- Niat pemerintah bagi-bagi izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan menuai kritikan berbagai kalangan. Rencana ini dinilai berisiko menimbulkan konflik agraria baru dengan masyarakat dan ketimpangan sosial.
- Dewi Sartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Perbaruan Agraria (KPA) meminta pemerintah menghentikan rencana ini karena bakal memperparah konflik agraria pertambangan yang sudah tinggi di Indonesia.
- Data KPA, sepanjang 2023, tambang menyebabkan 32 letusan konflik agraria di 127.525 hektar lahan dengan 48.622 keluarga dari 57 desa terdampak tambang.
- Suraya A Afiff, Antropolog dari Universitas Indonesia bilang, rencana bagi-bagi IUP justru akan menimbulkan ketimpangan baru. Ormas menguasai tambang, masyarakat sekitar sengsara karena tanah pertanian sebagai mata pencaharian tergusur jadi tambang.
Niat pemerintah bagi-bagi izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan menuai kritikan berbagai kalangan. Rencana ini dinilai berisiko menimbulkan konflik agraria baru dengan masyarakat dan ketimpangan sosial.
Dewi Sartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Perbaruan Agraria (KPA) meminta pemerintah menghentikan rencana ini karena bakal memperparah konflik agraria pertambangan yang sudah tinggi di Indonesia.
“Harus hentikan permainan berbahaya yang berkaitan dengan bisnis-bisnis tambang. Jadi, berhentilah memperparah situasi agraria di Indonesia,” katanya kepada Mongabay, baru-baru ini.
Pertambangan, katanya, berada di peringkat ketiga sektor penyebab konflik agraria. Berdasarkan data KPA, sepanjang 2023, tambang menyebabkan 32 letusan konflik agraria di 127.525 hektar lahan dengan 48.622 keluarga dari 57 desa terdampak tambang.
“Bisnis tambang ini banyak problemnya, terutama soal masalah struktural karena terbit izin pertambangan itu banyak yang dirugikan,” katanya.
Satu sisi, kata Dewi, rencana pemberian izin tambang kepada ormas termasuk ormas keagamaan merupakan upaya pemerintah melunaskan utang politik. Dewi menduga pemberian IUP ini ada kaitan dengan Pemilu 2024.
“Itu bagian dari utang politik pemerintahan saat ini. Tentu ini tidak bisa dinafikan bahwa ini kaitannya dengan prosesi pemilu 2024,” katanya.
Argumentasi pemerintah bahwa berencana memberikan IUP kepada ormas karena berjasa mengusir penjajahan hanya omong kosong. Pernyataan itu, katanya, bersifat politis.
Dewi bilang, bukan ormas saja yang punya andil besar dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. “Kalau bicara organisasi, gerakan petani, petani itu juga pahlawan bangsa, mau di Banten mau Jawa Barat, mau di Pemalang, Kendal kalau melihat sejarah gerakan tani banyak kaum tani bagian dari perjuangan melawan kolonialisme.”
Dia pun mempertanyakan karena para petani tak jadi prioritas pemerintah padahal memiliki jasa lebih besar. “Kaum tani justru termarjinalkan. Mereka harus memperjuangkan tanah yang dirampas.”
Selama ini, katanya, para tani menuntut hak atas tanahnya yang tak diakui dan secara kesejahteraan dia berkontribusi pada perjuangan bangsa kita itu terus menerus diabaikan bahkan dirampas tanahnya seperti saat kita dijajah,” ucapnya.
Dewi menyatakan, Ormas merupakan bagian dari kelompok elite di republik Indonesia. Mereka bukanlah kelompok yang selama ini berada di dalam situasi ketimpangan penguasaan lahan atau konflik agraria.
Menurut Dewi, yang paling layak diberikan tanda jasa pahlawan adalah Petani bila dibandingkan dengan Ormas. Petani tak membutuhkan IUP, mereka cukup diberikan penuntasan konflik agraria.
Dia bilang, bukan sekali ini pemerintah memberikan hak istimewa kepada ormas. Sebelumnya, pemerintah membagikan lahan kepada ormas lewat program tanah obyek reforma agraria (Tora).
“Itu akan menyakiti para petani, masyarakat adat, masyarakat marjinal, perempuan di pedesaan yang masih menghadapi konflik dan ketidakadilan agraria,” ucap Dewi.
Dia bilang, banyak lahan pertanian yang menjadi sumber kehidupan masyarakat terrampas jadi tambang. Masyarakat yang menolak melawan dan pecahlah konflik.

Masyarakat yang menanti penyelesaian konflik agraria, katanya, berharap mendapatkan hak tanah. Alih-alih ingat masyarakat, pemerintah justru mau berikan IUP kepada ormas keagamaan.
Dewi mendesak, Presiden Joko Widodo (Jokowi) di masa transisi ke pemerintahan baru menghentikan pemberian atau penerbitan IUP. Kemudian, evaluasi IUP bermasalah.
“Selama ini, penyelesaian konflik agraria cukup terhambat ya sejak Presiden Jokowi menjanjikan menuntaskan konflik agraria dan akan mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia melalui kebijakan reforma agraria. Kita melihat progres di lapangan sangat lambat dan masih katuistik.”
Pembagian IUP ini bermula ketika Presiden Jokowi meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/2022 tentang Satgas Penataan Lahan dan Penataan Investasi pada Januari 2022.
Keppres ini, memberikan mandat kepada Bahlil mengisi posisi ketua satgas yang salah satu tugasnya evaluasi izin tambang, hak guna usaha, dan konsesi kawasan hutan. Juga, membuka peluang memberikan fasilitas kemudahan kepada organisasi kemasyarakatan, koperasi, dan lain-lain untuk mendapatkan lahan.
Jokowi kembali mengeluarkan Perpres Nomor 70/2023 tentang pengalokasian lahan bagi penataan investasi pada Oktober 2023. Melalui regulasi ini, satgas yang dipimpin Bahlil kembali dapat tugas mencabut izin tambang, perkebunan, dan konsesi kawasan hutan, serta memberikan izin pemanfaatan lahan untuk ormas, koperasi dan lain-lain.
Hingga kini, satgas telah mencabut 1.118 IUP dan 15 izin pinjam pakai kawasan hutan (IPKH). Izin-izin ini merupakan bagian dari 2.078 izin usaha pertambangan, 192 IPKH, dan 34.448 hektar HGU perkebunan yang ditelantarkan. Dewi bilang, seharusnya pencabutan IUP tersebut dijadikan momentum pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria.
“Diarahkannya untuk menuntaskan konflik agraria dan diarahkan kepada agenda reforma agraria sebagai jalan pengakuan hak masyarakat seperti petani atau masyarakat adat, jadi bukan dicabut lalu dibagikan lagi misal, ke ormas,” katanya.
Dia bilang, sudah saatnya pemerintah menghentikan ekspansi tambang karena menimbulkan dampak buruk. Selain perampasan lahan, tambang juga mengakibatkan bencana ekologis hingga kerusakan alam karena eksploitasi berlebih.
Lubang bekas tambang pun ditinggal tanpa pemulihan lingkungan.
“Warga punya beban ganda yang berkaitan dengan hak atas tanah , mengalami kemiskinan, mengalami pencemaran, sumber mata air juga tercemar,” kata Dewi.
Selain itu, tidak ada dasar hukum pemerintah memberikan IUP kepada ormas.

Suraya A Afiff, Antropolog dari Universitas Indonesia menyatakan, pokok permasalahan dari rencana pemerintah bagi-bagi IUP ke ormas tersebut adalah keadilan untuk semua pihak terkait akses kekayaan alam. Kekayaan alam, katanya, hanya dikuasai segelintir orang. Bila rencana bagi-bagi IUP ke ormas terealisasi akan menciptakan ketimpangan sosial. Ada yang diuntungkan atas rencana ini, dan ada pula yang dirugikan.
“Bagaimana memberikan akses yang adil pada semua pihak? Tidak dilihat bagaimana keadilan orang-orang di sekitar tambang yang sekarang kehidupannya hancur,” katanya.
Pembagian IUP ke ormas pun, katanya, akan berpotensi melanggengkan para investor.
“Mereka gak membela masyarakat setempat, ini bagaimana tanggung jawab sosialnya, tanggung jawab moral dan etik dari para ormas ini.”
Suraya menduga, rencana bagi-bagi IUP untuk ormas keagamaan ini hanyalah sebagai kamuflase bagi para investor. Sebab, ormas akan menggandeng perusahaan lain untuk eksploitasi bahan tambang. Investor, katanya, diduga akan eksploitasi hutan untuk pertambangan atas nama ormas.
“Ormas hanya minta fee (uang hasil usaha tambang) itu yang sama dilakukan di masa-masa awal Soeharto kepada orang yang mendapat konsesi itu dia tidak akan mengerjakan,” katanya.
Sementara, konflik pun akan terus terjadi. Di mana, Ormas akan menjadi benteng bagi para investor yang tengah mengeksplorasi bahan tambang.
“Ormas akan dihadapkan dengan masyarakat dengan organisasi sosial yang konsen dengan lingkungan yang dialami masyarakat sekitar,” kata Suraya.
Suraya bilang, rencana bagi-bagi IUP justru akan menimbulkan ketimpangan baru. Ormas menguasai tambang, masyarakat sekitar sengsara karena tanah pertanian sebagai mata pencaharian tergusur jadi tambang.
“Ini menciptakan konflik antara elit, antara ormas dengan gerakan sosial, menciptakan konflik dengan masyarakat sekitar,” katanya.

*****
Pemerintah Mau Bagi-bagi Izin Tambang untuk Ormas, Jatam: Itu Ngawur!