- Pohon seho atau pohon aren/enau [Arenga pinnata Merr], merupakan pohon yang sangat penting bagi masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara.
- Air nira yang diperoleh dengan cara menyadap pohon ini, telah lama diolah masyararakat Minahasa menjadi gula aren, saguer [sejenis tuak], dan Cap Tikus yaitu minuman berkadar alkohol tinggi yang terkenal dari Sulawesi Utara.
- Pohon seho banyak dijumpai di hutan dan kebun di Minahasa. Terutama, di pinggir sungai atau lereng bukit yang banyak air. Akar serabutnya yang kokoh, dalam, dan kuat memiliki fungsi penting sebagai penahan erosi tanah dan mampu mengikat air.
- Saguer diakui sebagai warisan budaya tak benda Indonesia, tahun 2021. Saguer diperoleh dari batifar, yaitu mengambil air nira dari pohon seho.
Pohon seho. Begitulah masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara, menyebut pohon aren atau enau [Arenga pinnata Merr]. Air nira yang diperoleh dengan cara menyadap pohon ini, telah lama diolah masyararakat Minahasa menjadi gula aren, saguer [sejenis tuak], dan Cap Tikus yaitu minuman berkadar alkohol tinggi yang terkenal dari Sulawesi Utara.
Hari Suroto, Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN, kepada Mongabay Indonesia, menjelaskan bahwa pohon seho banyak dijumpai di hutan dan kebun di Minahasa. Terutama, di pinggir sungai atau lereng bukit yang banyak air. Akar serabutnya yang kokoh, dalam, dan kuat memiliki fungsi penting sebagai penahan erosi tanah dan mampu mengikat air.
Sejauh ini, belum ada masyarakat Minahasa yang membudidayakan pohon aren. Mereka hanya memanfaatkan yang tumbuh alami, yang persebaran buahnya dilakukan oleh musang Sulawesi [Macrogalidia musschenbroekii Schlegel]. Sementara, pembuahan bunga aren dibantu serangga.
“Bagi etnis Minahasa, pohon seho memiliki fungsi penting dan kegunaan bagi kelangsungan hidup mereka. Dari pohon seho bisa dihasilkan saguer, yang dibuat dengan cara air nira disimpan atau dibiarkan selama enam jam hingga semalam. Proses tersebut merupakan fermentasi alami yang membuat saguer memiliki cita rasa manis keasaman,” ungkapnya, Sabtu [25/5/2024].
Proses tersebut juga, membuat saguer memiliki kadar alkohol sebesar 4-5%. Untuk memperoleh kadar alkohol yang lebih tinggi, saguer disuling menjadi minuman Cap Tikus, dengan kadar alkohol mencapai 40 hingga 60 persen. Saguer merupakan minuman keakraban dan persaudaraan, biasanya disajikan dalam acara-acara pesta atau duka.
Menurut Hari, kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol sejenis saguer, sudah dikenal di Minahasa sejak prasejarah, sejak nenek moyang mereka. Pengetahuan mengolah nira seho menjadi saguer, diperkenalkan oleh orang berbahasa Austronesia yang bermigrasi ke Sulawesi Utara pada 3000 tahun lalu.
“Para penutur Austronesia ini juga mengenalkan budidaya tanaman padi, beternak ayam, beternak babi dan memelihara anjing,” terangnya.
Saguer minuman dewa
Dijelaskan Hari, pada 2021, saguer diakui sebagai warisan budaya tak benda Indonesia. Saguer diperoleh dari batifar, yaitu mengambil air nira dari pohon seho. Aktivitas batifar yaitu membuat tangga untuk memanjat pohon, membersihkan dan memukul-mukul mayang [tanda buah kolang-kaling], mempersiapkan wadah bambu untuk menampung nira hasil sadapan, serta menyadap nira.
Dikutip dari situs Kemendikbud.go.id, disebutkan bahwa saguer memiliki banyak mitos dan legenda. Salah satunya, disebut sebagai minuman para dewata, yakni minuman saguer yang dianggap hampir sebagai minuman suci.
Legenda Minahasa mengenal Dewa Makawiley sebagai dewa saguer pertama [diambil dari kata leeway yang berarti busa sager]. Ada juga dewa saguer beranama Kiri Waerong yang dihubungkan dengan pembuatan gula merah dari saguer yang dimasak. Dewa saguer ketiga adalah Opo Parengkuan yang dihubungkan dengan air saguer yang menghasilkan cap tikus.
Parengkuan mempunyai kata asal “Rengku” yang artinya: minum sekali teguk tempat minum yang kecil. Karena itulah, posisi minuman ini bagi masyarakat Minahasa hampir tidak mungkin dilepaskan dari konteks mite, sebagai suatu produk yang dianggap mewakili kesucian sejarah lisan.
Bahkan, seringkali dalam sejarah lisan ini dianggap atau dipercaya sebagai ‘history’ seperti yang ditulis oleh Jessy Wenas; diungkapkan bahwa minuman ini mencapai masa kejayaannya tahun 1829, ketika para serdadu Minahasa mengikuti perang Jawa.
Tanaman beragaman manfaat
Hari Suroto menambahkan, berdasarkan literatur yang ada, pohon aren bermanfaat untuk konservasi tanah dan air, penguat teras, tepi dan tebing sungai, penahan longsor, dan pelindung mata air.
“Selain sebagai penjaga keseimbangan ekosistem alam, semua bagian pohonnya, mulai akar, batang, pelepah, hingga daun bisa digunakan. Selain air nira, pohon seho juga menghasilkan pati semacam pati sagu,” kata Hari.
Sebuah penelitian berjudul “Pohon Aren dan Manfaat Produksinya” di Buletin Eboni [2012] menjelaskan, hampir semua bagian fisik dan produksi tumbuhan ini dapat dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi. Kegunaan aren dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat, baik di dalam maupun sekitar hutan, melalui penggunaan secara tradisional.
“Namun sayang, tumbuhan ini kurang mendapat perhatian untuk dikembangkan, sehingga yang dimanfaatkan pada umumnya masih merupakan tumbuhan liar di alam,” terang Mody Lempang, penulis riset tersebut.
Kerusakan hutan dan konversi kawasan hutan untuk peruntukan lain, menyebabkan populasi tumbuhan ini berkurang dengan cepat karena tidak diimbangi dengan kegiatan budidaya memadai. Inventarisasi aren juga belum dilakukan, sehingga populasi jenis pohon ini kurang diketahui.
“Sementara, pemanfaatan produksi buah yang diolah untuk menghasilkan kolang kaling dan pemanfaatan tepung dalam batang, masih dilakukan terbatas dan belum banyak memberikan manfaat,” jelasnya.