Mongabay.co.id

Kala Hutan Mangrove Pesisir Tangerang Terbabat jadi Pemukiman Mewah

 

 

 

 

 

 

Hutan mangrove di pesisir Tangerang, Banten,  perlahan berganti wajah menjadi bangunan-bangunan tinggi menjulang. Pemukiman premium skala besar bagian dari Pantai Indah Kapuk (PIK)  II mulai menggerus parisai hijau di pesisir pantai Tangerang itu.

PIK 2 merupakan pengembangan dari PIK 1 di Penjaringan, Jakarta Utara. Alih fungsi  hutan mangrove sudah terjadi dan terus berjalan sampai saat ini di pesisir Kabupaten Tangerang. Masyarakat yang hidup di sekitar dan merawat hutan mangrove pun was-was pelindung dan ruang hidup mereka hilang.

Berdasarkan denah lokasi, PIK 2 terbentang di pesisir Utara Tangerang dari Kecamatan Kosambi hingga Kronjo seluas 2.650 hektar. Lokasi yang sudah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional (PSN) oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu akan menjadi pusat bisnis dan hunian yang mencangkup rumah, apartemen, ruko dan properti premium lain.

Pembangunan mulai berjalan. Pesisir Kecamatan Teluknaga dan Kosambi perlahan berubah jadi kawasan premium.

Mongabay mendatangi beberapa wilayah pesisir mulai dari kawasan PIK 2 hingga Pulau Cangkir, Kecamatan Kronjo.

Di PIK 2, nampak daratan di sebagian Kecamatan Kosambi dan Teluknaga,  sudah jadi kawasan premium seluas 1.064,82 hektar. Terlihat gedung-gedung, pusat perbelanjaan, apartemen dan hunian mewah megah.

Tak jauh dari situ, tepatnya, di Teluknaga ada konservasi hutan mangrove yang dilakukan warga.  Kondisi mangrove rimbun dan kini mereka dalam bayang-bayang kekhawatiran.

Saat memasuki Desa Muara, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, sudah terlihat pembangunan PIK 2. Para pekerja sedang mengoperasikan alat berat. Tak jauh dari Desa Muara, sudah ada apartemen mewah menjulang tinggi terbangun.

Panas terik yang menyengat tak terasa tatkala memasuki hutan mangrove Muara. Rimbun tutupan mangrove jadi perisai yang menghalangi sinar matahari. Suasana nyaman, dan adem, dengan hembusan angin laut Pantai Utara Tangerang.

Sebagian hutan mangrove di desa ini masih terjaga. Kepiting, udang dan ikan terlihat menghuni di sela-sela akar mangrove. Burung bangau hinggap di dahan pohon. Hutan ini jadi tempat tujuan wisata.

Orang lalu lalang. Ada yang mau menikmati pemandangan hutan dan memancing. Ada pula nelayan sedang mencari biota laut seperti kepiting, ikan dan udang.

Untuk memfasilitasi para pengunjung, pengelola menyediakan jalan setapak dari bambu. Jalan- jalan bambu itu dibuat dan mengarahkan ke spot spot hutan mangrove.

Adalah Supriyatno, yang sudah puluhan tahun merawat hutan mangrove di Desa Muara, Kecamatan Teluknaga ini.  Hatinya tergerak menjaga mangrove berawal dari kegundahan melihat hutan di pesisir Tangerang itu rusak ditebang untuk jadi tambak udang lalu ditinggalkan begitu saja.

Sekitar tahun 2000-an, Supriyatno bersama masyarakat berinisiatif konservasi hutan mangrove. Dia membuat sekolah alam yang salah satu tujuan untuk konservasi mangrove.

Sampai sekarang, sekitar 500 hektar hutan mangrove tumbuh rimbun di Desa Muara, Desa Lemo dan Desa Salembaran, Kecamatan Kosambi dan Tanjung Pasir. Hutan ini juga dalam kelolaan pemerintah daerah.

Jauh sebelum itu, orangtua Supriyatno juga menjaga dan merawat hutan mangrove.

“Sebenarnya konservasi mangrove sudah dilakukan. Waktu itu orang tua lebih dulu. Saya hanya nerusin,” katanya, kepada Mongabay.

 

Pembangunan mulai berjalan di Teluknaga, Tangerang. Foto: Irfan Maulana/ Mongabay Indonesia

 

Kini, pesisir Tangerang terkepung pembangunan kawasan premium. Dari pantauan di pesisir Tangerang, selain Teluknaga dan Kosambi, sebagai wilayah juga sudah tersentuh pembangunan PIK.

Supriyatno tak memungkiri, sebagian hutan mangrove yang dia konservasi di Teluknaga dan Kosambi, sudah berubah jadi kawasan premium.

Dia khawatir bila sisa hutan  mangrove turut tergusur. “Kekhawatiran itu pasti ada, kegundahan pasti ada.”

Setiap pembangunan, katanya,  ada kekurangan dan kelebihan.

Supriyatno khawatir apabila hutan mangrove tergusur, masyarakat tidak ada lagi mata pencaharian.

Dia menyadari, hanya masyarakat biasa dan merasa tak mampu melawan pengembang besar dan pemerintah. Dia berharap, pemangku kepentingan bisa memberikan kebijakan soal konservasi mangrove. Sebab, banyak masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup di hutan mangrove.

“Pasrah saja, berharap pemerintah yang punya kuasa ya mikirin masyarakat pesisir. Berserah saja, siapa kita?” katanya.

Mangrove di Desa Muara, katanya,  banyak memberikan manfaat. Masyarakat Muara akan sengsara bila mangrove tergusur.

Nelayan tradisional pun was-was, seperti Alex dan Gugun. Kedua nelayan di Desa Muara ini memanfaatkan hutan mangrove untuk mencari udang, ikan dan kepiting. Mereka pasrah dengan pembangunan kawasan premium.

“Punya PT Sedayu group, PIK sampe merak. Semua habis,” ucapnya.

Dia bilang, rata-rata nelayan Muara tidak mencari biota sampai ke tengah laut. Mereka hanya mencari di pinggir-pinggir laut dan hutan mangrove.

“Paling jauh satu kilometer (melaut). Disini semua ke laut, ada yang cari kepiting, kerang. Semua ngandelin laut, nelayan pinggir semua.”

Begitu pula Gugun, penghasilan selama melaut tak menentu,  sekitar Rp30.000 per hari. Dia mencari udang dan kepiting di sekitar hutan mangrove. Otomatis ketika hutan mangrove tergusur, dia pun kebingungan.

Gak tau,  bingung saya juga. Abis gimana?”

 

Hutan mangrove di Desa Muara, Teluknaga, sebagian sudah jadi kawasan mewah. Foto udara: Irfan Maulana/ Mongabay Indonesia

 

Tak hanya di Desa Muara. Hutan mangrove di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, alami nasib serupa. Hutan berjarak sekitar tujuh kilometer dari Desa Muara ini seluas puluhan hektar telah tergusur menjadi perumahan, tersisa sekitar empat hektar yang dikelola masyarakat.

Lokasi perumahan yang dahulunya hutan mangrove yang warga jaga sudah berbatas pagar beton sekitar lima meter. Untuk menjangkau hutan mangrove tersisa harus gunakan perahu menuju muara Sungai Cisadane.

Muhammad Guntur, pegiat konservasi hutan mangrove di Desa Tanjung Burung mengatakan,  hutan mangrove mulai tergusur pada 2022,  rata dengan tanah awal 2023.

“Sisa lahan yang saya tanamin sekitar 4-5 hektar mungkin. Itu sebagian juga rusak karena ada kegiatan pengurukan,” katanya, Maret lalu.

Kini, Guntur hanya bisa pasrah dan meratapi kenyataan sembari berharap pemerintah membuat kebijakan untuk konservasi mangrove.

Sekitar 19 tahun, dia bersama masyarakat Tanjung Burung fokus merawat hutan mangrove. Mereka sadar, segudang manfaat mangrove, tetapi kehadiran pemukiman elit menghilangkan hutan yang mereka jaga selama ini.

“Pasrah dan gak jelas nasibnya bagaimana. Saya saat ini kondisinya sudah putus asa, berharap ada kompensasi, lebih dari 19 tahun kita beraktivitas disana,” katanya.

 

Lahan di Tanjung Burung ini dulu sebagian merupakan hutan mangrove…Foto: Irfan Maulana/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2016, terbentuklah Kelompok Tani Hutan (KTH) Mangrove Tanjung Burung yang juga beranggotakan anak muda. Pada akhir 2019, mereka mendapatkan izin mengelola hutan mangrove di lahan Perhutani seluas 55 hektar terbagi di dua wilayah, 41 hektar di Desa Tanjung Burung, 14 hektar di Tanjung Pasir. Lokasi itu, dikenal Eduwisata Mangrove Tanjung Burung.

Sekarang Guntur dan masyarakat hanya bisa meratapi kenyataan, hutan mangrove tergusur jadi kawasan mewah.

“Yang jelas setiap hari itu mangrove mulai rusak. Sekarang kan aktivitasnya berubah, dari pembangunan-pembangunan besar, otomatis akan kena dampak kerusakan lingkungan terutama ekosistem mangrove,” katanya.

Guntur bilang, selama ini tidak ada sosialisasi dari pemerintah soal pembangunan itu. Warga terkejut ketika tiba-tiba hutan mangrove yang mereka jaga puluhan tahun tergusur.

“Yang jelas semua itu tautau sampe sini, tautau sampe di area situ (pengurukan), tautau begitu. Intinya gak jelas mana sih lahan mangrove di pantai Tangerang yang dilindungi gak jelas.”

Dia bilang, masyarakat Tanjung Burung tak menghalang-halangi proyek tetapi meminta agar hutan mangrove tetap dipertahankan.

“Jadi,  seberapa besar pembangunan fisik, pembangunan mewah di pesisir gak ada mangrove itu menurut saya memprihatinkan.”

Warga Desa Lontar, Kecamatan Kemiri, Tangerang pun khawatir hutan mangrove mereka alami nasib serupa.

Meski, hutan mangrove Desa Lontar masih terjaga sampai saat ini tetapi mereka was-was karena kemungkinan pembangunan mewah akan masuk sana.

“Sangat khawatir ketika memang plot PT Agung Sedayu Group itu di Lontar hampir 3/4 akan digusur,” kata Eka Komara,  Ketua KTH Desa Lontar, Maret lalu.

Dia prihatin dengan kondisi hutan mangrove di pesisir Tangerang. Eka bilang, pengembang akan membangun satu kilometer dari bibir pantai tetapi kenyataan tak seperti itu. Pengembang justru membangun dan menggusur hutan mangrove di bibir pantai.

“Kalau kita lihat contoh yang sudah terjadi di Tanjung Burung, katanya kan satu kilometer dari bibir pantai. Ternyata habis, sayang banget,  kelestarian lingkungan terancam, terutama hutan mangrove.”

Eka tengah berusaha agar hutan mangrove di Desa Lontar tidak tergusur dengan jadikan tempat wisata.

“Harapan kita dari Agung Sedayu, lahan yang sudah kita tanam mangrove, diperuntukkan buat mangrove, harusnya kita tata lebih baik lagi, kita jadikan pariwisata luar biasa,” katanya.

Masyarakat, katanya, sudah bersusah payah menanam mangrove untuk menjaga lingkungan sejak 2020.

 

Hutan mangrove di Tanjung Burung, tersisa sebagian kecil. Hutan mangrove yang lain sudah berubah jadi bangunan. Foto: Irfan Maulana/ Mongabay Indonesia

 

Apa kata pemerintah daerah?

Pemerintah Tangerang pun seakan tak bisa berbuat apa-apa.

Agustin Hari Mahardika selaku Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3), Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) mengatakan,  mulai fokus konservasi hutan mangrove sejak 2017 sebagai bagian program unggulan untuk kemajuan masyarakat pesisir.

Program itu menyisir infrastruktur dasar, pemberdayaan masyarakat dan penataan ekonomi.

Pada 2015, Pemerintah Tangerang bekerjasama dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk melanggengkan program ini.

Namun, katanya, Pemerintah Tangerang mengalami kendala soal status lahan. Menurut dia, banyak lahan pesisir Kabupaten Tangerang dikuasai pengembang untuk pembangunan kawasan premium. Pemerintah Tangerang pun kesulitan menanam mangrove.

“Kita berharap ada pembangunan selaras, paling tidak pembangunan dibarengi lingkungan yang sehat,” ucap Hari.

Hari berharap, Pemerintah Tangerang diajak komunikasi dalam penyelenggaraan kawasan pesisir hingga hutan mangrove turut lestari.

“Cuma karena lahan adalah lahan mereka kita tidak berhak ikut campur,” ucap Hari.

Hari mengatakan, sejak Undang-undang Nomor 9/2015 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23/2014 soal Pemerintahan  Daerah ada, peran pemerintah kabupaten/kota di wilayah pesisir sedikit. Lebih banyak kewenangan pusat.

“Tapi senang kalau kita diajak PIK untuk ikut bagaimana memikirkan ekosistem yang sehat bagi warga PIK, tentu saja dengan memperhatikan lingkungan hidup. Salah satunya dengan mangrove,” katanya.

Dengan mangrove sehat, kata Hari,  oksigen juga baik, lingkungan sehat untuk berkembang generasi muda maupun masyarakat termasuk di perumahan itu.

 

Hutan mangrove Desa Lontar. Warga juga was-was, hutan mangrove yang mereka jaga akan hilang jadi kawasan mewah. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia

 

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional mengatakan,  penghilangan hutan mangrove di pesisir Tangerang membuktikan pemerintah tidak konsisten dalam restorasi dan rehabilitasi hutan Mangrove.

Bukan upaya menjaga hutan mangrove tetapi presiden justru menetapkan pembangunan di kawasan itu sebagai PSN.

“Akhirnya,  mereka punya justifikasi, punya legitimasi untuk meneruskan pembangunan. PIK merasa punya keistimewaan karena oleh Jokowi diberikan status PSN,” katanya kepada Mongabay.

Dia mengkritik pemerintah daerah yang tutup mata. Padahal, Pemerintah Tangerang dapat mencegah itu terjadi.

“Artinya, berbagai bentuk kerusakan oleh korporasi yang direstui negara itu sebetulnya harus segera dihentikan. Karena akan melanggengkan krisis dan menimbulkan kemiskinan.”

Pemerintah daerah, katanya, sebetulnya bisa protes soal penetapan PSN karena mereka punya hak mengatur wilayahnya.

PIK 2 merupakan proyek kolaborasi Agung Sedayu Group (ASG) dan Salim Group. Dalam situs ASG, PIK 2 adalah pengembangan besar-besaran sekitar 2.650 hektar. PIK 2 akan jadi pusat kekuatan ekonomi yang memiliki daya tarik kuat bagi peluang dan investasi yang menguntungkan dalam berbagai pengembangan properti.

PIK 2 merupakan kawasan waterfront city yang didesain berkelas dunia, dengan fasilitas komprehensif dengan klaim untuk kualitas hidup lebih baik. Sebuah tujuan untuk pulang, tempat untuk beraktivitas, bekerja, dan tujuan wisata dan kuliner. Smart city didesain dengan teknologi modern, sekaligus pengembangan properti dengan peluang investasi yang menjanjikan.

Mongabay berusaha mengkonfirmasi pengembang. Dellon, Senior Marketing In-House Agung Sedayu Group PIK 2 tak merespon saat dihubungi lewat pesan singkat 27 Maret lalu.

Mongabay juga menghubungi Troy Fridatama, Manager Corporate Communications & Affairs. Dia menyatakan, terkait pembangunan PIK 2 dapat menghubungi Fionna Chrysanti, Head of Public Relations Department Agung Sedayu Group.

Troy juga memberikan kontak seseorang bernama Wiji untuk wawancara.

“Mas, kalau untuk mangrove bisa langsung hubungi TWA (Taman Wisata Alam) dengan Pak Wiji, info dari Bu Fionna,” katanya.

Saat dihubungi, Wiji menuturkan wawancara dapat menghubungi Andika Danang Putra, Wakil Direktur PT Murindra Karya, perusahaan yang mengelola TWA Angke Kapuk. Andika menyatakan, hanya mengelola hutan mangrove di PIK 1.

“Soalnya banyak yang mengira kawasan kami itu bagian dari ASG hingga diarahkan ke kami. Padahal,  kawasan kami tidak termasuk ke dalam pengelolaan ASG,” katanya awal April lalu.

Mongabay mengirimkan pesan kepada Fionna lewat alamat surel yang sebelumnya diberikan Troy. Fionna membalas pesan dengan meminta surat permohonan wawancara dan daftar pertanyaan. Surat permohonan sudah diberikan.

Sebelumnya, Mongabay juga menghubungi Christy Grassela, Corporate Secretary & Shareholder Relations PT Pantai Indah Dua Tbk (PANI). Hingga berita ini terbit, Christy belum merespon. Begitu pula surat yang telah dikirimkan kepada Fionna belum ada respon.

Para pengembang terus membangun kawasan mewah bernilai tinggi, sedangkan kehidupan masyarakat sekitar menuju sebaliknya, kehilangan tempat hidup.

Alex dan Gugun tak tahu bagaimana nasib ke depan kalau hutan mangrove Muara habis tergusur.

“Nelayan tumpah darahnya disini, nyari duitnya disini. Butuh kebijakan pemerintah. Nelayan diperhatikanlah.”

 

 

********

 

Potret Kehidupan Suku Duano Kala Hutan Mangrove Terkikis

 

Exit mobile version