Mongabay.co.id

Jangan Biarkan, Penyu Hijau Jantan Hilang di Tahun 2100

 

Nasib penyu hijau masih belum beranjak dari spesies terancam punah di Bumi. Kehidupan mereka tidak lepas dari ancaman perburuan di laut, pencurian telur di pantai dan dirusak habitatnya dengan sampah dan polutan.

Kini mereka menghadapi ancaman lain yang lebih berbahaya. Salah satu yang cukup mengkhawatirkan adalah adanya kemungkinan di masa depan penyu hanya melahirkan tukik betina atau yang disebut para ahli sebagai “feminisasi”.

Sebagai informasi, jenis kelamin tukik penyu sangat ditentukan oleh suhu. Semakin hangat kemungkinan menetaskan betina lebih besar. Sebaliknya, semakin dingin suhu iklim makin berpeluang menetaskan sang pejantan.

Sejauh ini 52% dari seluruh populasi penyu hijau yang menetas sudah dipastikan berkelamin betina. Walaupun data tersebut spesifik untuk lokasi penelitian di Guinea-Bissau, Afrika Barat, tetapi para peneliti mengatakan bahwa mereka mengharapkan gambaran serupa secara global.

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Universitas Exeter dan Pusat Ilmu Kelautan dan Lingkungan Portugal. Mereka mengamini bahwa pada suhu yang lebih hangat seperti yang diperkirakan oleh skenario Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), 76-93% tukik yang menetas akan berjenis kelamin betina. Sisanya adalah tukik jantan.

Baca : Penyu Hijau, Si Hewan Purba Penjelajah

 

Perburuan telur penyu masih terjadi di Aceh, kondisi ini menyebabkan terganggunya populasi penyu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

“Penyu hijau menghadapi masalah di masa depan karena hilangnya habitat dan meningkatnya suhu,” kata Dr Rita Patricio, dari Pusat Ekologi dan Konservasi di Kampus Penryn, Universitas Exeter, Cornwall.

Rita mengkhawatirkan kondisi itu. Katanya, kematian pada telur akan lebih tinggi pada kondisi suhu yang berubah. Ketika suhu terus meningkat, penyu yang belum menetas akan sulit untuk bertahan hidup.

Sementara, peneliti dari Griffith University di Australia, Arthur Barraza, menemukan fakta lain. Dia percaya bahwa polutan logam berat termasuk kadmium dan antimon, serta kontaminan organik sebagai penyebab beberapa feminisasi tukik.

“Penelitian kami menunjukkan bahwa risiko kepunahan karena kurangnya penyu hijau jantan dapat diperparah oleh kontaminan yang juga dapat mempengaruhi rasio jenis kelamin penyu hijau yang sedang berkembang, sehingga meningkatkan bias terhadap penyu betina,” kata Barraza.

Dalam penelitian ini, para peneliti mengambil sampel hati dari tukik. Mereka kemudian menganalisisnya untuk mencari zat yang mungkin mempengaruhi perkembangan jenis kelamin.

Mereka juga menemukan bukti adanya kontaminan yang diduga meniru hormon seks wanita estrogen di dalam embrio yang sedang berkembang. Sehingga mendorong kemungkinan terjadinya perkembangan jenis kelamin betina dibanding jantan.

Penyu yang lahir dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari zat-zat ini –termasuk logam seperti kromium, timbal, dan kadmium serta produk sampingan industri seperti bifenil poliklorinasi (PCB)– lebih mungkin untuk menjadi betina.

Studi ini menunjukkan efek gabungan dari aktivitas manusia terhadap kehidupan laut. Namun, hal ini juga dapat memicu solusi.

“Karena sebagian besar logam berat berasal dari aktivitas manusia seperti pertambangan, limpasan air, dan polusi dari limbah pusat kota, cara terbaik ke depan adalah menggunakan strategi jangka panjang berbasis sains untuk mengurangi masukan polutan ke lautan kita,” kata Jason van de Merwe, seorang ahli ekologi kelautan di Griffith University dan penulis senior studi tersebut, dalam sebuah rilis berita.

Baca juga : Rahasia Hidup Penyu di Tengah Ancaman Mundurnya Garis Pantai

 

Penyu hijau yang keberadaannya terpantau juga di perairan Nusa Tenggara Timur. Foto: Wikimedia Commons/Seasidesaltlife/CC BY-SA 4.0

 

Kondisi yang terbalik

Penyu hijau atau Chelonia mydas adalah penjelajah ulung. Secara historis populasi mereka memiliki jangkauan geografis yang luas, mendiami daerah tropis, subtropis, dan beriklim sedang di Samudra Atlantik, Pasifik, dan Hindia, serta Laut Tengah.

Dan sebagaimana siklus hidupnya, penyu jantan lebih banyak menghabiskan umurnya dengan berlama-lama di lautan. Sedang betina, akan sering mengunjungi daratan yang sama dengan kelahiran mereka hingga beregenerasi menelurkan anak-anak tukik selanjutnya.

Secara umum, tukik jantan jauh lebih banyak daripada betina. Namun, di beberapa tempat ratusan penyu betina mendominasi. Kini agak berbeda, semacam ada kondisi yang tebalik seiring suhu yang berubah.

Untuk membuktikan fenomena itu, Barraza dan rekan-rekannya berfokus pada populasi penyu hijau di Pulau Heron. Sebuah pulau pasir karang kecil di bagian selatan Great Barrier Reef, Australia.

Di sana, 200 hingga 1.800 penyu betina bertelur tiap tahun. Tukik yang lahir di pulau ini memiliki rasio jenis kelamin yang lebih seimbang. Para peneliti mempelajari 17 sarang telur penyu hijau di pulau itu.

Mereka mengumpulkan sample dengan jarak dua jam setelah induknya bertelur, kemudian menguburnya kembali di samping alat pengukur yang merekam data suhu per jam di dalam sarang dan di permukaan pantai.

Ketika tukik-tukik tersebut menetas, para peneliti mencatat jenis kelamin. Selain itu tukik yang menetas kemudian dilakukan uji 18 logam berat.

“Semua kontaminan ini diketahui atau diduga berfungsi sebagai ‘xenoestrogen’ atau molekul yang berikatan dengan reseptor hormon seks wanita,” kata penulis senior Jason van de Merwe, ahli ekologi kelautan dan ekotoksikologi di Australian Rivers Institute.

Baca juga : ShellBank, Aplikasi untuk Memutus Perburuan dan Perdagangan Penyu Ilegal

 

Seekor penyu hijau. Foto : Universitas Exeter

 

Penyu betina mengakumulasi kontaminan dari logam berat di tempat mereka mencari makan, jelas van de Merwe. Ketika telur berkembang di dalam tubuhnya, polutan tersebut bisa berkorelasi sehingga mengalami feminisasi.

Di Pulau Heron, penelitian ini menemukan rasio jenis kelamin yang bervariasi di antara sarang yang berbeda. Tetapi sebagian besar sarang yang diteliti menghasilkan tukik betina.

“Karena sebagian besar logam berat berasal dari aktivitas manusia seperti pertambangan, limpasan air, dan polusi dari limbah perkotaan secara umum,” imbuh van de Merwe, “cara terbaik ke depan adalah menggunakan strategi jangka panjang berbasis ilmu pengetahuan untuk mengurangi jumlah polutan yang masuk ke lautan.”

Sejauh ini 93% tukik penyu hijau bisa menjadi betina pada tahun 2100. Untuk itu, dibutuhkan solusi yang mendeksak agar perubahan iklim dan pencemaran segera diatasi. Jangan sampai punahnya penyu hijau menjadi petaka karena ketiadaan satwa yang memiliki peran sebagai regenerasi lamun. (***)

 

 

Pekerjaan Rumah Melindungi Penyu dari Ancaman Kepunahan

 

Exit mobile version