- Semburan lumpur Lapindo sejak 29 Mei 2006 di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, tidak hanya menyisakan persoalan sosial tetapi juga masalah lingkungan dan kesehatan warga yang harus diselesaikan.
- Selain udara, warga juga khawatir bila air tanah atau air sumur, serta air permukaan seperti sungai dan irigasi, tercemar akibat lumpur Lapindo.
- Bencana lumpur Lapindo belum selesai pasca–pembayaran ganti rugi. Dampak nyata lumpur Lapindo dapat dilihat dari udara yang dihirup dan air yang digunakan Kebanyakan, warga mengeluh gangguan pernapasan dan mual-mual.
- Penelitian Walhi Jawa Timur sebelumnya, menyebutkan adanya temuan timbal [Pb] dan kadmium [Cd] melebihi baku mutu yang merata di 20 titik lokasi sampling, baik pada lumpur, sedimen sungai, maupun air.
Kepulan asap putih masih terlihat. Bau tidak sedap kental terasa di sekitar sumber asap tersebut. Itulah suasana di sekitar tanggul lumpur Lapindo di bekas Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Beberapa menara listrik saluran udara tegangan tinggi [sutet] yang tidak tegak berdiri, menjadi saksi bisu ganasnya semburan lumpur tersebut. Padahal, di sekitar tanggul setinggi 12 meter itu, dulunya merupakan perkampungan padat penduduk yang telah puluhan tahun mendiami kawasan itu.
Di selatan tanggul, tepatnya di kawasan Desa Mindi, tidak banyak bangunan tersisa dengan kondisi tidak terawat. Ada Balai Desa Mindi dan SDN Mindi 2 yang hampir tertutup ilalang. Sementara di bagian timur dan utara tanggul, tersisa beberapa rumah warga yang tidak termasuk peta area terdampak, seperti yang ditetapkan pemerintah. Mereka memilih menetap, karena tidak ada biaya untuk membeli rumah baru di luar Porong.
Mahfud, warga asal Jatirejo, desa yang tidak ada lagi di peta Kabupaten Sidoarjo, mengaku pindah dari desanya setelah mendapat ganti rugi dari negara. Kini, ia tinggal bersama keluarganya di Kecamatan Tanggulangin, sebelah utara Porong.
“Warga sudah berpencar, tapi kami masih komunikasi. Sebagian pindah ke luar Sidoarjo, tapi ada pula yang pindah tidak jauh. Kartu keluarga kami masih beralamat Kecamatan Porong, tapi rumah ya sudah tidak ada,” paparnya, Sabtu [25/5/2024].
Mahfud kehilangan pekerjaan setelah rumah dan lahannya terendam lumpur. Kini, ia berjuang menafkahi keluarganya menjadi ojek online.
“Ada yang ngojek, sebagiannya menganggur.”
Hal yang sama dialami Harwati, warga Desa Siring yang kini tinggal di Desa Candipari, Kecamatan Porong, sekitar dua kilometer sebelah barat tanggul lumpur. Meski mendapat ganti rugi, tapi kehidupannya bersama keluarga tidak lagi sama.
“Tidak hanya telah kehilangan rumah, lapangan pekerjaan juga ikut tenggelam bersama lumpur.”
Harwati menuturkan, tingginya kebutuhan hidup, biaya pendidikan dan kesehatan yang tidak sedikit, menjadi kesulitan warga korban lumpur yang saat ini sudah tersebar ke berbagai tempat.
“Sekarang sudah tersebar, sulit dideteksi kondisinya. Setahu saya, kehidupan warga di tempat baru belum tentu baik. Banyak yang tidak bekerja, atau pekerjaannya serabutan,” ujarnya.
Dampak lumpur pada lingkungan dan kesehatan warga
Semburan lumpur Lapindo sejak 29 Mei 2006 itu, tidak hanya menyisakan persoalan sosial tetapi juga masalah lingkungan yang harus diselesaikan.
Masyarakat hampir setiap hari mencium bau tidak sedap beraroma lumpur. Hanya saja, waktunya bergantung hembusan arah angin.
“Kadang pagi hari, bisa juga malam. Pernah baunya sangat menyengat, seperti amonia,” lanjut Mahfud,
Dari rumahnya, Harwati juga masih dapat mencium aroma semburan lumpur, pada waktu tertentu.
“Baunya tidak bisa dicegah. Kami hanya bisa makai masker. Kalau terakumulasi cukup lama, dampaknya pasti ke kesehatan warga,” jelasnya.
Selain udara, masyarakat juga khawatir bila air tanah atau air sumur, serta air permukaan seperti sungai dan irigasi, tercemar akibat lumpur Lapindo.
Secara rutin, mereka bersama sejumlah pegiat lingkungan melakukan pemantauan kualitas air dan udara. Untuk kualitas air digunakan metode biotilik, sementara pengukuran kualitas udara menggunakan eco checker lempengan logam dan alat ukur Gastec.
Pengukuran kualitas air terbaru dilakukan Sabtu [25/5/2024], di tiga titik sungai irigasi, yaitu pintu air Desa Mindi, pintu air Besuki, dan pintu air Buaran di Desa Kebo Guyang, Kecamatan Jabon.
Berdasarkan sampel, hasil sementara menunjukkan, ditemukan lebih banyak biota air sungai yang biasa berada di air tercemar. Sedangkan hasil uji terbaru kualitas air sumur di tiga titik, yaitu Gempolsari, Glagaharum, serta Mindi, belum diumumkan hasilnya.
“Biota air yang termasuk itu hanya bisa ditemukan di hulu, hampir tidak ada di hilir,” kata Eko Widodo, warga yang juga menjadi tim pemantau kualitas air dan udara di Porong.
Koordinator Pos Koordinasi untuk Keselamatan Korban Lumpur Lapindo [Posko KKLuLa], Bambang Catur Nusantara, menyatakan bencana Lapindo belum selesai pasca-pembayaran ganti rugi.
Menurut dia, dampak nyata lumpur Lapindo dapat dilihat dari udara yang dihirup dan air yang digunakan masyarakat. Kebanyakan, warga mengeluh gangguan pernapasan dan mual-mual.
“Kami menggunakan elemen logam perak, perunggu, dan veronikel, untuk mengukur korosi udara yang terjadi.”
Hasil pengecekan kualitas udara 2016 dan 2018, dengan melihat indikator sulfur, hidrogen sulfida, dan klorin, menunjukkan kualitas udara di seputaran Porong berada di atas batas normal. Pengukuran berikutnya, dilakukan pada 27 Mei 2024.
“Kami khawatir, kawasan Candipari yang cukup jauh dari tanggul juga terpengaruh kualitas udaranya,” ujarnya, Sabtu [25/5/2024].
Penelitian Walhi Jawa Timur sebelumnya, menyebutkan adanya temuan timbal [Pb] dan kadmium [Cd] melebihi baku mutu yang merata di 20 titik lokasi sampling, baik pada lumpur, sedimen sungai, maupun air.
Catatan Walhi Jawa Timur bersama Posko KKLuLa menyebut, telah terjadi kenaikan jumlah penderita ISPA hingga 63.000 orang pada 2010, padahal tahun 2005 jumlah penderita hanya 23.000 orang. Kondisi ini diperparah dengan minimnya jaminan kesehatan yang dimiliki warga, bahkan tidak sedikit warga yang tidak mendapatkan hak kependudukannya karena tidak tercatat di mana pun.
“Dampak lumpur panas Lapindo memang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Ditemukan angka kenaikan cukup signifikan, meningkat sekitar 50-60 persen pada warga di sekitar area terdampak,” kata Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Selasa [28/5/2024].
Angka ini kata Wahyu, menunjukkan bencana lumpur Lapindo berdampak panjang. Selain ISPA, diduga akan muncul penyakit lain, akibat tingginya kandungan logam berat pada air sumur yang digunakan warga .
“Belum nampak sekarang, tapi bisa dilihat dalam beberapa tahun ke depan, dan ini nyata,” jelasnya.
Harwati berharap, pkondisi ini disikapi secara serius pemerintah dan pihak terkait agar warga tidak merasa diabaikan menghadapi dampak lumpur Lapindo.
“Sekarang ini warga berjuang sendiri menjaga kesehatan, mendapatkan air bersih, maupun memperjuangkan ekonomi,” tegasnya.
Multidimensi Daya Rusak Tambang, Bercermin dari Kasus Lumpur Lapindo