Mongabay.co.id

Ambisi Tanaman Energi untuk Co-firing PLTU Pacitan

Matahari terik menyengat siang itu. Wasinem duduk bersila di bawah rimbunan pohon mencari tempat teduh. Di sampingnya, ada bakul kecil berisi nasi merah lengkap dengan lauk tempe bacem. Beberapa lembar daun pisang dia siapkan sebagai alas makan. “Wong tani kui mboten larang-larang. Mangane yo mung ngene iki,” kata Wasinem sambil menyuapkan nasi dan tempe ke mulutnya. 

Ingatannya kembali pada kenangan tahun lalu, 14 Maret 2023, saat PLN Energi Primer Indonesia (EPI) menyambangi Gunung Kidul, di pedukuhan Ngrejek Wetan dan Karangasem, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bak juru selamat, mereka datang membawa 50.000 bibit indigofera dan kaliandra yang digadang-gadang bisa memberantas krisis pakan ternak di sana. 

Bukan itu saja, ranting pohon juga akan jadi biomassa, bahan mencampur (co-firing) PLTU Pacitan. Lokasi ini menjadi pilot project secara nasional yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030.

Warga ikut berbondong-bondong menanam dua jenis tanaman itu  termasuk Wasinem tanpa tahu menahu itu proyek apa. Saat itu, dia diminta membantu memasukkan bibit-bibit indigofera ke polybag. Nek ono rembugan, kadang dijak, yo kadang ora. Awakdewe muk rewang-rewang karena pak Sultan mau dateng,” katanya. 

Wasinem, petani pedukuhan Ngrejek Wetan, Yogyakarta menunjukan indigofera yang dia tanam. Rantingnya kecil dan beberapa helai daun mulai mengering. Menurutnya, tanaman ini tidak cocok ditanam di lahan kering seperti Gunung Kidul. Foto: Michelle Gabriela/Mongabay Indonesia

Wasinem dan warga lain pun menanam puluhan ribu bibit di lahan seluas 30 hektar. Sebagian di Sultan Ground dan pereng-pereng sawah warga. Dia sebenarnya tidak terlalu paham dengan rencana penanaman tanaman bahan baku biomassa di desanya. 

Selagi Wasinem menyantap bekal, dia sesekali memandangi sawahnya di seberang jalan. Tebon-tebon jagung terlihat menyembul dari tanah. Kendati demikian, bukan berarti persediaan air untuk sawah Wasinem selalu tersedia setiap saat. Air hujan yang menolong sawah Wasinem dari kekeringan. 

Kurangnya persediaan pakan ternak juga terus menghantui selain kekeringan. Bahkan kalau Wasinem maupun peternak lain kesulitan pakan ternak, mereka harus membeli damen di Klaten berjarak sekitar 40 km. 

Tanaman-tanaman, termasuk rumput untuk pakan ternak pun bergantung pada hujan. 

Baca juga: Catatan Program Co-Firing Biomassa di PLTU

Alih-alih menjadi solusi, pohon indigofera dan kaliandra ternyata tidak tumbuh subur di Gunung Kidul yang secara geografi perbukitan karst. 

Angel urip e ning gunung iku. Ra patio dadi,” kata Wasinem sembari menunjuk pohon berbatang kurus di tepian sawah yang belum satu meter. Di ranting-rantingnya yang kecil, terlihat ada beberapa helai daun mulai mengering. 

Berbeda dengan Suhardi, petani dari pedukuhan Ngrejek Wetan. Dia enggan ikut menanam indigofera. “Nanti gampang mati karena musim,” kata Suhardi. Dia juga masih belum memahami mengapa PLN EPI punya proyek penanaman pakan ternak di dukuhnya.

Seorang petani di Desa Mekarsari, Patrol, Indramayu, Jabar di tengah sawah berlatar belakang PLTU I Indramayu yang asapnya berdampak negatif terhadap pertanian dan kesehatan warga setempat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia.

Suhardi pun teringat rombongan mobil beserta truk hidran menyiram bibit-bibit indigofera dan kaliandra di tanah Sultan Ground. 

“Rakyat kan mung jarene. Rakyat kan wong bodo, pendidikan mboten,” kelakar Suhardi. 

Dia sudah paham betul kondisi lahan dan tanaman yang cocok di Gunung Kidul. Dia bisa mengenali tanaman apa yang mampu menyimpan air. Menurut dia, indigofera tak seperti rumput kolonjono yang mampu menyimpan air saat musim hujan. “Kalau ini enggak. Akar itu akar rambut, jadi waktu kering ya kering-kering saja.” 

Klaim turunkan emisi

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pemerintah daerah DIY bersama PLN Energi Primer Indonesia menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dalam pengembangan kawasan ekonomi hijau di Gunung Kidul. Program bertajuk “Pengembangan ekonomi hijau untuk pembangunan berkelanjutan berbasis keterlibatan masyarakat: tanaman konservasi lahan, pakan ternak, dan  bahan baku pupuk organik dan energi” di Gunung Kidul ini menjadi pilot project dalam program co-firing biomassa. 

Wilayah itu ditanami pohon gamal, gmelina, indigofera dan kaliandra merah. Upaya ini diklaim untuk konservasi lahan kritis dan marjinal di Gunung Kidul untuk tanaman pakan ternak, sekaligus sumber biomassa. 

Baca juga: Label Transisi Energi untuk PLTU Co-Firing

Gustilantika Marrel, Kepala Bebadan Pangreksa Loka Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengatakan, ranting-ranting dari indigofera dan kaliandra akan digunakan sebagai biomassa untuk co-firing batubara PLTU Pacitan. “Daun nanti diberikan gratis untuk pakan ternak masyarakat, rantingnya bisa dijual melalui Bumdes kemudian disalurkan ke PLN. Masyarakat tetap dapat keuntungan dengan menyentor rantingnya,” papar Marrel saat ditemui Mongabay, Kamis (30/11/23).

Tanaman itu akan jadi bahan baku biomassa yang diklaim mengurangi batubara sekitar 5-10%. Rencananya, luasan penanaman bahan baku co-firing ini mencapai 300 hektar. 

Hingga kini, baru 60 hektar di Sultan Ground dan lahan masyarakat yang ditanami, tersebar di Kalurahan Karangasem dan Gombang, Kapanewon Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul. Jumlah bibit pohon yang sudah ditanam pada 2023 sebanyak 50.000 dan 50.000 lagi pada 2024. 

Program ini mengusung konsep pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan, sosial, maupun tata kelola (governance), mulai dari tata kelola pakan, pangan, konservasi hutan hingga air. 

Salah satu batang indigofera yang telah mengering di telaga Desa Ngrejek Wetan, Gunung Kidul, Yogyakarta. Foto: Michelle Gabriela/ Mongabay Indonesia

Aris Setiawan, Direktur Utama PLN EPI mengatakan, pengembangan energi biomassa dalam program ekonomi hijau ini sebagai komitmen perusahaan menyediakan pasokan energi lain selain batubara di PLTU, yang sejalan dengan target net zero emission pada 2060. 

Dia klaim, teknologi biomassa, sebagai senjata pamungkas mengurangi angka emisi saat bakar batubara di PLTU. “Nanti jadi 5% biomassa, 95% batubara,” kata Aris kepada Mongabay, Jumat (12/1/24).

Penerapan co-firing biomassa ini tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030. Secara bertahap, program ini akan diterapkan pada 144 PLTU dengan kapasitas 18,3 GW pada 2025.

Aris mengatakan, dari sejumlah peninjauan wilayah di Indonesia, Gunung Kidul menjadi lokasi strategis dan bisa membantu mengatasi kekurangan pakan ternak warga. “Ternyata penduduk disitu kan justru mengharapkan bantuan pakan ternak.” 

MoU antara ketiga lembaga ini disepakati dengan model bagi hasil. PLN memberi bibit dan akan membelinya ketika siap panen. Sementara, Keraton dan pemerintah provinsi menyediakan lahan. 

Dia menyatakan, PLN tidak membeli, membayar, ataupun menyewa lahan kepada Keraton atau masyarakat.

“Posisinya kita memanfaatkan atau bekerja sama dengan lahan kritis. Kalau pun lahan akan digunakan pemiliknya, tinggal geser aja,” kata Aris. 

Selain itu, masyarakat sebagai penanam dan perawat diuntungkan dengan tanam bibit ini.

Papan nama proyek penanaman biomassa di Desa Ngrejek Wetan, Gunung Kidul, Yogyakarta. Foto: Michelle Gabriela/Mongabay Indonesia.

 

PLN juga menggandeng kelompok tani Berkahing Bhumi. Riyanto, Koordinator Kelompok Tani Berkahing Bhumi mengatakan, mereka bertugas menyediakan pupuk dan mengurusi teknis penanaman. “Kita menyediakan 50 ton untuk dua desa. Kontraknya Rp50 juta.”

Adapun kontrak dua belah pihak ini juga termasuk dalam jasa memasukkan bibit indigofera dan kaliandra ke dalam polybag

Bagi Riyanto, penyemaian indigofera sulit apalagi di musim kemarau. “Tumbuhnya lama, harus rutin dikasih air. Untuk menghilangkan getah aja harus direbus air panas.” 

Riyanto pun mulai memperhitungkan harga indigofera yang akan dijual. Ke depan, PLN tak lagi menyediakan bibit gratis. Setelah hitung-menghitung kebutuhan listrik, air, media tanam, dan polybag, dia mematok harga indigofera per bibit Rp3.500. “Itu pun per bibit kita cuma untung Rp200 perak,” katanya. 

Pembibitan indigofera di kelompok tani Berkahing Bhumi, Yogyakarta. Tanaman ini nantinya akan memasok kebutuhan biomassa di PLTU Pacitan. Foto: Michelle Gabriela/ Mongabay Indonesia

Sebelumnya, Aris sempat menceritakan, PLN telah pruning tanaman  indigofera yang tingginya sudah dua meter. Dia  menduga, indigofera tumbuh subur di lahan karst Gunung Kidul, kendati musim kemarau. “Musim kering mereka bisa tumbuh dengan sendirinya,” ucap Aris. 

Kalau melihat ke daerah telaga di Desa Ngrejek Wetan, berada di lahan Sultan Ground yang tidak pernah dimanfaatkan, indigofera tumbuh tinggi.

Sukirin, salah seorang warga mengatakan Desa Ngrejek Wetan, menyatakan bahwa lahan Sultan Ground memang subur karena lapisan tanah masih terjaga. Berbeda dengan nasib indigofera yang ditanam di perengan lahan warga. Kurus, mengering dan mati. 

Baca juga: Solusi Palsu dari PLTU Co-Firing Batu Bara

Terpinggirkan perhitungan penurunan emisi

PLN sebagai pemasok emisi terbesar pun mau tak mau turut dalam komitmen penurunan emisi. PLN memiliki target bauran energi terbarukan 23% dengan teknologi co-firing pada 2025. Namun, kajian Trend Asia dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) pada 2023, justru menyebutkan, penerapan co-firing biomassa 10% pada 107 PLTU menambah emisi sekitar 26,5 juta ton setiap tahun. 

Penambahan emisi ini tidak hanya dari pembakaran biomassa bersama batubara, juga dari deforestasi karena penyediaan biomassa. Hasil perhitungan Trend Asia menyebutkan, perkiraan kebutuhan biomassa untuk 107 PLTU berkapasitas 18,8 gigawatt mencapai 10,23 juta ton per tahun. Kebutuhan sebesar ini hanya mungkin tercukupi oleh perkebunan berskala besar atau hutan tanaman energi (HTE) paling sedikit 2,33 juta hektar. 

Wasinem, petani Gunung Kidul bercerita kalau padi, jagung dan singkong telah cukup menghidupinya selama ini. Mereka tidak pernah dilibatkan dalam proyek biomassa ini, hanya diminta untuk menanam bibit yang nyatanya tidak cocok di lahan pertaniannya. Foto: Michelle Gabriela/Mongabay Indonesia

HTE inilah yang memungkinkan deforestasi. Amalya Reza Oktaviani, Program Manager Trend Asia mengatakan, co-firing biomassa tidak hanya menambah emisi dari sektor energi, juga dari sektor lain. “Co-firing biomassa menurut kami adalah solusi palsu reduksi emisi,” ucapnya. 

Beberapa riset dari Trend Asia menyebutkan, co-firing biomassa memungkinkan deforestasi. Aris membantahnya. Menurut dia, pandangan penyediaan biomassa melalui HTE keliru. “Di Gunung Kidul konsepnya tumpang sari, kalau HTE pasti tidak berkelanjutan,” jawabnya. 

Amalya pun menanggapi memang di Pulau Jawa jarang terjadi deforestasi, justru yang sering terjadi perampasan lahan. Dia melihat secara historis penggunaan lahan oleh masyarakat setempat. “Apakah tanah ini sebelumnya tidak digunakan oleh masyarakat?” tanya Amalya. 

Dia menambahkan, klaim pemerintah bahwa co-firing biomassa netral karbon itu salah. Pasalnya, kalau tumbuhan baru berumur 3-5 tahun langsung ditebang akan menghasilkan emisi baru karena penyerapan emisi belum sempurna. “Kalau mau netral karbon, ya harus nungguin sampai tumbuh sempurna, menjadi pohon tua.” 

Komoditas pangan oleh mayoritas masyarakat di Gunung Kidul, Yogyakarta. Data: Sidney Alvionita Saputra dan Michelle Gabriela. Desain: Hidayaturohman.

Sigit Purnomo, Lurah Karangasem mengklaim warga di pedukuhannya menyambut baik niat PLN. Menurut dia, 25.000 bibit dari  PLN EPI ludes ditanam warga di lahan seluas 15 hektar. “Sebagian ditanam di tanah milik pribadi. Sebagian lagi di tanah kas desa dan Sultan Ground,” ucap Sigit.

Dia katakan, tak menutup kemungkinan ke depan ada penambahan luasan penanaman biomassa di Karangasem. Selama masih ada tempat yang bisa dijangkau, katanya, akan digencarkan. Perawatan tumbuhan biomassa pun, katanya, akan dilakukan warga. “Itu kan di tanah warga masing-masing, jadi warga yang merawat,” katanya.  

Namun, Sigit tak menyebutkan siapa yang akan merawat tanaman di lahan Sultan Ground. Ia berdalih, kalau indigofera tak perlu perawatan khusus. Bahkan, dia sebutkan kalau ada potensi warga beralih menanam indigofera lantaran menguntungkan. “Kenapa tidak? Dulu kan warga masih menanam tanaman tradisional, tanaman pangan. Itu pun sekarang sudah dimodifikasi, dicari mana yang lebih menguntungkan,” katanya. 

Sedangkan Wasinem yang mluku seorang diri sangsi dengan pernyataan Sigit. Baginya, padi, jagung, dan singkong cukup menghidupinya selama ini. Toh, ketika panen, Wasinem tak langsung menjual seluruh hasil buminya. 

Gunung Kidul dinobatkan sebagai lumbung pangan bagi Yogyakarta. Petani Gunung Kidul pun memiliki pengetahuan lokal untuk mengatur penghasilan jangka pendek, menengah, hingga panjang. Sama halnya dengan Wasiem. Ia tahu kapan harus menjual dan menyimpan hasil panen untuk kebutuhan hidup ke depannya. Ia juga selalu memperkirakan jenis tanaman agar dapat memutar uang dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Yo ngene urip dadi wong tani, keno nggo urip,” ujar Wasinem.*** 

Pangan Perempuan Tani Indramayu dalam Himpitan Pembangkit Listrik Batubara

*Sidney Alvionita Saputra dan Michelle Gabriela adalah jurnalis dari pers mahasiswa BPPM Balairung Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 

 

Exit mobile version