Mongabay.co.id

Walhi Sebut Tantangan Lingkungan Makin Berat, Menuju Indonesia Cemas 2045

 

 

 

 

 

 

Tinjauan Lingkungan Hidup (TLH) 2024 Walhi menunjukkan kondisi lingkungan, hukum, dan sosial dalam negeri yang tidak baik-baik saja. Alih-alih menyambut ‘Indonesia Emas 2045’, kondisi ini justru akan membawa pada ‘Indonesia Cemas 2045’.

“Ini bukan hanya teknis masalah lingkungan. Kita bicara masalah lingkungan dan kondisi sosial, kemunduran HAM, demokrasi, dan KKN merebak,”kata Raynaldo G Sembiring,  Ketua Ketua Dewan Nasional Walhi dalam peluncuran TLH 2024 Walhi baru-baru ini.

Walhi menilai,  Indonesia sedang memasuki era yang penuh tantangan ekologis signifikan di tahap terakhir periode kedua Presiden Joko Widodo. Upaya pemulihan lingkungan, mengatasi krisis iklim dan melindungi hak asasi manusia cenderung stagnan bahkan mundur.

Slogan nawacita yang seharusnya menjadi tonggak pemulihan lingkungan justru bertransformasi jadi alat mendorong pembangunan infrastruktur. Langkah pembangunan yang diambil pun malah mengancam ekologi dan kesejahteraan masyarakat.

“Kami melihat nawacita ini jadi kegagalan. Terlihat dari hukum yang tidak makin progresif, tapi alami kemudnuran dan stagnansi di beberapa tempat,” kata M Islah, Deputi Internal Eksekutif Nasional Walhi.

Dia menyinggung,  berbagai pelemahan hukum rezim Jokowi. Antara lain, dengan menelurkan Undang-undang Cipta Kerja yang berimplikasi pada perlindungan hutan, dan reduksi pasal-pasal perlindungan lingkungan yang terkandung dalam UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Untuk UU Cipta Kerja, ada kemunduran perlindungan hutan karena perubahan rezim izin menjadi izin multiusaha kehutanan. Hal ini memungkinkan pemegang izin untuk melaksanakan berbagai jenis kehiatan usaha, termasuk pemanfaatan kawasan, hasil hutan kayu dan non-kayu, serta jasa lingkungan.

Kondisi ini terbuka untuk memaksimalkan kawasan hutan, baik hutan lindung maupun hutan produksi. Efeknya, korporasi jadi lebih mudah menguasai hutan dengan beragam kegiatan. Sementara masyarakat akan menjadi lebih sulit dalam memantau operasi perusahaan.

Perusahaan pun diberikan keistimewaan lebih lanjut lewat UU ini dengan pemutihan dosa mereka lewat Pasal 110A dan 110B. Implementasi pasal ini memberikan tenggat 2 November 2023 bagi korporasi mendaftar skema pemutihan, tetapi tidak ada batasan waktu untuk menyelesaikan penghitungan dan pembayaran denda administrasinya.

Ada juga UU Nomor 3/2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba. Walhi menilai,  ada empat poin dampak nyata dari UU ini.

Pertama, pengalihan kewenangan izin dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat yang menurunkan level partisipasi masyarakat. Kedua, ancaman kriminalisasi terhadap protes dan penolakan masyarakat akibat keluarnya izin tambang meningkat.

Ketiga, perusahaan tambang masih bisa beroperasi meskipun terbukti merusak lingkungan. Keempat, perusahaan tambang bisa mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, bahkan mendapat jaminan royalti 0%.

 

Operasi perusahaan tmbang tembaga di dataran atas Pacitan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, Walhi juga mencatat ada daya rusak tinggi dari tambang. Perluasan konsesi nikel, misal, memicu peningkatan deforestasi karena 765.237,07 hektar dari 1.037.435,22 hektar konsesi nikel berada dalam kawasan hutan.

Kriminalisasi karena pertambangan pun tergolong tinggi. Tahun 2022, empat orang ditahan polisi pasca aksi unjuk rasa masyarakat adat lingkar tambang PT Vale Indonesia.

Secara khusus, Walhi juga menyoroti praktik pertambangan di pulau-pulau kecil, seperti di kasus pertambangan nikel di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.

Menurut Peraturan Daerah Sulteng Nomor 9/2018, Pulau Wawonii seharusnya teralokasi untuk kawasan pemanfaatan umum peruntukan perikanan tangkap.

“Setiap tahun selalu terjadi seperti ini. Ada politik tata ruang yang gagal diantisipasi pemerintah,” kata Parid Ridwanuddin,  Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional.

Masyarakat di pulau kecil dan pesisir, terutama nelayan, sebut Parid, tidak diperhatikan pemerintah. Isu ini pun luput dari debat Capres-Cawapres 2024, selama lebih dari 75 tahun tidak ada peraturan khusus terkait wilayah tangkap nelayan skala kecil atau tradisional.

Selama enam bulan terakhir, banyak nelayan tidak bisa melaut karena krisis iklim di pesisir. Prediksi Walhi, hampir satu juta nelayan hilang akibat krisis iklim pada 2030.

Selain dampak iklim, wilayah mereka di darat pun tercaplok proyek-proyek strategis nasional. “Situasi ini tidak bisa dibiarkan. Di tengah kondisi ini justru banyak peraturan yang mempersulit hidup para nelayan dan masyarakat di pesisir,” kata Parid.

 

Spanduk protes penolakan pembangunan perumahan rumah contoh untuk warga relokasi yang terdampak proyek Rempang Eco-City di Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Reforma agraria nihil

TLH 2024 juga Walhi menyoroti makin senjangnya penguasaan tanah di Indonesia. Walhi menilai,  capaian reforma agraria yang mengecewakan justru menggeser masyarakat dari tanah mereka.

Sebenarnya, pemerintah mengklaim berhasil melakukan sertifikasi hak milik tanah transmigrasi yang mencapai 140.590,72 hektar, pendaftaran tanah (PTSL) mencapai 9.173.953 hektar dan redistribusi 1,67 juta hektar. Tetapi, Walhi menilai,  pencapaian sertifikasi dan legalisasi tanah ini tidak mencerminkan keberhasilan pemerintah dalam reforma agraria.Dua hal itu sejatinya merupakan tugas rutin pemerintah.

Sedang reforma agraria, katanya, seharusnya mencakup tiga aspek penting, mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah, menyelesaikan konflik agraria, dan memberdayakan ekonomi setelah redistribusi untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian.

Program strategis pemerintah lain, seperti perhutanan sosial pun tidak berjalan dengan baik. Hingga akhir masa tugas Presiden Jokowi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru bisa memberikan akses kelola perhutanan sosial dengan berbagai skema 6.371.773,42 hektare, jauh dari target 12,7 juta hektar.

Sisi lain, penggusuran, perampasan dan pelanggaran HAM terus terjadi karena proyek pembangunan infrastruktur dan investasi. PSN, dinilai Walhi sebagai cara baru merampas tanah-tanah rakyat.

Pada September 2023, Presiden Jokowi dengan bangga menyampaikan keberhasilan menyelesaikan 161 PSN selama delapan tahun terakhir.

“Negara menyembunykan realitas dengan kata-kata manis,” kata Islah.

Dia nilai,  PSN mempercepat kerusakan dan kebangkrutan ekologis di tengah krisis iklim yang sudah masif. Salah satu yang disoroti Wahi adalah proyek Ibu Kota Nusantara yang disebut bisa mereforestasi kembali kawasan itu, tetapi citra satelit menunjukkan perubahan kawasan masif.

“Sementara banyak juga wilayah pertanian dan produktif pangan dihancurkan PSN. belum lagi dampak dari proyek terhadap masyarakat sekitar,” kata Parid.

PSN, katanya,  menjadi unit lantaran pemerintah bisa merevisi bebas dasar aturan tanpa kategorisasi jelas sebuah proyek disebut strategis secara nasional. Pada 2019-2024, terjadi empat kali pergantian regulasi PSN.

Satrio Manggala,  Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi Nasional menyebut,  ada keanehan dari perubahan regulasi daftar PSN yang sebelumnya diatur Perpres jadi Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Hal ini membuat bingung lantaran regulasi setingkat permen bisa berlaku sangat luas.

“Seharusnya permen hanya mengatur dan mengikat di dalam jajaran kementerian di bawahnya saja,” kata Satrio.

Kondisi ini pun membuat sulit masyarakat sipil menggugat regulasi kalau PSN berpotensi konflik di masyarakat.

 

Aktivitas tambang batubara di lokasi izin HGU PT SDM.4. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Kuasa oligarki

Semua permasalahan struktural lingkungan ini Walhi nilai karena penguasaan oligarki sudah mengakar. Kontestasi Pemilu 2024 disebut jadi contoh bagaimana negara tunduk pada oligarki dengan tidak ada visi-misi selamatkan bumi dari para kontestan.

“Mereka sadar ada dampak lingkungan dari kebijakan-kebijakan mereka tapi solusi yang ditawarkan cenderung usang atau kerap gagal,” kata Satrio.

Ketiga kontestan, katanya, masih menawarkan industri ekstraktif dan ekonomi warna-warni yang cenderung hanya jargon. “Ekonomi hijau, atau biru atau lainnya, tapi tidak ada konkret dan tidak melibatkan publik,” kata Satrio.

Kondisi ini, katanya, akan membawa pada babak kebangkrutan Indonesia. Apalagi,  Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang untuk memenangi Pemilu 2024 memiliki jejak deforestasi masa lalu yang tinggi.

Dalam catatan Walhi, ada 31,9 juta hektar deforestasi dari era Orde Baru sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan jejak ada di KIM. “Melalui (mantan Menhut) Zulkifli Hasan saja kurang lebih ada 10 juta deforestasi di koalisi ini,” kata Satrio.

Walhi pun menyangsikan nihilnya deforestasi di masa mendatang dengan KIM sebagai pemegang kemudi pemerintahan.

Karena itu, dia menilai perlu ada improvisasi strategi dari masyarakat sipil. Kalau selama ini selalu berfokus pada eksekutif, perlu ada langkah mengadvokasi ke legislatif.

“Kalau levelnya Undang-undang, kita mau dorongnya lebih ke level legislatif,” katanya.

Dia juga mendorong ada Undang-undang Partisipasi Publik lahir dari strategi ini. Regulasi ini, dinilai dapat menjadi salah satu cara mengerem dan melindungi ugal-ugalannya pemerintah dalam membuat regulasi atau proyek yang berpotensi berisiko bagi lingkungan dan masyarakat.

“Selama ini,  partisipasi publik diatur parsial dalam masing-masing Undang-undang. Kita perlu UU ini supaya nanti prosedur, jaminan dan segala macam terkait partisipasi publik ada standar yang bisa diikuti.”

 

Proyek pembangunan calon istana kepresidenan di Ibu Kota Nusantara (IKN). Foto: Muhammad Razil Fauzan

 

*******

Kritik Tambak Udang Cemari Perairan Karimunjawa Berbuntut Jerat Hukum Aktivis Lingkungan

 

Exit mobile version