- Dampak perubahan iklim menyebabkan tingkat populasi ular berbisa seperti ular kobra, meningkat di kawasan urban atau perkotaan,
- Hal itu disebabkan pengaruh suhu dan kelembaban yang membuat tingkat keberhasilan penetasannya naik, sehingga otomatis populasinya juga bertambah.
- Ular memiliki musuh alami seperti garangan, kucing hutan, atau elang. Namun, predator ular tersebut populasinya menurun akibat perburuan manusia atau hilangnya habitat karena alih fungsi lahan.
- Tingkat kematian akibat bisa ular di Indonesia mencapai 10 persen pertahun dan merupakan yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN.
Kemunculan ular berbisa di kawasan perkotaan, disebut bakal meningkat akibat perubahan iklim, yang ditandai dengan naiknya suhu dan pola cuaca tidak menentu. Kondisi yang pernah terjadi pada 2019, ketika ular kobra muncul di rumah warga di kawasan perkotaan.
“Perubahan iklim menyebabkan beberapa spesies ular berbisa, bertambah populasinya. Ini dikarenakan adanya pengaruh suhu yang menyebabkan keberhasilan penetasannya meningkat. Jika penetasan naik, otomatis populasinya juga semakin banyak,” ungkap Amir Hamidy, peneliti di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, BRIN, kepada Mongabay Indonesia, Jumat [10/4/2024].
Namun, tidak semua jenis ular berbisa mampu beradaptasi dengan iklim. Amir mencontohkan Jawa sebagai role model, yang sekitar 60 persen penduduk Indonesia terkonsentrasi di pulau ini. Dari 35-36 jenis ular teresterial yang ada di sini, sekitar 13 jenis merupakan ular berbisa. Dari jumlah tersebut, terdapat 4 atau 5 jenis ular berbisa yang mampu hidup di sekitar manusia, misalkan kobra, weling atau welang, dan ular hijau.
“Di Jakarta atau abodetabek, ular yang paling banyak dijumpai adalah kobra, jenis paling mematikan. Ular ini tidak lagi hidup di hutan-hutan lebat, tetapi juga berada di pekarangan rumah, persawahan, atau sekitar permukiman manusia.”
Menurut Amir, individu ular kobra begitu lahir, walaumasih bayi sudah memiliki bisa mematikan. Bayi ular menggunakan bisanya untuk bisa bertahan hidup dan juga kemudahan baginya untuk mengolah makanan. Kadang, beberapa jenis ular justru dosis bisa anakannya lebih mematikan dibandingkan ular dewasa.
Meski demikian, ular juga memiliki musuh alami atau predator seperti garangan, kucing hutan, atau elang. Hanya saja, persoalannya adalah predator ular tersebut populasinya menurun akibat perburuan manusia atau hilangnya habitat karena alih fungsi lahan.
Sehingga, populasi ular berbisa yang meningkat ada efek dominonya; karena adanya perubahan iklim yang menyebabkan peningkatan suhu tahunan, ditambah predator semakin menurun. Sementara, pakannya yaitu tikus melimpah.
“Perlu diketahui populasi tikus itu lebih banyak dibandingkan manusia. Maka ketika pakan melimpah, predatornya menghilang, serta suhu mendukung maka peningkatan populasi. Terhadap kondisi ini, yang dirugikan adalah manusia itu sendiri,” jelasnya.
Kematian akibat bisa ular
Dalam buku pedoman “Penanganan Gigitan, Sengatan Hewan Berbisa dan Keracunan Tumbuhan dan Jamur” yang diterbitkan Kementerian Kesehatan [2023], dijelaskan bahwa Indonesia memiliki 350 sampai 370 spesies ular yang 77 jenis merupakan berbisa.
Angka insiden setiap tahun diperkirakan sekitar 135.000 kasus berdasarkan laporan sepanjang 10 tahun terakhir yang dilakukan oleh Indonesia Toxinology Society dengan angka kematian 10% per tahun.
“Data tersebut masih belum bisa menggambarkan keadaan sebenarnya, karena hanya berdasarkan laporan para klinisi di lapangan yaitu dari rumah sakit dan puskesmas serta masyarakat. Belum dikumpulkan secara resmi oleh Kementerian Kesehatan,” ungkap para penulis dalam buku yang dipimpin Tri Maharani.
Tri Maharani merupakan Presiden Indonesia Toxinology Society dan satu-satunya dokter ahli penanganan bisa ular di Indonesia. Menurutnya dengan angka kematian mencapai 10 persen pertahun di Indonesia, merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN. Ini membuat pekerjaan dunia medis sangat besar. Banyak orang Indonesia yang percaya pada mistis dan mitos sehingga menyebabkan tindakan medis terhalang.
“Tindakan yang harus dilakukan adalah pertolongan pertama yang benar. Caranya, dengan melakukan pertolongan kegawatdaruratan, menyediakan obat penolong antibisa ular, dan melakukan edukasi gigitan dan sengatan hewan berbisa,” jelas Tri Maharani.
Amir menambahkan, penanganan bisa ular adalah emergency atau darurat karena menyebabkan kematian dalam waktu cepat. Untuk itu, pemerintah harus bisa menyediakan antibisa ular, apalagi di negara tropis seperti Indonesia. Hal paling penting adalah ketika terjadi kasus gigitan ular, ada informasi rumah sakit terdekat yang menyediakan antibisa.
“Tidak ada pertolongan lain, selain medis dan harus ada antibisa juga,” tandasnya.