- Beberapa bulan sebelum masa kepemimpinan berakhir, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken aturan baru soal ormas keagamaan bisa dapat prioritas izin tambang. Berbagai kalangan pun mengingatkan pemerintah sisi rawan dari aturan ini.
- Alasan pemerintah, jalur khusus ormas guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jangka waktu penawaran selama lima tahun sejak peraturan itu berlaku.
- Eko Cahyono, sosiolog dari IPB University juga peneliti Sajogyo Institute menduga, peraturan ini untuk menepati janji politik Jokowi, terutama saat mendukung pasangan Prabowo Subianto- Gibran Raka Buming Raka, pada pemilu lalu. Ormas keagamaan merupakan mitra strategis politik jadi apabila dapat merangkul mereka, pemerintah bisa mengontrol atau menaklukkan masyarakat sipil.
- Ruth Indiah Rahayu, peneliti Indoprogres Institute for Social Research and Education (IISRE) bilang, kalau sudah terjun ke industri tambang, target adalah bisnis, bukan perawatan, penyelamatan alam maupun masyarakat. Hampir semua tambang berada di hutan dan gunung yang menjadi sumber penghidupan masyarakat. Ketika ada tambang di areal produksi, masyarakat pun terusir. Mereka pun kehilangan pekerjaan, lahan tani tergusur untuk pertambangan.
Beberapa bulan sebelum masa kepemimpinan berakhir, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken aturan baru soal ormas keagamaan bisa dapat prioritas izin tambang. Berbagai kalangan pun mengingatkan pemerintah sisi rawan dari aturan ini.
Aturan Nomor 25/2024 ini merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96/2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba) ini resmi berlaku sejak ditandatangani Jokowi 30 Mei lalu.
Pada beleid itu disebutkan khusus soal izin tambang untuk organisasi masyarakat (ormas) keagamaan di Pasal 83A. Bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dapat dilakukan penawaran prioritas kepada badan usaha milik Ormas Keagamaan.
Alasan pemerintah, jalur khusus ormas guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jangka waktu penawaran selama lima tahun sejak peraturan itu berlaku.
“IUPK dan,atau kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan pada badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dapat dipindahtangankan dan,atau dialihkan tanpa persetujuan menteri,” tulis ayat 3 dalam peraturan itu.
Pemerintah juga menyiapkan lahan untuk WIUPK yakni, bekas wilayah perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). PKP2B, merupakan kontrak karya pertambangan batubara yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dengan kontraktor swasta dalam maupun luar negeri.
Sedangkan, dalam lembar penjelasan Pasal 83A menyebutkan, penawaran WIUPK prioritas guna memberikan kesempatan sama dan berkeadilan dalam pengelolaan kekayaan alam.
“Yang dimaksud dengan organisasi kemasyarakatan keagamaan adalah organisasi kemasyarakatan keagamaan yang salah satu organnya menjalankan kegiatan ekonomi serta bertujuan pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat/ umat,” tulis dalam lembar penjelasan.
Ingatkan ormas keagamaan
Kritikan pun datang dari berbagai kalangan kepada pemerintah dan mengingatkan ormas keagamaan agar berhati-hati terhadap pemberian ‘prioritas’ ini. Eko Cahyono, sosiolog dari IPB University juga peneliti Sajogyo Institute menduga, peraturan ini untuk menepati janji politik Jokowi, terutama saat mendukung pasangan Prabowo Subianto- Gibran Raka Buming Raka, pada pemilu lalu.
Menurut dia, ormas keagamaan merupakan mitra strategis politik jadi apabila dapat merangkul mereka, pemerintah bisa mengontrol atau menaklukkan masyarakat sipil. Terlebih, katanya, yang memang aktif dalam mengkritik kebijakan pemerintah.
Kondisi ini, katanya, akan membahayakan iklim demokrasi. Dia berharap, ormas keagamaan tak terjebak iming-iming pemerintah dan menolak itu.
“Kalau ormas keagamaan bisa ditaklukkan, itu ancaman bagi demokrasi kita,” ucapnya kepada Mongabay.
Seharusnya, pimpinan ormas dapat berpikir jernih soal peraturan ini, bukan justru menyambut dengan baik. Sebab, selama ini praktik tambang merupakan sektor penyebab pecahnya konflik agraria. Belum lagi, karateristik yang merusak alam dan mensengsarakan masyarakat sekitar tambang.
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2023, tambang menyebabkan 32 letusan konflik agraria di 127.525 hektar lahan dengan 48.622 keluarga dari 57 desa terdampak tambang.
“Kalau orientasinya cuma cari untung, gak ada bedanya mereka dengan perusahaan perusak alam. Mengelola tambang yang kena umatnya sendiri,” katanya.
Eko pun menegaskan, tak ada jaminan kalau pengelolaan tambang dipegang ormas bisa lebih baik. Selama ini, watak pertambangan tak pernah berpihak pada rakyat.
Padahal, dalam standar norma peraturan HAM terdapat kewajiban negara dan korporasi yang harus dipenuhi masyarakat. Eko bilang, korporasi dan negara harus memenuhi hak masyarakat antara lain, hak untuk mendapatkan pekerjaan cukup, hak terhadap lingkungan sehat, dan hak keadilan antar generasi.
Menurut dia, korporasi dan negara sulit memenuhi hak keadilan antar generasi. Sebab, korporasi dan negara harus bisa memastikan kelestarian alam agar bisa dinikmati masyarakat dari generasi ke generasi selanjutnya.
“Itu prinsip HAM yang harus dipatuhi, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik, hak mendapatkan tanah, hak hidup, juga harus dihormati juga.”
“Banyak yang tidak, justru sebaliknya, masyarakat dimarginalisasi atau dikeluarkan dari ruang hidupnya.”
Eko lantas katakan, hasil riset di Maluku Utara, aliran keuntungan tambang justru melingkar di segelintir oligarki tak ada kesejahteraan untuk masyarakat terdampak.
“Potret ini bertambah buruk lagi sulitnya menemukan jenis pertambangan yang menghormati prinsip keadilan sosial ekologis dan HAM,” katanya.
Faktanya, hampir di semua wilayah tambang berlumuran dengan kasus agraria, perampasan ruang hidup masyarakat dan kerusakan ekosistem. Kondisi itu, katanya, belum termasuk praktik korupsi izin pertambangan.
Dalam praktik perizinan pun, korporasi tambang kerap menggunakan cara kotor. Korporasi memanipulasi persetujuan masyarakat sekitar untuk menerbitkan izin usaha pertambangan (IUP) hingga mereka bisa beroperasi, tanpa ada persetujuan masyarakat. Warga menolak dan konflik agraria pun pecah.
“Izin yang seharusnya menghormati masyarakat di sekitar dan alam itu dilakukan secara manipulasi. Ketika itu dilakukan secara manipulatif status tambang memang legal, tapi tidak legitimate. Praktiknya itu legal tapi tidak legitimate, tidak disetujui masyarakat.”
Dia mencontohkan, kasus korupsi izin tambang di Bangka Belitung, yang merugikan negara mencapai Rp300 triliun. Dalam kasus itu Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan 22 tersangka mulai dari swasta hingga pemerintahan.
“Tiba-tiba kita diberi satu kabar untuk ormas keagamaan, pertanyaan besarnya, ya ini apa di balik ini semua?,” katanya.
Dari sisi politik hukum, ada upaya mengimbangi citra petambangan yang selama ini buruk jadi lebih baik. Dia menilai, pemerintah juga hendak bersikap adil dengan ormas keagamaan yang mereka nilai sebagai pengabdi korporasi dengan mengobral izin tambang kepada perusahaan. Namun, katanya, itu tak akan mengubah citra pertambangan.
“Justru dalam riset kami gak ada bedanya dengan pertambangan yang brutal, yang menggusur hak rakyat, mencemarkan lingkungan, dan merampas ruang hidup rakyat, tanah-tanah masyarakat dan merusak hutan laut dan sungai,” katanya.
Dalam sudut pandang sosiologis, kata Eko, masyarakat pedesaan lebih religius, berarti pertahanan moral terakhir mereka adalah agama. Masyarakat pun gusar tatkala sosok yang mesti jadi benteng moral mereka justru jadi bagian dari penyebab kerusakan alam.
“Bayangkan bagaimana rusaknya kelembagaan moral ini ketika dia bagian dari rezim yang disebut sebagai rezim keruk yang bagian dari perusak sistem keadilan sosial ekologis tadi?”
Secara politik hukum, katanya, pemberian izin-izin ini bagian dari upaya penaklukan kelompok lembaga keagamaan.
Dia memprediksi, dalam praktik nanti ormas keagamaan akan menggandeng perusahaan yang memang bergerak di bidang tambang. Yang menjadi masalah selama ini tidak ada perusahaan tambang yang mengedepankan keadilan sosial ekologis dan HAM. Hal ini pun berbanding terbalik dengan alasan pemerintah memberikan IUPK kepada ormas keagamaan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Topengnya sekarang ormas keagamaan. Diduga akan ada lingkaran setan lama yang berwajah baru, lingkaran oligarki lama, tapi wajah baru. Kalau tetap merusak lingkungan malah akan lebih malu. Karena sudah menggunakan nama agama tapi merusak lingkungan.”
Dalam risetnya yang bertema wajah ganda agama memperlihatkan, terdapat dua sisi citra keagamaan. Satu sisi ada kelompok keagamaan yang menolak proyek-proyek perusak kelestarian lingkungan. Sisi lain, justru ada kelompok keagamaan yang mendukung proyek-proyek itu.
Praktik holly grabbing atau penguasaan tanah skala luas untuk tujuan ekspansi dan akumulasi modal yang merusak prinsip ekologis namun dijustifikasi dengan tujuan-tujuan suci. Kemudian, green atau bentuk perampasan tanah, perusakan ekologis dan ruang hidup rakyat atas nama isu-isu lingkungan dan konservasi.
“Sangat mungkin justru wajah pertambangan yang keruk eksploitatif, merugikan masyarakat justru khawatir dilebeli agama, karena seolah wajah jadi suci. Kalau dia gak punya orientasi baik dari prinsip ekologis dan HAM, justru berubah jadi holly grabbing.”
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional menuturkan, pemerintah secara otoriter mengubah peraturan. Menurut dia, dalam peraturan turunan– peraturan pemerintah Nomor 96/2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara– tak menyebutkan soal IUPK untuk ormas keagamaan.
Yang ada justru, PKP2B atau perjanjian antara pemerintah dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk berkegiatan usaha pertambangan batubara. Dalam peraturan turunan itu, disebut IUP diberikan oleh menteri berdasarkan permohonan oleh badan usaha, koperasi dan perusahaan perseorangan.
“Lagi-lagi semacam presiden itu mempertontonkan arogansi kekuasaan dengan merevisi peraturan pemerintah.”
Gugat aturan
Jamil bilang, penting menggugat Peraturan Pemerintah Nomor 25/2024 itu di Mahkamah Agung. Menurut dia, belum ada kepastian hukum juga dalam peraturan ini. Jatam, katanya, siap membawa peraturan ini ke meja hijau.
“Tentu kami berdasarkan mandat rakyat, masyarakat korban.”
Jamil menyampaikan kepada para ormas keagamaan calon penerima IUPK bahwa pengelolaan tambang selama ini bermasalah. Mulai dari izin sarat korupsi, sampai praktik melanggar HAM dan merusak lingkungan.
Korban tambang, katanya, justru paling banyak masyarakat bagian dari ormas keagamaan itu sendiri. Dia contohkan, 47 korban meninggal di lubang tambang di Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan masyarakat Nahdatul Ulama (NU).
“Fakta itu kan menjadi penting, kemudian seharusnya yang dilakukan menuntut pertanggungjawaban, meminta keadilan para korban bukan malah diberikan izin tambang,” katanya.
Selama ini, masyarakat sekitar tambang sudah menderita dan miskin. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah memoratorium penerbitan izin tambang. Karakteristik tambang, katanya, tidak akan berubah meskipun dipegang ormas.
Pengoperasian tambang, katanya, juga kerap menggunakan cara-cara kekerasan hingga mengkriminalisasi masyarakat. Masyarakat pun terusir dari rumahnya.
“Ketika beroperasi sudah dapat dipastikan tambang akan menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.”
Ruth Indiah Rahayu, peneliti Indoprogres Institute for Social Research and Education (IISRE) memandang peraturan ini mungkin dinilai bisa untuk pemerataan. Jadi, semua ormas keagamaan bisa memperoleh izin tambang, bukan korporasi saja.
“Supaya gak menjadi mafia, supaya tertib pengendalian dan nanti ada urusan pajak, menurut saya lebih pada pengendalian,” katanya.
Sisi lain, ada kejanggalan ketika Jokowi meresmikan peraturan di akhir masa jabatan.
“Karena kenapa ormas keagamaan? Kenapa enggak semua masyarakat sepanjang punya badan usaha boleh? Kenapa langsung ormas dan pasca pemilu? Jangan-jangan ini termasuk bagi-bagi kue,” katanya.
Senada dengan Eko, dia nilai tak bisa menjamin kalau ormas keagamaan bisa mengubah citra tambang untuk kesejahteraan. Apalagi, katanya, selama ini belum ada ormas keagamaan yang secara eksplisit berjuang untuk penyelamatan masyarakat dan ekologi. Kalaupun ada, hanya normatif saja. Selama ini, seruan teologinya tak terlihat.
Kalau sudah terjun ke industri tambang, katanya, target adalah bisnis, bukan perawatan, penyelamatan alam maupun masyarakat. Pemberian dana sosial pun tak cukup untuk mengembalikan alam dan kesejahteraan masyarakat seperti semula.
Ruth bilang, hampir semua tambang berada di hutan dan gunung yang menjadi sumber penghidupan masyarakat. Secara komunal, masyarakat mengandalkan hutan atau gunung untuk pemenuhan produksi.
Ketika ada tambang di areal produksi, masyarakat pun terusir. Mereka pun kehilangan pekerjaan, lahan tani tergusur untuk pertambangan. Mereka tak lagi bisa menjalankan roda perekonomian dan memenuhi kebutuhan sandang pangan karena lahan tak bisa terakses.
Para perempuan yang selama ini bertugas memenuhi sandang pangan, misal, lewat hutan tak bisa lagi karena lahann sudah jadi area pertambangan.
“Perempuan yang tadinya bisa mengakses pangan dari sumber yang ada kemudian diambil alih industri. Kehilangan akses atas pangan, untuk pemenuhan kebutuhan hidup,” katanya.
Kondisi ini, katanya, membuat perempuan mengandalkan uang ekstra untuk membeli kebutuhan rumah tangga, sandang pangan di pasar. Mereka juga bekerja untuk mendapatkan uang memenuhi kebutuhan rumah tangga.
“Belum lagi air menjadi susah karena sumber di dalam areal tambang, ekosistem hancur, gak hanya ekosistem, yang jadi ranah reproduksi sudah jadi teritorial kapital. Maka mereka terpinggirkan.”
Media Wahyudi, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengatakan, kebijakan Jokowi sulit diterima akal sehat. Tanpa perlu analisis mendalam masyarakat sudah memahami kalau peraturan itu merupakan kepentingan balas budi.
Wahyu bilang, kebijakan IUPK untuk ormas keagamaan hanya terjadi di Indonesia. Berbagai negara, izin kelola tambang kepada badan usaha, baik milik negara maupun swasta.
“Beda dengan dua model ini kebijakan bagi-bagi konsesi tambang untuk ormas keagamaan, mungkin bisa dibilang model ketiga ya, tidak pernah terjadi di negara manapun,” katanya.
Kebijakan ini, katanya, justru akan merusak finansial, struktur pasangan hingga memukul kepercayaan investor.
“Kemudian menghilangkan pendapatan negara, secara finansial praktik ini sama saja dengan praktik di zaman orde baru, negara mengontrol sumber daya alam lewat tangan-tangannya dalam hal ini ormas keagamaan untuk memelihara kekuasaan,” katanya.
Dia memprediksi, ormas keagamaan dalam proyek tambang ini hanya sebagai perisai oknum-oknum politisi yang bermain di bidang industri ekstraktif itu. Selain itu, ormas keagamaan akan menggandeng perusahaan lain untuk mengelola tambang.
“Karena aktor di balik ormas keagamaan adalah politisi yang barmaiin politik praktis. Catatan saya, ormas tidak punya kapasitas, tidak punya kapasitas tapi ada broker tambang yang selama ini keluar masuk.”
Broker itu, kata Wahyudi, terafiliasi dengan partai politik (parpol) dan pengusaha. Jadi, ketika itu dikelola melalui broker justru negara akan dirugikan.
“Maka yang paling dirugikan adalah negara, karena kekayaan tambang yang harusnya dikelola maksimal, itu hilang begitu saja,” katanya.
Dia juga khawatir ormas keagamaan akan ugal-ugalan dalam pengelolaan tambah karena kebijakan Jokowi bak memberikan karpet merah. Dengan begitu, katanya, akan ada risiko melebarkan masalah konflik dari tambang. Masyarakat tidak hanya berhadapan dengan korporasi, juga ormas keagamaan.
“Kebayang gak, misal, masyarakat demo itu adalah perusahaan yang dimiliki organisasi sebesar NU dan Muhammadiyah, misal, maka ini mengerikan sekali. Justru yang terjadi adalah konflik horizontal sesama masyarakat,” katanya.
Kebijakan itu, kata Wahyu, seperti praktik neokorporatisme. Di mana, oligarki, pengusaha melakukan intrik-intrik politik untuk memuluskan proyek. Mereka pun berlindung di balik intrik, dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 25/2024.
“Yang menjadi korban atau berkonflik adalah masyarakat.”
********