- KKP menerbitkan titik lokasi pemanfaatan sedimentasi di laut. Salah satunya di perairan Pulau Karimun Besar, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau.
- Nelayan sekitar hanya bisa pasrah dengan adanya rencana itu, meskipun mereka yakin aktivitas penyedotan sedimentasi laut akan merusak ekosistem laut seperti tambang-tambang yang ada sebelumnya.
- Tidak hanya laut yang keruh, suasana pesisir Pulau Karimun Besar juga mengalami abrasi parah, menurut nelayan salah satu penyebabnya adalah pendalaman alur yang juga menjadi tujuan pemanfaatan sedimentasi laut.
- PSDKP KKP mengaku sudah siap melakukan pengawasan jika aktivitas pemanfaatan sedimentasi laut dijalankan. Menurut pengusaha tambang pasir laut, aturan ini tidak akan bisa dijalankan.
Cuaca siang itu cukup terik. Tak terlihat aktivitas yang berarti di sekitaran Pulau Babi, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, pada akhir Maret 2024 lalu. Hanya saja dari kejauhan nampak dua kapal kayu sedang berlabuh di pesisir pulau tak berpenghuni itu.
Dari informasi Kepala Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri untuk Karimun, Faisal, menyebutkan Pulau Babi menjadi salah satu lokasi aktivitas tambang pasir laut. Bahkan sampai saat ini masih beroperasi.
Informasi tersebut betul adanya, dua kapal yang berlabuh di pesisir Pulau Babi yang disaksikan Mongabay sedang melakukan penambangan pasir laut. Dilihat lebih dekat, nampak jelas aktivitas penambangan pasir laut berlangsung.
Proses penambangan menggunakan satu kapal berukuran besar, dan dua kapal kecil. Tidak jelas, fungsi kapal-kapal kecil itu, hanya saja, selang berukuran besar menyemburkan pasir ke atas kapal. “Sebagian besar pasir langsung dijual ke Selat Panjang (Provinsi Riau),” kata salah seorang nelayan Karimun bekas penambang pasir yang tak mau disebutkan namanya.
Di sekitar lokasi penambangan rakyat ini merupakan lokasi prioritas aktivitas pembersihan sedimentasi laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Titik lokasi itu sudah ditetapkan KKP melalui Kepmen No.208/2023, tentang Lokasi Prioritas Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Nelayan Karimun: Menolak dan Pasrah
Pelabuhan Desa Pelambung, Kecamatan Pongkar, Kabupaten Karimun, Kepri terlihat lengang. Terlihat kapal-kapal nelayan berlabuh di sepanjang pesisir pantai, Sabtu (23/3/2024) siang.
Tidak jauh dari pelabuhan, terdapat posko Koperasi Nelayan Desa Pelambung. Pembina Koperasi Nelayan Desa Pongkar Kabupaten Karimun, Deny Hariyadi (39 tahun) bercerita kepada Mongabay, perihal tanggapan nelayan dijadikannya Pulau Karimun Besar lokasi pemanfaatan sedimentasi laut.
Deny menunjukkan foto kegiatan “Konsultasi Publik Rencana Kegiatan Pemanfaatan Sedimentasi Laut di Tebing Kabupaten Karimun,”. Itu merupakan sosialisasi terakhir yang didapatkan Deny soal rencana diterapkannya PP No.26/2023 tentang Pengelolan Hasil Sedimentasi di Laut. “Waktu itu tanggal 12 Januari 2024, yang hadir perusahaan. Tidak ada KKP atau dinas kelautan,” katanya.
Baca : Ekspor Pasir Laut Dibuka Jokowi, Mimpi Buruk Nelayan Kepri Terjadi Lagi

Kala itu, lanjutnya, perusahaan meminta izin kepada masyarakat untuk melakukan pemanfaatan sedimentasi laut di Desa Pongkar. Dilihat dari peta yang dibagikan KKP, Desa Pongkar memang salah satu titik lokasi pengambilan sedimentasi pasir yang paling luas.
Sebagian besar ketua kelompok nelayan yang hadir dalam sosialisasi menolak memberikan izin. Hingga pertemuan berakhir, sosialisasi tidak menghasilkan kesepakatan. “Menurut saya, (aktivitas sedimentasi pasir laut ini) merupakan kerugian buat nelayan. Jadi ketika kebanyakan menolak, ada sekitar 50 nelayan yang hadir mewakili setiap kelompok yang ada di Kecamatan Tebing,” jelasnya.
Ketika sosialisasi itu, nelayan tidak menolak secara mentah-mentah. Namun jika perusahaan bisa memberikan kompensasi Rp5 juta per bulan kepada nelayan terdampak, katanya, mungkin semua nelayan setuju.
Menurutnya, saat ini kondisi laut di Pesisir Pulau Karimun Besar tidak baik-baik saja. Banyak aktivitas yang merusak, seperti tambang timah, penambangan pasir laut, aktivitas tongkang dan juga reklamasi.
Aktivitas itu belakangan ini, membuat penghasilan nelayan sudah tidak menentu lagi. Selain faktor laut rusak, musim yang tidak menentu juga menjadi penyebab. “Penghasilan nelayan tahun ini paling parah, baik nelayan jaring besar, atau pun jaring kecil,” katanya.
Misalnya dalam satu hari saat musim utara, jelasnya, nelayan bisa menangkap udang, hingga 40 kilogram seharga Rp2.5 juta. “Sekarang mencari lima kilogram udang saja sangat susah,” katanya.
Apalagi jika memang perusahaan sedimentasi laut ini masuk itu akan memperparah kondisi laut dan tentunya akan berdampak kepada nelayan. “Apalagi ada perusahaan sedot (sedimentasi pasir) ini nanti, habislah kami,” katanya kesal.
Saat ini masyarakat terpaksa banting setir bekerja di darat, seperti berkebun atau tukang bangunan. “Kalau 80 persen masyarakat bekerja sebagai nelayan, tetapi sekarang mereka sudah berangsur-angsur cari kerja di darat,” kata Deny yang juga Ketua RW Desa Pelambung.
Baca juga : Pemerintah Tetapkan Lokasi Pengerukan Pasir Laut, Untung atau Buntung?

Berbeda dengan Deny, Jaiz nelayan Desa Pangke Barat ini mengaku terpaksa menerima rencana pemerintah tersebut. Selain itu nelayan di Karimun juga tidak kompak untuk menolak rencana pemerintah meskipun itu merugikan nelayan.
“Saya tahu itu (pengelolaan sedimentasi laut) mencemari, karena lumpur, batu karang pasti rusak, tidak hanya saya nanti yang menderita, semua kena nanti itu, tapi bagaimana lagi,” kata Jaiz yang juga Ketua Kelompok Nelayan Pantai Pasir Putih.
Berkaca ke belakang, katanya, selama ini nelayan menerima saja semua keputusan pemerintah asalkan ada kompensasi walaupun nilainya kecil. Termasuk adanya aktivitas tambang pasir laut ataupun tambang timah meskipun merusak ekosistem laut.
Sekarang ini nelayan yang menerima pengelolaan sedimentasi laut masih menunggu perjanjian kompensasi dari perusahaan. Soal angka kompensasi sampai sekarang belum juga ada kepastian. “Tapi kalau kompak menolak semua, saya juga akan menolak,” tambahnya.
Abrasi di Pulau Karimun Besar
Pantauan Mongabay, Rabu (24/4/2024), beberapa titik di pesisir Pulau Karimun Besar mengalami abrasi. Misalnya saja di Pantai Pongkar, Kecamatan Tebing, Kabupaten Tanjung Balai Karimun.
Terlihat pohon kelapa di sepanjang pantai sudah tumbang. Akar-akarnya tidak lagi tertancap di tanah. Nelayan menduga, selain akibat cuaca ekstrem, abrasi juga disebabkan oleh aktivitas penambangan pasir laut hingga penambangan timah.
Jaiz juga menunjukan kepada Mongabay terjadinya abrasi di pesisir kapalnya berlabuh pesisir Pangke Barat, Pulau Karimun Besar. Ia memperkirakan abrasi sudah terjadi setinggi 10 centimeter. “Abrasi terjadi disini, coba lihat akar-akar pohon itu sudah nampak sekarang, dulu tidak nampak,” katanya.
Nelayan memperkirakan aktivitas penyedotan sedimentasi laut nanti akan memperparah keadaan itu. “Sekarang saja sudah meresahkan, ini datang lagi pembersihan sedimentasi laut,” kata Bahar nelayan Pulau Karimun Besar lainnya.
Bahar juga mengaku heran, kenapa titik lokasi pembersihan sedimentasi laut di Karimun berada di pulau kecil. Apalagi jika dilihat dari peta lokasinya tepat berada di pesisir pulau.
Ia khawatir aktivitas itu akan memperparah abrasi sehingga membuat luasan pulau-pulau kecil itu terus berkurang. Apalagi Karimun berbatasan langsung dengan Malaysia.
“Kalau pulau itu menyusut secara garis perbatasan akan merugikan Indonesia,” kata Bahar yang juga Ketua Forum Peduli Kesejahteraan Lingkungan (FKPL) Karimun.
Bahar mengaku belum mendapatkan sosialisasi kegiatan penyedotan sedimentasi laut tersebut. Bahkan FKPL pernah bertanya langsung kepada KKP yang ada di Karimun untuk dilakukan sosialisasi tetapi sampai saat ini tidak ada tindak lanjut. “Saya pun baru tahu dari media, Pulau Karimun Besar ini jadi lokasi pengambilan sedimentasi laut itu,” katanya.
Baca juga : Pemerintah Indonesia Wajib Revisi PP tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut

DKP Kepri wilayah Karimun Faizal mengatakan, sampai saat ini pihaknya juga belum mendapatkan sosialisasi dari pemerintah soal sedimentasi laut. “Sampai saat ini tidak ada diundang kita sosialisasi,” katanya, Sabtu (23/3/2024).
Ia melanjutkan, prinsipnya DKP mengikuti apa yang dikatakan nelayan, jika nelayan menolak DKP Provinsi Kepri akan bersama nelayan. “Kalau melanggar kita menolak, tetapi sejauh ini katanya menteri sudah mengajak LSM lingkungan juga dalam sedimentasi laut ini,” katanya.
Belum Ada Perusahaan Penambang
Polsus PWP3K Wilayah Kerja PSDKP KKP Tanjung Balai Karimun Adie W Putra membenarkan salah satu titik lokasi pemanfaatan sedimentasi laut yaitu berada di perairan Karimun. Namun titik tersebut masih secara umum. “Pastinya nanti setelah KKP mengeluarkan izin perusahaan yang akan melakukan pemanfaatan sedimentasi laut, nanti semuanya akan tertera dalam perizinan, lokasi pengambilan sedimentasi laut, kuota, luasannya dan lain-lain,” katanya kepada Mongabay, Rabu (02/5/2024).
Adie memastikan, sampai saat ini belum ada satupun perusahaan yang mendapatkan izin pemanfaatan sedimentasi laut tersebut. Syarat utama izin pemanfaatan sedimentasi laut, perusahaan harus mengurus izin KKPRL (kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut) terlebih dahulu. “Sedangkan sampai saat ini belum ada verifikasi lapangan yang melibatkan kami PSDKP, bisa saya sampaikan belum ada izin KKPRL pengelolaan sedimentasi hasil laut,” katanya.
Pihaknya sudah siap melakukan pengawasan jika sudah ada perusahaan yang mendapatkan izin dari pusat. Pengawasan yang akan dilakukan, salah satunya di atas kapal perusahaan akan dilengkapi sistem pemantauan transmitter. PSDKP KKP melakukan pemantauan realtime selama 24 jam terkait aktivitas kapal tersebut. “Sistem ini juga sudah kami gunakan untuk kapal perikanan, kapal akan dipantau pusdal (pusat pengendalian) di Jakarta,” katanya.
Tidak hanya itu, jika dibutuhkan, lanjutnya, akan ada petugas PSDKP melakukan pemantauan di kapal pemanfaatan sedimentasi di laut saat mereka beraktifitas. “Nanti diizinnya baru ketahuan hasil pembersihan sedimentasi laut ini akan dibawa kemana,” katanya.
Sedangkan terkait sosialisasi kepada nelayan, akan dilakukan oleh perusahaan. “Kenapa lokasinya di Pulau Karimun Besar, saya tidak bisa komentar itu,” katanya.
Sedangkan menurut pengusaha tambang pasir laut lokal di Kabupaten Karimun, PP No.26/2023 tentang Pemanfaatan Sedimentasi Laut tidak akan terlaksana dengan baik karena aturannya tidak jelas.
Menurut Nardi pengusaha tambang pasir laut di Karimun, PP 26/2023 itu tidak jelas menyebutkan hasil pembersihan sedimentasi laut akan diekspor atau digunakan dalam negeri. Padahal sedimentasi itu sejatinya adalah lumpur, yang tidak layak digunakan untuk reklamasi baik dalam negeri maupun luar negeri.
Begitu juga soal pernyataan pemerintah yang mengatakan kapal isap pembersihan sedimentasi laut menggunakan kapal ramah lingkungan. Di Indonesia, katanya, tidak ada kapal isap pasir yang memiliki teknologi ramah lingkungan, kecuali kapal luar negeri. “Sedangkan kapal asing tidak boleh beroperasi di Indonesia, kecuali pemerintah buat aturan baru lagi,” katanya saat ditemui di Batam, Minggu, (24/3/2024).
Nardi juga mengatakan, lokasi sedimentasi laut yang berada di Karimun beririsan langsung dengan izin usaha pertambangan atau IUP yang dimilikinya. “Lokasi IUP kita dicaplok untuk aktivitas sedimentasi laut ini,” katanya.
Sedangkan pengusaha tambang pasir laut di Karimun dilarang melakukan penambangan pasir laut. Padahal semua izin sudah selesai diurus, tetapi terganjal pelarangan melalui aturan KKPRL KKP. “Lebih baik pemerintah mencabut izin larangan ekspor pasir laut saja. Inikan tidak jelas, KKP kok ngurusin tambang. Seharusnya ngurus ikan di laut. Saya yakin aturan ini tidak akan terlaksana,” tutupnya.
Baca juga : Permen Sedimentasi Laut Rampung, Walhi: Bukti Bluewashing Pemerintah

Walhi Tolak PP Sedimentasi Laut
Walhi Riau terus menyuarakan penolakan kehadiran PP 26/2023 tersebut karena sama dengan penambangan pasir laut, hanya saja berkedok menjaga kesehatan laut.
Walhi Riau dari awal tegas menolak PP sedimentasi laut. Kegiatan pembersihan sedimentasi laut ini sesungguhnya hanya melahirkan akselerasi perizinan dan aktivitas tambang. “Kita menilai kegiatan ini abai pada aspek kepentingan nelayan dan ekosistem,” kata Direktur WALHI Riau Even Sembiring, Minggu (06/4/2024).
Menurut Even, kehadiran tambang pasir hanya akan memperkeruh situasi, berpotensi melahirkan gejolak dan konflik antara nelayan dan penambang. Kedua, aktivitas tersebut akan semakin mengancam keberlanjutan aktivitas tangkap, kerusakan ekosistem laut, dan mengakselerasi ancaman abrasi dan intrusi terhadap pulau kecil.
“Dari awal PP diterbitkan telah melanggar apa yang dimaksud dengan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation). Penerbitan PP tidak membuka ruang dialog, tidak ada kesempatan masyarakat menyampaikan pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, hingga mendapat penjelasan. Negara dalam hal ini memperlihatkan sikap otoriter dan anti demokrasi,” tegasnya.
Even mengatakan, timnya sudah pernah turun ke Kepri untuk melihat dampak dari tambang pasir laut. Hasilnya nelayan mayoritas menolak tambang apapun dilaut. Karena nelayan merasakan dampak buruk dari aktivitas tersebut.
“Seperti salah satu nelayan Kelurahan Pemping Batam menyebut kepada kami, tambang pasir laut yang pernah terjadi disana merusak laut dan karang mereka, sehingga membuat mereka kesulitan melakukan aktivitas melaut,” katanya.
Aktivitas tambang masa lalu memang memberi mereka ganti rugi, tapi ganti rugi tidak sesuai dengan dampak yang mereka rasakan. Apabila tambang terus dipaksakan, laut dan pulau kecil di Kepri akan mengalami dampak yang sangat buruk, membuat kepulauan Riau semakin terjerat dalam krisis ekologis.
“Kami berharap masyarakat tetap konsisten menolak kebijakan ini dan melawan dengan cara-cara sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokratis. Sedangkan kami di WALHI Riau, akan tetap melakukan pemantauan sambil mengkaji sejauh mana kemungkinan dapat diuji di Mahkamah Agung,” katanya. (***)
Benarkah Demi Kesehatan Laut, Pemanfaatan Sedimentasi Laut Dilakukan?