Mongabay.co.id

Studi: Perlindungan Satwa Liar di Hutan Leuser Jangan Hanya Fokus Spesies Karismatik

 

 

Studi terbaru di hutan Ekosistem Leuser menunjukkan, spesies terbaik yang menjadi fokus untuk perlindungan maksimal, belum tentu jenis yang paling karismatik.

Pengelola konservasi telah lama memprioritaskan pengelolaan spesies payung, dengan dasar bahwa melindungi spesies penting ini juga melindungi ekosistem tempat mereka hidup.

Spesies-spesies tersebut merupakan jenis yang berkeliaran di wilayah luas dan besar, sehingga untuk tujuan pengelolaan konservasi menjadikan mereka mewakili spesies lain yang kurang dikenal. Akibatnya, spesies payung biasanya mendapat perhatian khusus dari pengelola konservasi, pemberi dana, dan pihak berwenang.

Namun, para peneliti dari Indonesia dan Inggris menemukan fakta bahwa fokus pada spesies karismatik seperti harimau dan badak menyebabkan pengabaian terhadap kebutuhan satwa liar lainnya. Dalam penelitian terbaru di Biological Conservation, mereka mencatat bahwa spesies non-unggulan ini sebenarnya bisa mewakili keanekaragaman hayati yang lebih luas di ekosistem tertentu, dibandingkan jenis yang dianggap sebagai spesies payung.

“Studi kami mengusulkan kerangka kerja baru untuk mengidentifikasi spesies payung terbaik dengan menggunakan data kamera jebakan yang dikumpulkan dari lapangan dan memperhitungkan deteksi yang tidak sempurna, yang spesies tersebut mungkin tidak terdeteksi selama survei, namun mereka ada,” terang penulis utama Ardiantiono, mahasiswa doktor di School of Anthropology and Conservation di University of Kent, Inggris, kepada Mongabay dalam sebuah wawancara email.

 

Ekosistem Leuser di bagian utara Sumatera merupakan hutan hujan tropis utuh terbesar yang masih tersisa di Pulau Sumatera. Peta: Global Forest Watch

 

Jalan yang melintasi Taman Nasional Gunung Leuse ini merupakan lokasi penelitian. Foto: Balai Taman Nasional Gunung Leuser

 

Dalam studi tersebut, para peneliti fokus pada Ekosistem Leuser, hutan hujan tropis terluas tersisa di Sumatera, dan satu-satunya tempat di Bumi dimana harimau, badak, orangutan, dan gajah ditemukan di habitat yang sama.

Tiga perempat ekosistem ini dilindungi pada tingkatan berbeda, termasuk sebagian besar ekosistem yang berada di Taman Nasional Gunung Leuser, yang merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO. Namun, sisanya mengalami perambahan akibat perluasan lahan pertanian, pembangunan jalan, dan pemukiman.

Para peneliti melakukan survei kamera jebakan dari Mei 2016 hingga Agustus 2017 dan Juni 2017 hingga Maret 2018 untuk mengevaluasi “kinerja payung” delapan spesies mamalia yang dapat dianggap sebagai spesies payung: babi batang sumatera [Arctonyx hoevenii], kambing hutan sumatera [Capricornis sumatraensis], anjing ajag [Cuon alpinus], badak sumatera [Dicerorhinus sumatranus], beruang madu [Helarctos malayanus], macan dahan [Neofelis diardi], harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae], dan rusa sambar [Rusa unicolor].

Yang mereka cari, khususnya adalah data okupansi terkait masing-masing spesies, yaitu keanekaragaman mamalia di wilayah yang ditempati kandidat spesies payung tersebut.

Temuan menunjukkan, spesies yang paling banyak diabaikan adalah spesies terkait tingkat hunian dan keanekaragaman yang lebih tinggi, yaitu hewan seperti rusa sambar dan macan dahan. Sebaliknya, harimau dan badak sumatera, yang sejauh ini merupakan penerima manfaat terbesar dari perhatian dan pendanaan konservasi di Sumatera, ternyata memiliki tingkat paling rendah.

Namun, Ardiantiono mencatat bahwa penelitian timnya dilakukan di hutan yang relatif masih asli di Ekosistem Leuser; di lanskap lain yang lebih terdegradasi atau terfragmentasi, harimau mungkin merupakan spesies payung lebih baik.

Namun temuan ini memperjelas bahwa, “Kita harus memantau beberapa spesies secara bersama – bukan hanya spesies karismatik yang menarik pendanaan konservasi,” jelasnya.

“Mempertimbangkan pendekatan ini akan membantu pengelolaan satwa liar di Indonesia untuk lebih menaruh perhatian pada konservasi berbagai spesies, termasuk spesies yang sudah diprioritaskan untuk dilindungi dan dipantau.”

Dari 2017 hingga 2019, sekitar $4.5 juta didedikasikan untuk melestarikan empat mamalia besar karismatik – badak sumatera, harimau, gajah, dan orangutan – sebagai imbalan atas penghapusan sebagian utang luar negeri Indonesia. Angka tersebut melebihi investasi gabungan dalam inisiatif konservasi yang berfokus pada bentang alam [sekitar $3.3 juta] untuk Sumatera secara keseluruhan.

 

Harimau sumatera bersama badak sumatera, mendapat perhatian konservasi dan pendanaan terbesar dari seluruh satwa liar di Sumatera. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Anna Nekaris, profesor antropologi dan konservasi di Oxford Brookes University, yang telah lama mempelajari primata kecil di Indonesia, mengatakan bahwa studi baru ini menunjukkan pentingnya pendekatan berbasis data ketika memilih kandidat payung dan bahwa “yang besar dan karismatik bukan lagi solusi terbaik.”

“Saya merasa perhatian khusus perlu diberikan pada pendekatan berbasis bukti ini, karena mudah untuk berasumsi bahwa spesies karismatik besar secara otomatis mencakup habitat dan ekosistem mikro dari taksa yang lebih kecil,” kata Nekaris, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

“Taksa lebih kecil, termasuk amfibi dan invertebrata, sering kali diabaikan dalam penelitian ini, dan mungkin diperlukan banyak payung juga [misalnya sebagian besar spesies dalam penelitian ini adalah satwa terestrial],” tambahnya.

 

Badak sumatera yang populasinya sangat terbatas. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Diah Fitri Ekarini, koordinator konservasi keanekaragaman hayati di LSM Konservasi Indonesia, afiliasi lokal dari Conservation International, mengatakan bahwa penelitian ini “menarik” karena menawarkan kerangka analitis untuk mengevaluasi kinerja spesies payung dengan melihat pola hunian komunitas mamalia yang berada di bawah payung tersebut.

Ia mengatakan metodologi ini dapat membantu pengelola dan otoritas konservasi dalam memilih kandidat spesies umum yang lebih sesuai untuk suatu lanskap tertentu, dan memungkinkan upaya konservasi yang lebih tertarget dan komprehensif dalam lanskap tersebut.

“Meningkatnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap konsep ini juga akan memperluas peluang partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi,” kata Diah yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

“Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konsep ini diharapkan dapat memberikan dampak positif pada upaya konservasi dengan mendorong pendekatan yang lebih tepat sasaran.”

 

Macan dahan memiliki kinerja lebih baik sebagai spesies payung, karena mewakili sebagian besar keanekaragaman hayati di habitatnya, dibandingkan satwa liar terkenal seperti harimau atau badak. Foto: Spencer Wright via Wikimedia Commons (CC BY 2.0)

 

Semua pihak yang diwawancarai sepakat bahwa pengelola dan otoritas konservasi harus memvalidasi kinerja suatu spesies sebagai spesies payung sebelum memfokuskan upaya dan pendanaan mereka, sebagai perwakilan keanekaragaman hayati yang lebih luas di suatu lanskap.

Ardiantiono mengatakan data kamera jebak yang digunakan timnya tidak memerlukan biaya tambahan, karena satwa-satwa tersebut terdeteksi sebagai tangkapan sampingan untuk kampanye yang berfokus pada harimau dan badak.

“Tidak ada spesies yang dapat sepenuhnya mewakili keanekaragaman hayati lain dalam suatu ekosistem,” terangnya. “Sayangnya, pesan penting ini sering kali hilang karena kita cenderung mengupayakan kesederhanaan dalam menyampaikan pesan konservasi – terutama kepada masyarakat luas yang merupakan sumber penting pendanaan untuk konservasi.”

 

Referensi:

Ardiantiono, Deere, N. J., Ramadiyanta, E., Sibarani, M. C., Hadi, A. N., Andayani, N., … Struebig, M. J. (2024). Selecting umbrella species as mammal biodiversity indicators in tropical forest. Biological Conservation292. doi:10.1016/j.biocon.2024.110511

 

Tulisan asli: Study challenges use of charismatic wildlife as umbrella species for conservation. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita

 

Kebiasaan Aneh Kambing Hutan Sumatera, Main di Tebing dan Menyendiri di Goa

 

Exit mobile version