- Hutan alam dan lahan gambut terbabat di konsesi perusahaan HTI, PT Mayawana Persada di Kayong Utara, Kalimantan Barat. Temuan tim kolaborasi menunjukkan, aktivitas pembabatan hutan dan pengeringan gambut oleh Mayawana justru terjadi di atas fungsi ekosistem gambut (FEG) lindung. Juga menemukan tiga kanal yang digali Mayawana di dalam kawasan FEG lindung sama, yang membentang dari barat ke timur dengan rapi.
- Masyarakat sekitar punya hutan desa yang sudah dapat penetapan pemerintah. Mereka berupaya keras menjaga hutan itu. Kini, mereka was-was karena konsesi perusahaan dan pembukaan lahan gambut berdampingan dengan mereka. Mereka khawatir, terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kala gambut rusak.
- Masyarakat punya pengalaman buruk dan trauma dengan kebakaran hutan dan lahan pada 2015. Masa itu, sekitar sebulan,masyarakat berjibaku memadamkan api yang meluluhlantakkan segala.
- Agung Wibowo, Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia mengatakan, aktivitas perusahaan bisa mendegradasi hutan desa. Yang terburuk, izin hutan desa bisa dicabut kalau negara memandang masyarakat tidak bisa lagi menjaga kawasan itu. Padahal itu pengaruh aktivitas perusahaan. Banyak kasus seperti itu.
Di tengah hutan belantara biasa terdengar nyanyian serangga bersahut-sahutan atau kicauan burung. Tidak di hutan alam yang berada di Kayong Utara, Kalimantan Barat. Yang terdengar malah suara riuh alat berat. Aktivitas alat berat menggema jauh hingga 1,2 km. Hutan yang awalnya tutupan hutan rapat berganti jadi tanah lapang.
Bagaikan memasuki dimensi berbeda, suasana temaram hutan tiba-tiba berganti jadi terang menyilaukan.
Udara lembap khas hutan basah pun seketika berganti bau kayu tebangan. Hanya tinggal satu pohon setinggi 15 meter berdiri, yang lain roboh dengan batang tersusun rapi.
”Seminggu lalu belum seperti ini. Mereka masih berada sekitar satu kilo (meter) di sebelah kiri,” kata seorang sumber yang mengenai wilayah itu.
Hutan terbabat ini bagian dari konsesi PT Mayawana Persada (Mayawana), perusahaan pemegang izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu hutan kayu tanaman industri (IUPHHK-HTI). Perusahaan ini beroperasi lewat SK.724/Menhut/2020, keluar 30 Desember 2010 dari Kementerian Kehutanan.
Kecepatan pembukaan hutan alam oleh Mayawana sebenarnya tak mengagetkan. Pasalnya, koalisi masyarakat sipil mencatat deforestasi Mayawana tertinggi di Indonesia selama 2021-2023 sekitar 33.070 hektar setara setengah luas daratan Jakarta hilang dari tanah mineral dan gambut mereka.
Tim kolaborasi media yang terdiri dari Mongabay Indonesia, Betahita, Ekuatorial, Jaring.id, CNN Indonesia TV, Pontianak Post, dan Gatra melihat langsung aktivitas pembukaan ini. Dalam kawasan hutan yang didatangi akhir Maret itu, setidaknya ada lima eksavator berkelir hijau sedang sibuk meratakan gambut.
Koalisi masyarakat sipil tumpang susun peta gambut 2017 dengan peta konsesi Mayawana dan menemukan 60,15% atau 82.238,81 hektar dari konsesi yang memiliki luas 136.710 hekta ini merupakan kawasan gambut. Rinciannya, 39.895, 36 hektar indikatif kawasan lindung dan 42.343,45 hektar kawasan gambut budidaya.
Data Pantau Gambut juga menunjukkan sekitar 23% gambut di Mayawana masuk kategori gambut dalam (memiliki kedalaman 200-300 cm), 26% masuk kategori sangat dalam (300-500 cm), dan 1% gambut kategori sangat dalam sekali (500-700 cm). Sisanya, 36% didominasi gambut kedalaman sedang (100-200 cm), 14% gambut dangkal (50-100 cm).
Gambut lindung dan buka kanal
Temuan tim kolaborasi menunjukkan, aktivitas pembabatan hutan dan pengeringan gambut oleh Mayawana justru terjadi di atas fungsi ekosistem gambut (FEG) lindung. Juga menemukan tiga kanal yang digali Mayawana di dalam kawasan FEG lindung sama, yang membentang dari barat ke timur dengan rapi.
Sekitar 23 kilometer ke arah utara, serupa dilakukan Mayawana. Bedanya, kawasan yang juga FEG lindung ini sudah terbabat lama, terlihat dari kayu-kayu dan gambut sudah kering.
Warga lokal bilang, pembabatan ini sejak Februari tahun lalu. Sejak itu, pembukaan kawasan hutan terus terjadi dengan kecepatan tinggi. Koalisi masyarakat sipil mencatat, Mayawana keringkan gambut seluas 14.405 hektar sepanjang 2022-2023.
Sumber lain yang berbicara pada tim menyebut, para pekerja ditargetkan menyelesaikan pembukaan satu blok tanam yang berukuran 800 x 400 meter dalam waktu dua minggu. Tak heran, ada 45 alat berat diturunkan dalam satu blok tanam.
“Kaget. Itu pasti,” katanya melihat alat berat yang bekerja di Maywana. “Kami juga khawatir. Khawatir kalau memang alat-alat itu beroperasi dengan waktu sesingkat itu, hutan kita musnah,” katanya.
Harapan sempat muncul kala Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan surat tertanggal 28 Maret 2024. Lewat surat itu, KLHK meminta penebangan di logged over area (LOA) setop sementara waktu.
KLHK minta Mayawana fokus pada penanaman antara lain di area lahan kosong, semak belukar, tanah terbuka dan pemulihan lingkungan. Surat ditandatangani Agus Justianto, Plt Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari.
Namun, hasil pemantauan citra satelit Yayasan Auriga Nusantara menunjukkan, masih ada pembukaan sekitar 2.100 hektar sepanjang April hingga 10 Mei tahun ini pasca surat terbit
Koalisi masyarakat sipil terdiri dari Satya Bumi, Walhi Kalbar, Link-Ar Borneo bursama perwakilan Masyarakat Adat Dayak Kualan dari Desa Kualan Ilir, Ketapang, Kalimantan Barat berupaya audiensi dengan KLHK melihat temuan itu.
Dalam materi aduan, masyarakat sipil menyoroti komitmen iklim pemerintah yang dirusak Mayawana. Pembukaan kawasan gambut berpengaruh besar terhadap lepasan emisi CO2 dan mempercepat krisis iklim.
Hitungan terakhir koalisi masyarakat sipil, pembukaan lahan gambut Mayawana sepanjang 2020-2022 menghasilkan 12,2 juta metrik ton CO2. Jumlah ini tentu memengaruhi target penuruann emisi sektor kehutanan dan lahan gambut 697.355.670,80 ton CO2 ekivalen seperti termaktub dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 125/2020 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
Sedang rencana kerja sub nasional Indonesia’s FoLU Net Sink 2030 Kalimantan Barat yang terbit 2022 menyebut, ada target serapan 32,1 juta ton CO2 ekivalen. Lewat jumlah ini, Kalbar menargetkan berkontribusi menyumbang 12% dari target FoLU nasional.
“Target itu akan sulit lewat pembukaan lahan gambut di Mayawana,” kata Andi Muttaqien, Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien saat berdiskusi dengan tim kolaborasi.
Apalagi, salah satu strategi mitigasi sektor kehutanan dalam rencana aksi Kalbar adalah pencegahan deforestasi di lahan gambut.
Koalisi masyarakat sipil pun menimpa susun peta konsesi Mayawana dengan peta arahan rencana aksi mitigasi FoLU Net Sink 2030 Kalbar. Hasilnya, ada lokasi implementasi rencana operasional (RO) 11 yang merupakan perlindungan areal konservasi tinggi di dalam konsesi Mayawana.
Temuan ini diperkuat lewat surat KLHK pada Mayawana tertanggal 28 Maret yang menyebutkan keseluruhan, area target RO pada perusahaan mencapai 137.331 hektar. RO11 dalam Mayawana paling luas, mencapai 79.773 hektar. Kondisi ini ikut jadi dasar pertimbangan KLHK meminta perusahaan menghentikan penebangan di area LOA.
“Kalau seperti ini, menunjukkan kalau PT MP sebenarnya melakukan penebangan di area konservasi tinggi dan berpotensi merusak komitmen iklim pemerintah,” ucap Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien saat berdiskusi dengan tim kolaborasi.
Aktivitas pembabatan hutan dan pengeringan lahan gambut Mayawana juga menimbulkan pertanyaan. Dari dokumen peta rencana kerja usaha (RKU) periode 2012-2021 perusahaan yang tim kolaborasi dapatkan, terlihat jelas konsesi di sebelah selatan Desa Doerian Sebatang teralokasi untuk tanaman utama, kawasan lindung dan buffer zone.
RKU merupakan dokumen dinamis dan bisa diubah sesuai hasil evaluasi. Perubahannya, harus dengan sepengetahuan dan persetujuan KLHK, sebagaimana dokumen RKU lawas ditandatangani 25 Oktober 2012.
Sayangnya, tim kolaborasi tidak bisa mendapatkan dokumen RKU terbaru untuk melihat kesesuaian pembabatan hutan dengan rencana perusahaan. Permintaan resmi meminta dokumen ini ke KLHK tidak mendapat respons, sekalipun tim bersurat dan memasukkan form permohonan lewat sistem Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) mereka sejak 13 Mei lalu.
Keterangan yang tim kolaborasi dapat hanya lewat Risno Murti Candra, Kasubdit Evaluasi Kinerja Usaha pada Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat ditemui selepas audiensi dengan masyarakat sipil. Dia mengklaim, kegiatan Mayawana sudah sesuai rencana yang disetujui.
Perubahan RKU dan HCV sudah sesuai ketentuan. “Itu sudah mempedomani SK Dirjen PPKL Nomor 70/2022,” katanya.
SK itu merupakan hasil kajian dari Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan yang menjadi dasar perubahan RKU Mayawana hingga bisa beraktivitas di lahan gambut. Sayangnya, aturan itu enggan Risno berikan. Permohonan resmi pun nihil, baik oleh tim kolaborasi ataupun koalisi masyarakat sipil.
Aktivitas Mayawana membuka lahan gambut, katanya, harus dicek dengan SK itu. “Kalau memang tidak sesuai ketentuan SK, silakan datang lagi pada kami,” katanya.
Ancaman bencana karhutla
Samsidar masih ingat jelas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di hutan lindung gambut Sungai Paduan, di utara desanya, yakni, Padu Banjar, Kayong Utara, Kalimantan Barat, tahun 2015. Selama satu bulan, pria ini ikut berjibaku bersama masyarakat dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah untuk memadamkan api.
“Saya nangis setelah kejadian (kebakaran) itu. Sedih saya melihat hutan yang tadinya lebat, tiba-tiba ludes karena api,” katanya ditemui di kediamannya.
Dia awalnya pembalak. Keluar masuk hutan dari 2005-2010 untuk mencari kayu sesuai pesanan masyarakat buat kebutuhan rumah mereka.
Pertobatan ekologis Samsidar mulai 2014 saat lembaga konservasi orangutan Yayasan Palung menginisiasi pembentukan hutan desa di kawasan HLG Sungai Paduan. Karena terlalu luas, pengelolaan dibagi pada empat desa, yakni, Padu Banjar, Nipah Kuning, Pemangkat dan Pulau Kumbang.
Kala itu dia menjabat sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa untuk menjadi pengurus. Perlu waktu dua tahun izin hutan desa baru keluar. Samsidar resmi menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Banjar Lestari.
Mereka lakukan patroli untuk pengamanan hutan. Patroli rutin sekitar 15 anggota tim, katanya, berhasil mencegah kebakaran selama delapan tahun terakhir. “Kami melihat pertumbuhan pepohonan itu meningkat. Kami merasa senang dan bangga karenanya,” kata Samsidar.
Selama empat tahun terakhir, dia dan tim menginisasi penanaman bibit buah-buahan seperti cempedak, rambutan, mangga, durian serta jambu-jambuan di area bekas terbakar sembari patroli.
Selain melebatkan kembali kawasan hutan yang pernah terbakar, dengan ada buah-buahan ini diharap bisa menjadi pakan bagi satwa liar. Dengan begitu, satwa liar tidak masuk ke kebun warga yang bersebelahan dengan hutan desa.
“Kira-kira 70% dari apa yang kami tanam, berhasil tumbuh,” katanya.
Saat ini, mereka waswas. Aktivitas Mayawana bersebelahan langsung dengan hutan desa khawatir memberi dampak bagi kelangsungan hutan mereka jaga.
Samsidar ingat kala seorang warga memberitahu ada aktivitas alat berat di konsesi Mayawana yang dekat dengan desa pada 2023. Meskipun sudah mengetahui kawasan itu masuk area HTI, tetapi, dia khawatir pembabatan hutan dan lahan gambut Mayawana bisa berdampak pada hutan desa mereka seluas 6.883 hektar.
“Apalagi kami dapat informasi kalau mereka tidak akan menyisakan hutan di atas hutan desa. Artinya, mereka akan garap semua kawasan yang mepet dengan hutan desa,” kata Samsidar.
Masyarakat khawatir kala gambut perusahaan terbuka dan rusak maka berdampak pada lahan gambut di hutan desa. Apalagi, mereka berada di dalam satu kawasan hidrologis gambut (KHG), Sungai Durian-Sungai Kualan.
Nyoman Suryadiputra, ahli lahan basah saat berdiskusi daring dengan tim kolaborasi menyebut, kanalisasi di satu titik, akan memengaruhi KHG secara keseluruhan. Kekeringan gambut, katanya, menjadi satu keniscayaan.
“Luas sekali,” katanya singkat merespons pengeringan lahan gambut Mayawana mencapai 14.405 hektar.
“Pengeringan gambut akan membuat lahan turun dan mudah terbakar.”
Berdasarkan pengalaman, dampak signifikan terlihat paling cepat dalam lima tahun. Meskipun demikian, bukan tidak mungkin terjadi kebakaran lebih cepat kalau pengeringan masif dan faktor el-nino.
”Seperti di area eks pembukaan lahan gambut di Kalimantan Tengah tahun 1995-1996, ditimpa el nino 1997, terbakar,” kata Nyoman.
Berkaca dari pengalaman PLG, pria yang pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif Wetlands International Indonesia ini menyebut, gambut yang dikeringkan akan mengalami penyusutan atau subsiden. Biasanya, kecepatan subsiden bisa mencapai 1-2 meter per tahun.
Tanah yang turun ini rawan membuat tanaman di atasnya tumbang. “Yang saya dapat info di lapangan, dari orang yang kerja langsung di lapangan, banyak sekali tanaman akasia tumbang di HTI. Tanah turun, amblas.”
Gambut yang turun adalah kerusakan tertinggi dari lahan basah. Belum ada metoda pemulihan yang bisa mengembalikan kualitas dan fungsi ekosistem gambut seperti sediakala.
Bahkan, kawasan gambut yang baru kena sodet jadi kanal saja, kata Nyoman, tidak akan bisa kembali jadi tempat penampungan air. Sekalipun ada upaya restorasi berupa sekat kanal.
”Peatland (lahan gambut) adalah ekosistem rapuh, ringkih,” katanya.
Menurut dia, beberapa saintis bahkan ekstrem meminta gambut tidak disentuh sama sekali. “Karena sekali kita sentuh, akan rusak. Untuk memulihkan sulit sekali.”
Sayangnya, ide berbeda justru ditunjukkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dalam forum bersama masyarakat sipil akhir April lalu, Risno mengatakan, lahan gambut merupakan sumber daya yang harus dimanfaatkan.
”Perizinan pemanfaatan hutan supaya sumber daya tidak mubazir. Tidak semua gambut dilindungi,” katanya.
Tim kolaborasi pun berupaya mengkonfirmasi Mayawana. Pada 27 April, daftar pertanyaan dikirim pada Ardian Santoso, Humas Mayawana di Pontianak.
Secara berturut-turut mulai dari 30 April, 1 Mei dan 3 Mei 2024, tim kolaborasi menanyakan jawaban konfirmasi pada Ardian, namun tidak ada tanggapan.
Pada 4 Mei 2024, anggota tim bertemu Ardian dan kembali menanyakan perihal konfirmasi. Saat itu, dia meminta waktu hingga 6 Mei 2024. Pada tanggal yang dijanjikan, tim kembali mengkonfirmasi, hingga artikel ini terbit, tidak ada jawaban dari Mayawana.
Dalam beroperasi Mayawana juga tidak pernah melakukan pembicaraan dengan masyarakat. Mustafa, Ketua LPHD Hutan Bersama dari Desa Nipah Kuning, mengatakan, Mayawana tidak pernah membuka obrolan dengan warga soal aktivitas mereka.
Pria 64 tahun itu menyebut, beberapa perusahaan yang pernah dan sedang beroperasi di Nipah Kuning selalu bicara dengan warga. “Ndak pernah jumpa ( Mayawana), ndak pernah ada omong langsung ke warga. Warga pun ndak tahu siapa-siapa dia orang,” kata Mustafa.
Dengan tidak ada komunikasi dengan warga, katanya, akan sulit bagi warga, terutama LPHD dengan lokasi bersisian dengan perusahaan berkoordinasi perihal pengelolaan wilayah.
Apalagi, dengan pembabatan hutan di dalam konsesi, Mustafa waswas akan dampak ekologis ke hutan mereka. “Saya berharap perusahaan ini bertanggung jawab juga dengan kelestarian hutan di sekitarnya. Pemerintah, harus tinjau kembali perizinannya!”
Agung Wibowo, Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia mengatakan, aktivitas perusahaan bisa mendegradasi hutan desa. Yang terburuk, izin hutan desa bisa dicabut kalau negara memandang masyarakat tidak bisa lagi menjaga kawasan itu.
“Padahal itu pengaruh aktivitas perusahaan. Banyak kasus seperti itu,” kata Agung lewat sambungan telepon.
Bahkan, kejadian di beberapa wilayah menunjukkan kawasan izin hutan desa dicabut justru diberikan lagi kepada korporasi. Bukan tidak tidak mungkin hutan-hutan desa yang berdiri di HLG Sungai Paduan bernasib sama.
Apalagi, Undang-undang Cipta Kerja memungkinkan sebuah korporasi memgang izin multi usaha kehutanan yang membuat mereka bisa melakukan beragam aktivitas eksploitatif di kawasan hutan. Dia berpesan, agar masyarakat tidak takut melakukan gugatan terhadap perusahaan kalau dampak ekologis dari kerusakan lahan gambut mulai terlihat.
“Banyak juga Citizen Lawsuit yang berhasil di pengadilan. Jadi masyarakat di Kayong Utara tidak boleh takut,” kata Agung.
Samsidar sudah membayangkan kemungkinan terburuk izin mereka dicabut kalau mereka dianggap tidak bisa menjaga hutan.
Dia pun berharap pemerintah bisa memperhatikan kawasan hutan tersisa yang harus dijaga masyarakat.
“Kami takut upaya kami di LPHD dalam menjaga hutan akan sia-sia. Kami sudah mati-matian pertahankan hutan, mereka (perusahaan) justru diberikan izin merusak hutan.”
*****
*Liputan kolaborasi Depati Project yang melibatkan sejumlah jurnalis dari enam media massa: Mongabay Indonesia, CNN Indonesia TV, Ekuatorial, Pontianak Post, Betahita.id dan Jaring.id.
Kala Perusahaan Kayu Babat Hutan Alam dan Gambut Ancam Orangutan Kalimantan