besar Ternyata Bisa Mengingat Teman dan Keluarganya yang Puluhan Tahun Tak Jumpa

 

Gigi Gigantopithecus rahang bawah dari Kenozoikum Asia Timur. Tampilan publik, Museum Sejarah Alam Cleveland, Cleveland, Ohio, AS. Foto : Wikipedia

 

Gigantopithecus blacki tercatat menjadi primata terbesar yang pernah ada dan salah satu megafauna terbesar di Asia Tenggara. Gigi gerahamnya diketahui sangat besar, dan ketebalan emailnya tidak lazim.

“Gigi memberikan wawasan menakjubkan mengenai perilaku spesies yang mengindikasikan stres, keragaman sumber makanan, dan perilaku berulang,” kata Joannes-Boyau. Kali ini dikutip dari pernyataan resmi Macquarie University, Australia.

Untuk mengetahui keadaan lingkungan saat G. blacki hidup, para ilmuwan merekonstruksinya dari temuan 22 fosil gigi G. blacki dan 9 Pongo weidenreichi. Yang disebut terakhir ini adalah orangutan China yang juga sudah punah.

Mereka meneliti tanah yang diperkirakan sewaktu dengan saat mereka hidup, sebelum hingga saat kepunahannya. Para ilmuwan juga meneliti serbuk sari, arang, dan fosil gigi untuk mengetahui perubahan lingkungan, pola makanan dan perilaku.

Akhirnya para ilmuwan mengetahui, pada saat sebelum kepunahan habitat yang mereka tinggali merupakan hutan lebat dan rerumputan. Namun tahun-tahun selanjutnya lingkungan berubah. Hutan menyempit dan semakin terbuka, sumber makanan juga semakin terbatas.

Hal itu antara lain ditunjukkan lewat pengamatan serbuk sari yang ditemukan. Di masa sebelum kepunahan serbuk sari terbanyak berasal dari pohon tinggi berkayu. Sementara pasca kepunahan terbanyak berasal dari tumbuhan tidak berkayu.

Baca juga : Seperti Manusia, Kera Besar Ternyata Bisa Konyol dan Menggoda yang Lain

 

Inilah sosok Gigantopithecus blacki, kera terbesar yang pernah hidup di Bumi. Kredit: Garcia/Joannes-Boyau (Southern Cross University) via Nature

 

G. blacki memakan buah-buahan dan bunga bernutrisi yang disediakan pohon-pohon tinggi hutan tropis. Namun rupanya musim kemarau lebih sering terjadi dan kanopi hutan mulai terbuka. Karena sumber makanan mulai terbatas mereka perlahan mengganti makanannya dengan kulit pohon, alang-alang, dan makanan tidak bergizi lain.

P. weidenreichi yang berpostur lebih kecil masih bisa bertahan, namun G. blacki tidak. Populasinya terus menurun dan perjuangannya untuk beradaptasi tak sesuai harapan. (***)

 

Penelitian: Kera Besar Memiliki Selera Humor Seperti Manusia

 

Exit mobile version