- Bali, Indonesia, akan menjadi tuan rumah World Water Forum (WWF) X, di tengah ancaman krisis air di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Berbagai pihak mendorong agar kegiatan ini jadi momentum bagi pemerintah menegaskan kembali komitmen menjaga atau melindungi kekayaan air negeri ini.
- Gunawan Wibisono, Pakar Hidrologi Universitas Merdeka (Unmer) Malang, menyebutkan, kekayaan air di Indonesia didominasi sumber permukaan dari 5.590 sungai, 1.035 danau, 209 bendungan (waduk), serta 2.042 embung. Sayangnya, sumber air permukaan ini secara kuantitas terus alami penurunan karena daya tampung rendah. Dari kapasitas ideal 1.975 meter kubik per tahun per kapita, air tertambung hanya 50 meter kubik atau hanya 2,5%.
- Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2020, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, dari 3,9 triliun meter kubik per tahun sumber air, hanya 17,69% atau setara 691,3 juta meter kubik per tahun bisa dimanfaatkan. Itu pun, 25% terpakai untuk irigasi.
- Heru Hendayana, ahli hidrologi asal Universitas Gajah Mada (UGM) benarkan, isu air kini bukan lagi menjadi persoalan regional, juga global. Sebuah laporan yang rilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan, sekitar 3,5 miliar orang di dunia tidak memiliki akses sanitasi dan air minum aman. Perubahan iklim yang terjadi diperkirakan memperparah situasi ini.
Bali, Indonesia, akan menjadi tuan rumah World Water Forum (WWF) X, di tengah ancaman krisis air di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Berbagai pihak mendorong agar kegiatan ini jadi momentum bagi pemerintah menegaskan kembali komitmen menjaga atau melindungi kekayaan air negeri ini.
Indonesia, punya sumber air melimpah di dalam maupun permukaan. Sayangnya, sumber-sumber air itu menghadapi berbagai masalah dan ancaman seperti alih fungsi lahan, deforestasi, tercemar limbah dari berbagai aktivitas di darat maupun perairan dan lain-lain.
Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2020, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, dari 3,9 triliun meter kubik per tahun sumber air, hanya 17,69% atau setara 691,3 juta meter kubik per tahun bisa dimanfaatkan. Itu pun, 25% terpakai untuk irigasi.
Gunawan Wibisono, Pakar Hidrologi Universitas Merdeka (Unmer) Malang, menyebutkan, kekayaan air di Indonesia didominasi sumber permukaan dari 5.590 sungai, 1.035 danau, 209 bendungan (waduk), serta 2.042 embung. Sayangnya, sumber air permukaan ini secara kuantitas terus alami penurunan karena daya tampung rendah. Dari kapasitas ideal 1.975 meter kubik per tahun per kapita, air tertambung hanya 50 meter kubik atau hanya 2,5%.
Rendahnya daya tampung sungai atau bendungan, katanya, terpicu alih fungsi lahan di daerah aliran sungai (DAS). Tutupan lahan berkurang, akhirnya struktur tanah kehilangan daya ikat yang mengirim sedimentasi ke daerah hilir.
“Itu terjadi di banyak tempat. Bendungan, misal, harusnya bisa berumur 100 tahun, baru separo jalan sudah tidak bisa menampung karena penuh oleh sedimentasi,” kata Gunawan.
Bahkan, dalam kurun tertentu, material sedimentasi yang terkirim tidak hanya menutup bendungan, juga selat.
Pengelolaan sumber air di Indonesia, katanya, memang menghadapi banyak persoalan. Secara kuantitas, eksploitasi berlebihan hingga alih fungsi lahan, termasuk deforestasi berpotensi menurunkan cadangan sumber air. Begitu juga kualitasnya. Pencemaran menyebabkan sumber daya alam tak bisa dipergunakan.
“Jadi memang sangat kompleks. Secara kuantitas kita bermasalah karena alih fungsi lahan, baik untuk permukiman, pertanian dan industri, begitu juga dengan kualitasnya. Kegiatan industri, pembuangan limbah yang tak terkontrol menjadikan air tercemar dan tidak bisa dipakai,” katanya.
Hasil ekspedisi sungai oleh Lembaga Konservasi Lahan Basah (Ecoton) mengonfirmasi temuan itu. Dari puluhan sungai strategis nasional yang dilakukan kajian, semua dalam kondisi tercemar. “Semua sungai yang kami teliti mengandung mikroplastik,” kata Amiruddin, peneliti Ecoton saat dihubungi Mongabay.
Sebelumnya, Ecoton penelitian terhadap 60 sungai strategis nasional dari Sabang sampai Merauke. Kendati pun fokus utama penelitian untuk mengetahui kandungan mikroplastik, namun, tidak sedikit sungai terpapar logam berat.
“Semua tercemar. Hanya memang, masing-masing regional memiliki tipikal dan konsentrasi berbeda. Untuk sungai-sungai di daerah tambang, seperti di Sulawesi, paparan terbesar memang logam berat. Di daerah perkebunan sawit, bahan pencemar seperti sulfur dan bahan-bahan kimia karena penggunaan pestisida,” katanya.

Amir mengkritik, sikap pemerintah yang cenderung abai persoalan ini. Pemerintah, katanya, cenderung mengedepankan infrastruktur sebagai pendekatan untuk membangun ketahanan air. Padahal, menjaga kualitas air, tak kalah penting untuk menghindari penggunaan air tanah berlebihan.
“Kita punya cadangan air permukaan melimpah. Tetapi, kualitasnya kurang bahkan tidak pernah menjadi perhatian. Pencemaran dibiarkan terus terjadi, akhirnya sumber-sumber air tidak bisa lagi dipakai.”
Dia contohkan, di Halmahera Tengah, Sungai Akedoma melintas di Desa Lelilef tak lagi bisa dipakai karena tercemar logam berat pertambangan nikel. Padahal, katanya, selama ini, sungai selebar 10 meter itu tidak hanya sumber keperluan sehari-hari masyarakat, juga untuk ritual keagamaan. Kini, warga harus menempuh perjalanan hingga 20 kilometer untuk ambil air bersih.
Nasib lebih tragis dialami warga di sejumlah desa di Wawonii, , Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Tak hanya sungai dan laut, cemaran tambang nikel juga mengalir hingga ke rumah-rumah. Untuk keperluan sehari-hari, warga terpaksa membeli air galon.
Ancaman pencemaran tidak hanya terjadi pada air permukaan, juga air tanah. Analis Kebijakan Energi dan Lingkungan di Badan Energi Internasional (IEA), Thomas de Oliveira Bredariol mengatakan, pertambangan acapkali sampai lapisan akuifer. Dengan begitu, potensi kontaminasi sangat terbuka.
“Pengeringan (ketika air tanah dipompa keluar untuk menjaga akses ke tambang) dapat menyebabkan penurunan muka air tanah di sekitar, atau mencemari akuifer di sekitarnya,” tulis Bredariol dalam ulasannya.
Selain itu, dampak tidak langsung mungkin terjadi adalah saluran drainase terkontaminasi asam tambang. Tak hanya itu, kolam limbah tailing juga berisiko mencemari badan sungai, termasuk air tanah sekitar. “Air yang keluar dari sumur minyak dan gas dapat memiliki salinitas tinggi dan mengandung zat kimia serta sisa hidrokarbon,” kata Bredariol.

Alih fungsi lahan
Heru Hendayana, ahli hidrologi asal Universitas Gajah Mada (UGM) benarkan, isu air kini bukan lagi menjadi persoalan regional, juga global. Sebuah laporan yang rilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan, sekitar 3,5 miliar orang di dunia tidak memiliki akses sanitasi dan air minum aman. Perubahan iklim yang terjadi diperkirakan memperparah situasi ini.
Begitu juga sanitasi, sebanyak 3,5 miliar orang tidak memiliki akses sanitasi aman. Perubahan iklim diperkirakan memperparah situasi itu.
“Karena dampak perubahan iklim tidak terbatas pada negara tertentu. Semua kena,” ujar Heru yang juga anggota komite dalam penyelenggaraan WWF-10 di Bali ini.
Heru menilai, semua negara di dunia turut berkontribusi pada pemanasan global yang memicu perubahan iklim saat ini. Karena itu, selayaknya mereka berkumpul merancang strategi dan mitigasi untuk meminimalisir dampak, termasuk sektor air.
Penanganan ancaman krisis air tak hanya secara teknis, membangun infrastruktur bendungan dan sejenisnya. Lebih dari itu, katanya, manajemen pengelolaan dan komitmen menjaga daerah resapan jauh lebih penting. “Kaya sumber daya air tapi kalau manajemen pengelolaan tidak jelas, ya akhirnya tidak karuan juga.”
Dalam konteks Indonesia, beberapa riset menyebut negara ini memiliki kelimpahan sumber daya alam, meski pun tidak mereka di semua wilayah. Persoalan utamanya, kata Heru, komitmen dan manajemen pengelolaan tak konsisten. Alih fungsi lahan, deforestasi terus saja terjadi meski praktik tersebut jelas-jelas menganggu sistem hidrologi.

Ancaman naik
Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, meningkatnya gas rumah kaca sebagai akibat berkurangnya hutan menyebabkan siklus hidrologi terganggu.
“Meningkatnya gas rumah kaca berdampak pada meningkatnya temperatur udara, mengakibatkan pemanasan global iklim berubah. Ini akan terus berlanjut jika peningkatan gas rumah kaca tidak dikendalikan,” katanya rilis The 10th World Water Forum Kick Off Meeting di Jakarta.
Iklim yang berubah, kata Dwikorita, mengakibatkan ketersediaan air makin cepat berkurang dan memicu krisis air bersih. Dia bilang, analisis melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) KLHK menunjukkan, ada risiko penurunan ketersediaan air di Indonesia hingga periode 2025-2030. Wilayah yang memiliki tingkat risiko dengan tingkat pengurangan ketersediaan air tertinggi terdapat di Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi Selatan (Sulawesi).
Badan PBB melaporkan, antara 2002-2021, kekeringan berdampak pada lebih dari 1,4 miliar orang. Pada 2022, sekitar setengah populasi dunia mengalami kelangkaan air yang parah setidaknya satu bulan dalam setahun. Sementara seperempatnya menghadapi kekurangan sangat parah.
“Situasi ini menjadikan target SDGs pada 20030 masih jauh dari harapan,” tulis PBB dalam laporan terbarunya.


*********