- Aktivitas pertambangan nikel di Pesisir Morombo Pantai, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra) merusak habitat rumah ikan dan labuhan terakhir manusia-manusia perahu Laut Banda,
- Warga di Morombo Pantai alami gatal-gatal terpapar sedimen lumpur yang mencemari pekarangan laut masyarakat Bajo. Sebagian lansia alami batuk-batuk kering berkepanjangan terpapar debu dari aktivitas pertambangan nikel.
- Kerang lola, sumber protein alternatif masyarakat Bajo yang diperoleh dari Taman Laut Lasolo dicemari logam berat berat Kadmium (Cd) melebihi ambang batas.
- Upaya migrasi lokal masyarakat Bajo gagal, tidak menemukan perairan yang kaya hasil tangkapan hingga kehabisan biaya melaut, terpaksa kembali ke Morombo Pantai yang tercemar parah.
-
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari tiga tulisan hasil reportase Fellowship Pasopati bertema “Mengungkap Dampak dan Ancaman Hilirisasi Nikel Bagi Keberlangsungan Ekologi di Indonesia”. Tulisan kedua bisa dibaca ditautan ini.
Aktivitas pertambangan nikel yang mengepung pesisir Desa Morombo Pantai di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, merusak habitat rumah ikan dan labuhan terakhir manusia-manusia perahu Laut Banda. Laut jernih yang memantulkan kebiruan langit seolah jadi hikayat bagi mereka yang terlahir di rentang belasan tahun terakhir. Bahkan, tradisi Suku Bajo yang mencemplungkan anak baru lahir ke laut sudah tidak ada lagi. Mereka khawatir cemaran lumpur bisa menyebabkan kulit anak penyakitan.
Akhir Januari lalu, arus, gelombang laut, dan angin bergerak dari selatan ke utara, dan timur ke barat, membawa limbah lumpur dan polusi debu galian ore nikel ke Desa Morombo Pantai.
Hasruli, bocah berumur delapan tahun, baru saja menghabiskan sepiring nasi tanpa lauk lalu bergegas mencemplungkan badan ke laut depan rumahnya. Dia generasi pertama yang tidak merasakan hidup berpindah-pindah tempat dari satu pesisir ke pesisir lain dengan soppe, sebutan perahu yang jadi rumah bagi orang Bajo. Hasruli terlahir dan tumbuh besar di rumah panggung berbahan kayu yang berdiri di laut dangkal.
Sejurus kemudian, tangan kurusnya menyembul keluar dari permukaan air, menggenggam limbah lumpur berwarna coklat gelap, nyaris segelap kulitnya. Sekali-kali dia menggaruk-garuk bahu kanan, yang sejak lama terpapar cemaran sedimen lumpur. Di area permukaan kulit yang gatal-gatal itu sekilas terlihat menyerupai panu yang ditumbuhi biang keringat.
Sementara anak-anak Bajo lain, berkumpul di taman bermain Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yang sudah usang dan tidak digunakan lagi. Mereka riang gembira sembari menunggu waktu puncak air pasang menutup hamparan sedimen lumpur. Air pasang menjadi momen yang mereka tunggu untuk melatih kemampuan berenang dan menyelam.
Sore itu, Belalo, kakek Hasruli, pulang terlambat dari melaut. Tidak seperti biasa, Belalo berada di rumah menjelang siang. Hari ini dia tidak membawa tangkapan ikan, tetapi satu kantong plastik kresek berisi belasan kerang lola yang akan jadi lauk pelengkap santap malam cucu-cucunya.
Baca : Perusahaan Tambang Nikel di Sulawesi Tenggara Kriminalisasi Warga Penolak Tambang
Belalo dan seorang anggota keluarga meninggalkan rumah pukul 3.00 dini hari. Mereka mendayung perahu hampir 3 mil laut (sekitar 5 km) ke habitat lola yang masih terhitung satu lokasi dengan kima raksasa di Taman Wisata Alam Teluk Lasolo.
Teluk Lasolo, merupakan tempat terdekat masyarakat pesisir di Konawe Utara mengakses tangkapan laut, yang sejak 2019 teridentifikasi terkontaminasi sedimen lumpur tebal.
“Kondisi di sana seperti di sini juga (berlumpur),” kata Belalo, kepada Laode Muhammad Aslan, Pakar Kelautan Universitas Halu Oleo (UHO), yang jauh-jauh datang ingin meneliti cemaran limbah galian nikel terhadap ekosistem pesisir laut dan lingkungannya.
Aslan segera mengambil tiga sampel daging lola yang akan dikonsumsi Belalo sekeluarga untuk uji laboratorium di UHO. Belakangan hasil masing-masing sampel terbukti tercemar kandungan Kadmium (Cd) 0,0024 mg/kg, 0,0037 mg/kg, dan 0,0035 mg/kg.
“Ini sudah tinggi, melampaui batas. Untuk biota laut itu 0,001(mg/l) ambang batas tertinggi,” katanya.
Menurut dia, kadmium yang mencemari lola bisa jadi petunjuk awal untuk mengetahui ancaman kesehatan bagi yang rutin mengkonsumsi.
Kadmium merupakan jenis logam berat berbahaya, berisiko tinggi terhadap pembuluh darah. Paparan kadmium pada manusia terjadi melalui inhalasi atau dari konsumsi yang terkontaminasi. Keracunan dapat mempengaruhi otot polos pembuluh darah, mengakibatkan tekanan darah menjadi tinggi bisa menyebabkan gagal jantung dan kerusakan ginjal.
Kadmium juga menyebabkan kekacauan pada metabolisme kalsium yang pada akhirnya mengalami kekurangan kalsium pada tubuh dan menyebabkan penyakit rasa sakit luar biasa pada persendian tulang belakang, tulang kaki, dan kerusakan tulang.
Sejarah mencatat, masyarakat di Prefektur Toyama, Jepang, pernah mengalami keracunan kadmium massal sekitar 1912, yang oleh penderitanya menyebut penyakit Itai-itai atau penyakit yang menyakitkan. Penderita mengalami rasa sakit parah pada tulang belakang dan persendian. Kadmium dibuang sebagai limbah ke sungai Jinzu dari aktivitas pertambangan timah–seng skala besar dan pabrik peleburan di bagian hulu sejak tahun 1890.
Kawasan itu dikenal dengan nama Tambang Kamioka, disebut-sebut salah satu tambang terbaik di dunia era Perang Dunia I. Sedangkan Sungai Jinzu masyarakat gunakan untuk irigasi pertanian, air minum, mencuci, memancing, dan keperluan lain. Diperlukan 55 tahun bagi penyelidikan epidemiologi untuk menemukan bahwa penyakit itu karena keracunan kadmium.
Baca juga : “Bloody Nickel,” Potret Daya Rusak Industri Nikel
Dalam temuan utama Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) bersama Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Februari 2024, menyebutkan, di balik meningkatnya produksi nikel tahunan nasional, Taman Laut Teluk Lasolo, merupakan beberapa dari sekian banyak kawasan lindung yang paling terdampak, keanekaragaman kelautan terancam kontaminasi partikel-partikel logam berat dari PLTU captive dan pusat-pusat pengolahannya.
CREA menganalisis, Teluk Lasolo masuk dalam satu dari lima kawasan lindung paling terdampak endapan merkuri di angka 46,385mg/km2 pada 2030.
Sejak perusahaan-perusahaan nikel beroperasi di Morombo pada 2011 dan membuat laut keruh, tercatat beberapa masalah muncul seperti PT Elit Kharisma Utama diduga menyerobot lahan warga yang bersertifikat awal 2023. Ada PT Bososi Pratama, perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di Desa Morombo yang diusut Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, atas dugaan menambang di hutan lindung.
Polisi menyita puluhan alat berat perusahaan dan sekitar 50 tumpukan ore nikel hasil pengerukan hutan lindung. Temuan lain, perusahaan mereklamasi laut untuk jadi pelabuhan ore nikel.
Gagal migrasi
Pada Mei 2023, Belalo memboyong keluarganya sejauh 12 mil laut (22 km) ke arah tenggara, mencoba peruntungan baru di Pulau Bahubulu.
Belalo terpaksa mengajak keluarga pindah tempat, lantaran lingkungan pesisir Morombo Pantai, sudah rusak, terkontaminasi endapan sedimen lumpur tebal yang bersumber dari pertambangan legal dan ilegal nikel. Limbah lumpur itu berdampak pada kesehatan warga, kulit nelayan yang terpapar laut berlumpur mengalami bintil-bintil perih dan gatal.
“Ini (sedimen lumpur) pengaruh dari lumpur ore (nikel), penambang-penambang ilegal,” katab seorang nelayan lain yang pernah bekerja di satu pertambangan ilegal. Perusahaan itu berhenti beroperasi awal 2023, ketika kepolisian gencar merazia pertambangan nikel ilegal di Konut.
Moncong Pulau Bahubulu yang terbuka lebar membentuk teluk kecil, seolah menelan cahaya matahari terbit di ufuk paling timur Laut Banda. Tubuh Belalo yang terbungkus sehelai sarung, duduk di anak tangga depan rumah yang terendam air pasang.
Rumah beratap dan dinding daun kelapa, dengan lantai kayu bulat panjang berdiameter kecil tersusun rapi, terekat ikatan simpul tali kulit kayu, yang semua dari hutan kecil sekitar.
Baca juga : Ketika Hutan Lindung Sulawesi Tenggara Terbabat jadi Tambang Nikel
Mata Belalo yang mulai rabun mengamati seksama beberapa laki-laki dewasa, dua orang itu adalah putranya yang sudah berkeluarga, yang lain, sanak saudara.
Mereka menunggu waktu puncak air pasang, kemudian memancangkan lima batang pohon setinggi empat meter di atas pasir putih membentuk pola tertentu di garis batas pertemuan darat dan air pasang.
Pancang-pancang menjulang itu jadi tiang utama bangunan rumah pesisir atau rumah singgah ala Suku Bajo, seperti yang ditempati Belalo dan satu rumah lain, yang lebih dulu dibangun beberapa pekan sebelumnya.
Anak-anak sibuk mengasah keterampilan memancing dari teras rumah dan berenang sepuasnya di pekarangan laut jernih nan biru. Surga baru ini membuat anak-anak tidak berkeinginan lagi kembali bersekolah, berjibaku dengan lumpur dan polusi debu ore nikel di Morombo Pantai.
Kala hari cerah, anak-anak dilibatkan pergi melaut, memancing ikan, tetapi sebatas perairan dangkal dengan menumpangi perahu mesin tempel. Mereka tidak berani keluar menjauh dari Bahubulu khawatir kehabisan bahan bakar minyak dan terjebak di tengah badai yang kerap tiba-tiba muncul di tengah laut.
Selama di sini, tangkapan ikan mereka tak banyak, tidak seperti tahun-tahun sebelum pertambangan nikel beroperasi dengan limbah lumpur menjangkau sekitar perairan Bahubulu. Ikan diperkirakan berpindah menjauh ke habitat yang bersih dari cemaran lumpur.
Baca juga : Gakkum Sulawesi Tetapkan Pengusaha Tambang Nikel Ilegal di Konawe Utara sebagai Tersangka
Belalo terlihat bahagia menyaksikan anak, cucu, sanak saudara beradaptasi menikmati lingkungan baru. Batuk kering yang dia dan keluarganya derita sejak lama akibat terpapar debu tambang di Morombo Pantai, berkurang.
Meski begitu, Belalo si manusia perahu terakhir di Laut Banda ini serasa berada di simpang simalakama, ibarat pepatah ‘hidup segan mati tak mau.’ Belum lama ini, dia memutuskan kembali ke Morombo Pantai, menempuh perjalanan laut dengan mendayung.
Upaya migrasi lokal ke tempat baru gagal. Mereka kehabisan uang buat membiayai perahu untuk menangkap ikan. Mereka terkendala bahan bakar. “Kehabisan oli, mesin tua,” katanya, sembari memalingkan wajah melihat Hasruli riang gembira bermain air bercampur lumpur coklat.
Belalo berharap, di lain waktu bisa kembali ke Pulau Bahubulu untuk mengajarkan cucunya cara bertahan hidup di laut, seperti ketika dia masih kanak-kanak menjalani hidup di soppe, yang kini tidak ada lagi.
“Pembuat soppe terakhir sisa saudara saya, bernama Sideng, sudah tua juga. Kita tidak punya uang untuk membuat soppe,” kata Belalo lirih.
Sideng, saudara sulung Belalo dari 11 bersaudara, kini bersama keluarganya bermukim di Desa Mandiodo, ditempuh sejauh satu jam lebih dari Morombo Pantai menggunakan perahu bermesin tempel. Mereka sama, terlahir sebagai generasi manusia perahu terakhir di perairan laut Konawe Utara yang didaratkan oleh Pemerintah Indonesia era 1980 sampai 2000-an. (bersambung)
Artikel ini didukung oleh Auriga Nusantara melalui Fellowship Pasopati
Aliansi Sulawesi Tampik Klaim Dampak Positif Hilirisasi Nikel