Mongabay.co.id

Budidaya Mutiara di Raja Ampat:  Ekologi Sehat, Bisnis Bisa Berlanjut

 

Tidak setiap orang punya kesempatan kerja unik seperti Marina de Olivera Kaesnube (27), perempuan asli dari Nusa Tenggara Timur ini. Berbeda dengan orang kebanyakan, kantornya adalah sebuah keramba apung yang menampung ribuan tiram mutiara Pinctada maxima.

Pekerjaannya penting. Hanya orang-orang terlatih yang bisa melakukannya. Tugasnya menyuntikkan manik-manik atau nukleus ke tiram mutiara. Dari inti ini, tiram akan mengeluarkan lapisan demi lapisan nacra, yang menghasilkan mutiara yang berharga.

“Selain cari nafkah, saya bergabung [di perusahaan ini] karena tertarik belajar budidaya tiram mutiara, khususnya proses pembedahannya,” kata Marina kepada Mongabay. Marina sendiri telah bekerja sejak tahun 2022.

Untuk menanamkan nukleus ke satu tiram, dia dapat melakukannya hanya dalam waktu satu menit. Karena itulah, dia dijuluki dokter tiram. Dia bekerja di perusahaan budidaya mutiara PT Arta Samudra di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Perusahaan ini mempekerjakan sekitar 80 karyawan, -termasuk Marina, dan juga orang-orang desa lokal setempat.

Indonesia adalah produsen mutiara laut selatan (jenis yang dihasilkan dari tiram P. maxima) terbesar di dunia, dan menyumbangkan 43% dari pasokan global berdasarkan data pemerintah. Peternakan mutiara tersebar di berbagai lokasi, seperti Raja Ampat, Perairan Sulu, Perairan Sulawesi, hingga Kepulauan Aru.

Khusus untuk Raja Ampat, ia jadi salah satu pusat budidaya mutiara penting di Asia Tenggara, karena laut dan lingkungannya yang masih terjaga.

 

Keramba apung dengan latar belakang laut dan hutan Raja Ampat yang masih alami terjaga. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia
Teknisi secara rutin memeriksa ‘kandang’ tiram untuk memastikan kondisi lingkungan perairan yang sehat. Dok: PT Arta Samudra.

 

***

Selama berabad-abad di industri mutiara, hanya sedikit yang memikirkan keberlanjutan jangka panjang dari pengambilan tiram. Kebanyakan hanya mengambil tiram dari dasar laut, membuka dan mengambil mutiaranya, serta membuang tiram mati ke laut.

Cara ini tentu mengganggu ekologi dan menurunkan kualitas mutiara. Hal ini mulai berubah saat perusahaan-perusahaan asal Jepang, mengembangkan dan menyempurnakan metode pembiakan dan budidaya mutiara di Indonesia.

Budidaya mutiara modal asing komersial pertama di Indonesia dimulai sejak tahun 1982 di provinsi Nusa Tenggara Barat. Panen mutiara pertama dilakukan pada tahun 1985 oleh Presiden (waktu itu) Soeharto.

Joy Marthyn Sitompul, teknisi mutiara dan manajer di PT Arta Samudra menyebut perusahaan itu dulunya dimiliki oleh investor Jepang. Namun kini, sebagian besar dimiliki oleh pengusaha lokal. Joy sendiri telah bekerja di perusahaan ini sejak tahun 2003. Dia bilang, jika di Raja Ampat dahulu ada empat perusahaan yang pernah beroperasi, sekarang tersisa tiga.

“Sebagai teknisi mutiara, saya sangat menyadari pentingnya lingkungan yang sehat dan dampak dari degradasi ekosistem,” sebut Joy yang merupakan lulusan Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB University.

“Jika lingkungan rusak, kita perlu melakukan lebih banyak upaya dan perawatan hanya untuk menjaga tiram tetap sehat, dan terlebih lagi menjaga mutiara tetap sehat, dan biayanya akan sangat mahal.”

 

Garis pelampung menandai keramba peternakan mutiara PT Arta Samudra di Raja Ampat, Indonesia. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

Budidaya mutiara, keberlanjutan di tengah tantangan

Di hari itu, Marina bertugas menyuntik 30 tiram muda dengan nukleus. Peralatan dan teknik injeksinya rumit agar tiram tidak mati. Kami diminta untuk tidak mencatat rincian apa pun karena dikhawatirkan dapat bocor kepada para pesaing.

Mutiara pada dasarnya adalah hasil eksresi, atau hasil mekanisme pertahanan tiram dalam merespon iritasi. Secara alami, ini bisa berupa butiran pasir, partikel, atau parasit yang masuk ke dalam cangkang.

Dalam merespon benda asing yang masuk, tiram mengeluarkan campuran kalsium karbonat dan protein yang dikenal sebagai nacre, atau induk mutiara. Ia bagaikan lapisan ‘penyusup’ dengan  lapisan bahan warna-warni.

“Proses alami bisa memakan waktu hingga 15 tahun untuk menghasilkan mutiara berukuran layak,” kata Thoufiq Teguh, teknisi lain di PT Arta Samudra yang juga lulusan perikanan dari IPB. Dia bergabung dengan perusahaan itu kurang dari setahun lalu.

“Dengan menanamkan butiran kalsium karbonat dari cangkang, prosesnya bisa dipercepat hingga dua tahun.”

 

Tiram untuk budidaya mutiara kini sebagian besar ditanam di tempat pembenihan bukan ditangkap di alam liar. Dok: PT Arta Samudra.
Tiram mutiara yang dibudidayakan. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Meski proses implan secara teknis rumit, tapi bagian yang tersulit sebut Thoufiq adalah memastikan tiram dapat bertahan hidup. Dia mengatakan rata-rata tingkat kelangsungan hidup tiram yang ditanam adalah 80%.

“Pada dasarnya mutiara tercipta secara alami dari tiram itu sendiri. Kami hanya menyuntikkan benda asing ke dalamnya. Sisanya alam dan Tuhan yang melakukan bagiannya,” kata Joy.

Perubahan ekosistem laut di peternakan mutiara sebut Joy akan mempengaruhi tiram dan produksinya.

Suhu yang lebih hangat bakal meningkatkan jumlah makanan, dan memacu tiram untuk lebih aktif dan menghasilkan produksi mutiara yang lebih cepat. Namun, mutiaranya tidak beraturan ukuran dan bentuknya, yang secara estetik kurang baik untuk perhiasan.

Sebaliknya, suhu yang lebih dingin memperlambat metabolisme tiram, yang akan membuat lapisan setiap lapisan nacre menjadi lebih seragam dan bertahap. Meski lebih lama, proses ini akan menghasilkan mutiara yang bulat dan indah.

“Jika air [laut] dan iklim baik, maka pengelolaan tiram akan jauh lebih mudah. Karena pada dasarnya tidak perlu banyak pengolahan. Setelah tiram disuntik, tinggal dijaga kebersihannya, agar teritip tidak tersangkut di insang,” jelas Joy.

Pencemaran laut dan sedimentasi merupakan ancaman lain terhadap keberlanjutan budidaya mutiara. Terumbu karang dan hutan bakau yang kaya di Raja Ampat, berfungsi sebagai filter alami terhadap zat-zat tersebut.

Joy sebut Raja Ampat adalah tempat yang sempurna untuk menanam tiram mutiara.

“Budidaya mutiara beda dengan industri lain, karena tidak mengeksploatasi alam. Perusahaan mutiara kebanyakan tidak menghasilkan limbah, dan dapat hidup berdampingan baik dengan alam.”

Perusahaan sendiri memiliki fasilitas pembiakan tiram di Sulawesi Utara. Tiram-tiram ini lalu di bawa ke Raja Ampat. “Kami tidak memanen tiram dari alam untuk dijadikan stok peternakan,” kata Thoufiq.

FAO mencatat seluruh produksi mutiara komersial di Indonesia berbasis pembenihan, dari peternakan seperti yang dimiliki PT Arta Samudra.

 

Implan manik yang berasal dari cangkang mutiara ditanamkan ke dalam tiram untuk membentuk inti nukleus yang pada akhirnya akan menjadi mutiara. Foto: Basten Gokkon/Mongabay.
Nukleus dimasukkan ke dalam tiram mutiara. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Saat mutiara siap panen, tiram biasanya akan terbuka. Setiap tiram hanya digunakan dalam satu siklus, karena kualitas dan ukuran mutiaranya akan menurun.

“Kami mengincar mutiara kualitas premium,” kata Thoufiq.

Setelah satu siklus, tiram itu biasanya dikonsumsi dagingnya, atau diambil cangkangnya, atau di jual ke perusahaan lain yang memproduksi aksesoris mutiara kualitas yang lebih rendah.

Menurut Joy, mutiara yang dihasilkan sebagian besar di jual melalui lelang, dan tidak ada standar harga pasar. “Hampir seperti seni rupa, jadi tergantung preferensi dan tren masyarakat. Jika permintaan banyak, maka harganya naik.”

Pada tahun 2016, Indonesia memperoleh USD15,2 juta dari ekspor mutiara laut selatan, yang sebagian besar ditujukan ke pasar Jepang. Namun pesatnya pertumbuhan industri ini telah berdampak buruk pada populasi tiram liar, yang masih saja banyak dipanen oleh sebagian produsen untuk dijadikan stok peternakan mereka.

P.maxima sendiri bukanlah spesies yang dilindungi berdasarkan undang-undang konservasi Indonesia, dan tidak ada kuota yang berlaku untuk melindungi mereka dari penangkapan liar di alam liar.

 

Mutiara yang diproduksi PT Arta Samudra dari peternakan tiramnya di Raja Ampat, Indonesia. Dok: PT Arta Samudra.
Proses produksi mutiara secara alami terkadang menghasilkan mutiara dengan bentuk dan warna yang tidak beraturan, yang dianggap cacat secara komersial, tetapi masih bisa dijual. Foto: Basten Gokkon/Mongabay.

 

Agar tetap bertahan, Joy mengatakan perlu lebih banyak upaya untuk melindungi industri mutiara dan ekosistem laut yang menjadi sandaran industri tersebut.

Untuk konteks Raja Ampat, Thoufiq mengatakan hal itu dapat dicapai jika setiap  pihak mampu mempertahankan komitmen untuk melestarikan wilayah tersebut dari kerusakan akibat praktik penangkapan ikan ilegal dan merusak, polusi laut, dan pembangunan pesisir.

“Saya berharap mutiara budidaya asal Raja Ampat akan semakin terkenal dan diminati. Tidak hanya di pasar Indonesia namun juga global,” tutup Marina.

Tulisan asli: In Raja Ampat, pearl farming balances business and ecological sustainability. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Bertahan Demi Status Produsen Mutiara Laut Selatan Terbesar di Dunia

Exit mobile version