- Kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) telah menjadi garda depan dalam menjaga laut dan pesisir, termasuk di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
- Pokmaswas adalah upaya pelibatan masyarakat dalam pengawasan laut yang diatur melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.58/2001 tentang Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat. Hingga saat ini terdapat 228 pokmaswas di seluruh daerah di Sulsel.
- Blue Forests memberi dukungan kepada dua pokmaswas di Kepulauan Tanakeke, yaitu Baracuda di Desa Tompotana dan Mamminasabaji di Desa Minasabaji.
- Tantangan penegakan hukum terkait destructive fishing di Kepulauan Tanakeke adalah tidak adanya bukti langsung sehingga diharapkan partisipasi masyarakat melakukan pelaporan dilengkapi bukti video.
Mustam Daeng Beta menghela nafas panjang. Warga Desa Tompotana, Kecamatan Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan ini mengenang masa lalunya ketika ia bekerja di sebuah kapal penangkap ikan yang kadang membom ataupun membius dalam menangkap ikan.
“Dulu masih muda pernah bekerja di sebuah kapal penangkap ikan, sering membom-bom ikan lah, apalagi membius. Tak pernah ditangkap karena mungkin bos punya bekingan pihak tertentu. Tapi itu sudah lama sekali,” katanya, di sebuah perjumpaan di Desa Tompotana, Senin (22/4/2024).
Daeng Beta telah lama meninggalkan laut, bekerja sebagai buruh sawit di Kalimantan, ketika ia harus kembali lagi ke kampung halaman sekitar 5 tahun lalu. Ia kembali menjadi nelayan namun tak seperti dulu lagi. Ia merasa puas dengan tangkapan meski tak banyak namun cukup untuk menghidupi keluarga. Ketika ada tawaran menjadi anggota kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) ia tak ragu mengajukan diri untuk terlibat.
“Motivasi saya untuk memperbaiki laut sekitar sini. Dulu ikan-ikan di sini banyak sekali tapi kemudian rusak akibat bom dan bius. Nelayan harus melaut jauh dengan hasil tak banyak,” katanya.
Aktivitas bom dan ikan memang masih menjadi salah satu momok bagi masyarakat di sekitar Kepulauan Tanakeke, apalagi dengan keterbatasan pengawasan yang dilakukan pemerintah. Peran pokmaswas penting untuk membantu pemerintah karena mereka yang dekat dan paling memahami wilayahnya.
Baso Daeng Sua, warga Desa Tompotana lainnya, punya motivasi yang hampir sama dengan Daeng Beta. Ia merasa punya tanggung jawab menjaga kampung halaman dari berbagai ancaman destuctive fishing karena sangat berdampak besar bagi mata pencaharian mereka. Apalagi kawasan Kepulauan Tanakeke, yang terdiri dari beberapa desa, dengan akses terbatas dan lahan yang jauh dari daratan, tak memiliki banyak potensi yang bisa dikelola sebagai mata pencaharian.
“Kalau semua terumbu karang rusak akibat bom dan bius maka tak banyak lagi bisa diusahakan di pulau. Harus kami sendiri menjaga sumber daya yang ada,” katanya.
Baca : Cerita Konsistensi Pokmaswas Jalur Gaza Mengedukasi Masyarakat Mengkonservasi Penyu
Menurut Rio Ahmad, Direktur Blue Forests/Yayasan Hutan Biru, peran pokmaswas sebagai garda terdepan perlindungan laut dan pesisir memang sangat penting dan krusial sehingga butuh dukungan dari seluruh pihak, tidak hanya dari pemerintah.
Inilah yang mendorong Blue Forests berinisiatif membenahi pokmaswas yang sudah ada dengan penataan kembali serta memberi dukungan fasilitas dan peningkatan kapasitas. Pokmaswas yang baru dibentuk bernama Baracuda di Desa Tompotana dan Mamminasabaji di Desa Minasabaji.
“Kami fasilitasi dibentuk pokmaswas yang baru termasuk pergantian nama dan struktur kelompok. Untuk menjalankan fungsinya, anggota pokmaswas akan dibekali dan diperkuat kapasitasnya melalui pelatihan dan kegiatan peningkatan kapasitas lainnya baik itu pemahaman terkait kebijakan dan aturan, teknis patroli, pengawasan, dan monitoring serta bagaimana bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak yang berwenang dalam menjalankan pengawasan dan pengelolaan pesisir.”
Menurut Deasy Ariani Amin atau lebih dikenal dengan nama Dhea, pengawas perikanan sekaligus analis penanganan hasil pelanggaran sumber daya kelautan dan perikanan di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulsel, pokmaswas adalah upaya pelibatan masyarakat dalam pengawasan laut yang diatur melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.58/2001 tentang Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat. Hingga saat ini terdapat 228 pokmaswas di seluruh daerah di Sulsel.
“Mereka dapat melakukan pengawasan karena telah memperoleh legalitas secara hukum dan terlindungi setelah penandatanganan surat keputusan. Harapannya, pokmaswas dapat membantu pemerintah dalam upaya penyadaran hukum dengan menggunakan prinsip 3M yaitu melihat atau mendengar, mencatat dan melaporkan,” katanya.
Menurutnya, untuk memperbaiki ekosistem laut dan pesisir dari berbagai ancaman, dibutuhkan kolaborasi dari semua pihak terkait, baik dari masyarakat sendiri, pemerintah desa, dan instansi terkait seperti DKP, kepolisian dan pihak-pihak lainnya.
“Ini bisa dilakukan melalui pengawasan dan patroli bersama. Pokmaswas juga harus terus diperkuat untuk mencegah aktivitas ilegal yang merusak ekosistem, termasuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga mangrove dan laut serta dampak negatif dari aktivitas ilegal seperti penangkapan ikan yang merusak atau penebangan mangrove,” katanya.
Upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam upaya perlindungan lingkungan dengan melibatkan mereka dalam kegiatan pengawasan dan melaporkan kegiatan yang mencurigakan.
“Penting juga koordinasi parapihak, antara kelompok masyarakat, pemerintah desa, dan instansi terkait dalam merumuskan strategi perlindungan lingkungan yang efektif dan berkelanjutan.”
Baca juga : Pokmaswas Petrando: Inspirasi Anak Muda Pelestari dan Pelopor Wisata Laut Lombok
Degradasi Hutan Mangrove
Tidak hanya destructive fishing, mangrove di Kepulauan Tanakeke dilaporkan terus tergerus yang diakibatkan aktivitas warga, sebagian dikelola untuk dijual atau kepentingan komersial, dijual dalam bentuk arang. Di beberapa lokasi di Tanakeke sendiri terdapat beberapa tungku pembakaran kayu mangrove untuk pembuatan arang yang dikelola warga.
“Laju kerusakan mangrove di Kepulauan Tanakeke ini lebih cepat daripada laju pertumbuhannya karena dampak dari pemanfaatan tidak berkelanjutan yang terjadi saat ini, sehingga dibutuhkan sinergi parapihak untuk mengendalikan kerusakan yang ada,” ungkap Rio Ahmad.
Menurutnya, upaya pengelolaan mangrove dan perairan Kepulauan Tanakeke harus difokuskan pada upaya pemulihan ekosistem yang rusak dan melindungi yang masih dalam kondisi yang baik dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi.
Dengan adanya kerja sama yang baik antara semua pihak yang terlibat, diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi Tanakeke serta memperkuat kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem mangrove dan laut bagi kesejahteraan masyarakat setempat.
Wahid, salah seorang aparat kepolisian yang bertugas di Desa Minasabaji menyatakan tantangan penegakan hukum di Tanakeke, baik berupa bom dan bius maupun penebangan mangrove pada kurangnya bukti yang bisa ditunjukkan sehingga kepolisian kesulitan dalam melaporkan.
“Kalau tak ada bukti langsung maka akan sulit untuk menangkap pelaku, padahal sudah lama kami juga geregetan, karena ini kan merusak. Jadi kami harap dukungan masyarakat, kalau menemukan kasus-kasus ini harap divideokan sehingga bisa segera kami adakan penindakan,” katanya. (***)
Cerita Amir, Pengebom Ikan yang Jadi Pelestari Terumbu Karang