- Mencari formula yang pas untuk menerapkan prinsip ekonomi biru pada wilayah pesisir dan laut Indonesia bukan tugas mudah. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi dan melewatinya untuk mencapai tujuan akhir
- Ekonomi biru adalah kegiatan ekonomi yang memadukan prinsip ekologi dan ekonomi sekaligus. Setiap kegiatan dan program kerja yang berkaitan dengan ekonomi biru, maka harus ada keseimbangan antara menjaga kelestarian ekosistem di laut dan pesisir dengan kegiatan ekonomi
- Di antara upaya untuk bisa mengakomodir kegiatan ekonomi biru, adalah Blue Intelligence Resource Unit atau BIRU yang merupakan bentuk kolaborasi tanpa melibatkan Pemerintah Indonesia secara langsung
- Platform BIRRU menjadi tumpuan untuk ekonomi biru di masa mendatang, karena akan menjadi pusat kegiatan untuk mendukung upaya konservasi dan juga mendukung semua bentuk pembangunan ekonomi hijau. Tidak hanya di Indonesia, namun Asia Pasifik
Pembangunan ekonomi biru masih menjadi fokus yang sedang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia pada sektor kemaritiman dan kelautan. Prinsip ekonomi biru dijalankan, karena fokusnya ingin mempertahankan kelestarian alam, namun tidak mengurangi pengembangan ekonomi.
Salah satu bentuk yang dipilih, adalah melaksanakan pembangunan yang berdampingan dengan program konservasi di wilayah perairan laut dan pesisir Indonesia, sehingga bisa menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan ekologi secara bersamaan.
Mengingat konsep tersebut tidak mudah untuk dijalankan, Pemerintah menggandeng banyak pihak dalam melaksanakan pembangunan. Selain itu, ada juga lembaga non profit yang berinisiatif untuk membuat inovasi dalam mendukung pembangunan ekonomi biru.
Contoh itu diperlihatkan dua lembaga non profit, Konservasi Indonesia (KI) dan Conservation International (CI) yang membentuk kolaborasi Blue Intelligence Resource Unit atau BIRU bersama Kura Kura Bali dan MAPCLUB.
BIRU akan menjadi pusat kegiatan (hub) untuk mendukung upaya konservasi tidak hanya di Indonesia saja, namun juga di kawasan Asia Pasifik. Tak hanya ekonomi biru yang didukung BIRU, namun juga pembangunan ekonomi hijau mendapat dukungan penuh.
Senior Vice President and Executive Chair Konservasi Indonesia Meizani Irmadhiany mengatakan kalau BIRU akan menjadi inisiator sekaligus promotor program konservasi yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia pada bidang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
“Serta mendukung pelaksanaan inisiatif-inisiatif konservasi keanekaragaman hayati,” terangnya saat meluncurkan BIRU di sela pertemuan tingkat dunia Water World Forum 2024 di Bali.
Baca : Meluruskan Kembali Konsep Ekonomi Biru di Indonesia
Kelak, BIRU diharapkan bisa menjadi pusat promosi program konservasi yang sedang berjalan, ataupun yang akan datang. Sebagai hub, BIRRU akan fokus untuk terus mendukung pelestarian ekosistem Indonesia secara khusus, dan Asia Pasifik secara lebih luas.
Menurutnya, program konservasi yang mendapat dukungan, tentu saja yang diusung oleh Pemerintah Indonesia dan didukung oleh KI secara langsung seperti Blue Halo S, atau kegiatan konservasi terumbu karang dan keanekaragaman hayati yang selama ini menjadi program utama KI.
Itu semua, diyakini akan bisa mendukung rencana pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Melalui BIRRU, kolaborasi diharapkan bisa semakin meluas dengan banyak pihak, seperti sektor swasta, lembaga non profit, akademisi, hingga komunitas.
“Nantinya mampu memberi kontribusi lebih besar lagi pada target pemerintah di sektor ekonomi biru dan hijau,” ungkapnya.
Sebagai hub, BIRU juga diharapkan bisa menjadi awal dari banyak kolaborasi di masa depan bersama multipihak, yang bisa menghubungkan konsumen dengan melaksanakan konservasi melalui pendanaan yang inovatif.
Tujuan akhirnya, BIRU diharapkan bisa ikut mendorong peningkatan level perekonomian yang positif dan sejalan dengan alam. Juga, BIRRU akan menjadi platform untuk melaksanakan konservasi melalui pertukaran pengetahuan, serta peningkatan kapasitas dan pembelajaran.
“Kami mengundang sektor swasta lainnya untuk bergabung dalam misi kami ini,” ajaknya.
Baca juga : Membumikan Ekonomi Biru di Asia Tenggara
Senior Vice President Asia Pacific Field Division Conservation International Richard Jeo pada momen yang sama menyatakan apresiasinya terhadap Indonesia yang berani berkomitmen untuk memajukan program ekonomi biru dan hijau secara bersamaan.
Perihal peran dan fungsi sebagai hub konservasi, dia berharap BIRU bisa menjadi penghubung setiap program yang dijalankan oleh pemerintah dan didukung KI, serta program yang didukung CI di kawasan Asia Pasifik. Dukungan tersebut dilakukan dengan berpijak pada sains sebagai dasar penelitian.
Selain menjadi hub, BIRU juga diharapkan bisa memfasilitasi pembelajaran yang terjadi di luar negeri, membawa pembelajaran dari Indonesia ke luar negeri, dan mengimpor wawasan berharga dari negara lain di Asia Pasifik ke Indonesia.
“Pekerjaan kami di bidang sains sangat penting dalam mendorong inisiatif ini, menyediakan data dan wawasan dari lapangan untuk memandu strategi konservasi yang efektif,” jelasnya.
Sementara, Presiden Direktur Kura Kura Bali Tuti Hadiputranto dan Southeast Asia CEO & President Director of Gtech MAPCLUB Michel Hamilton kompak mengatakan bahwa BIRU akan menjadi pemicu untuk membuat program kerja yang bermanfaat pada konservasi.
Kura Kura Bali adalah kawasan ekonomi khusus (KEK) yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia pada April 2023. KEK seluas 498 hektare itu bertekad ingin berkontribusi dalam industri pariwisata Bali melalui program yang bisa menjaga keseimbangan hubungan antara manusia, alam, dan spiritualitas.
Mesin Pertumbuhan Ekonomi
Melaksanakan pembangunan ekonomi biru, menjadi pertimbangan pemerintah, karena Indonesia memiliki potensi sangat besar pada sektor kemaritiman dan kelautan. Bahkan Indonesia menjadi negara dengan 17.508 pulau dan pemilik garis pantai terpanjang kedua di dunia.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (PPN/Bappenas) meyakini, ekonomi biru yang berasal dari pesisir dan laut akan bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebutkan, dalam peta jalan ekonomi biru, Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan kontribusi sektor maritim terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia dari 7,9 persen di 2022 menjadi 15 persen di 2045.
Kemudian, Indonesia berkomitmen untuk terus berupaya mengembangkan teknologi transformatif dan praktik berkelanjutan agar bisa memastikan manfaat ekonomi biru akan terus dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Baca juga : Membumikan Ekonomi Biru di Tengah Ancaman Perubahan Iklim
Tetapi, dia mengatakan bahwa ada tantangan berat yang harus dihadapi oleh komunitas di pesisir saat berkontribusi pada ekonomi biru. Hal itu, karena pesisir menghadapi kerentanan yang lebih tinggi terhadap dampak perubahan iklim.
“Termasuk naiknya permukaan air laut, yang memperkuat urgensi untuk solusi inovatif,” jelasnya.
Suharso berharap semakin banyak pihak yang bisa memahami konsep dan potensi ekonomi biru di Indonesia bisa memajukan kemakmuran. Semua itu bisa dicapai jika dilakukan dengan mengedepankan inovasi pada setiap program pembangunan.
Manfaat Ekonomi Biru
Dia menjabarkan, ada tiga aspek utama yang menjadi tujuan ekonomi biru, yaitu tata kelola nasional dan global, pemahaman dan kesepakatan multipihak, serta investasi pemerintah dan swasta. Ketiganya optimis bisa dicapai dengan komitmen dan kerja sama semua pihak.
“Saya yakin kita dapat mewujudkan ekonomi biru berkelanjutan yang memberikan manfaat signifikan bagi pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat kita,” ucapnya.
Suharso sendiri mengakui kalau wilayah perairan Indonesia menjadi wilayah sangat strategis untuk lalu lintas perairan internasional melalui tiga jalur alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Ketiga jalur tersebut diyakini bisa menyumbang potensi ekonomi berbasis perairan atau ekonomi biru.
Dia optimis, ekonomi biru bisa memberikan proyeksi nilai tambah senilai USD30 triliun pada 2030. Potensi itu berasal perairan Laut Natuna, Selat Malaka, Teluk Cendrawasih, Selat Capalulu, dan sejumlah lokasi lain. Selain itu, lokasi-lokasi tersebut berpotensi untuk perlindungan habitat dan biodiversitas.
Selain itu, ekonomi biru akan berkontribusi pada penurunan gas rumah kaca (GRK) hingga 20 persen, menciptakan sekitar 12 juta lapangan kerja pada 2030 mendatang, dan keuntungan investasi laut berkelanjutan yang mencapai USD15,5 triliun.
Baca juga : Strategi untuk Kembangkan Ekonomi Biru di Nusantara
Tantangan Ekonomi Biru
Tetapi, dia pun mengakui kalau penerapan ekonomi biru pada semua aspek akan menghadapi sejumlah tantangan. Oleh karena itu, agar pengembangan ekonomi biru bisa berkelanjutan dan inklusif, pihaknya menyusun Indonesia Blue Economy Roadmap Edisi II.
Ada empat pilar yang menjadi bagian dari peta jalan, yaitu mengamankan laut yang sehat, tangguh, dan produktif; meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan secara lingkungan; meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan kemakmuran bersama; dan menciptakan lingkungan yang mendukung secara keseluruhan.
Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti menambahkan, membuat inovasi saat menjalankan praktik ekonomi biru menjadi tantangan yang harus bisa dihadapi. Pasalnya, inovasi diyakini akan bisa mendorong kemakmuran bersama meningkat lebih cepat.
Dia memaparkan kalau inovasi yang bisa dibuat adalah mencari solusi pada bidang perikanan, akuakultur, dan pariwisata laut. Hasilnya, akan dimanfaatkan untuk meningkatkan mata pencaharian, melindungi keanekaragaman hayati, dan mengurangi dampak perubahan iklim.
“Ini merupakan komitmen Indonesia untuk memajukan pembangunan ekonomi inklusif,” terangnya.
Program ekonomi biru yang dipimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dilaksanakan untuk menyeimbangkan kegiatan ekonomi dan konservasi ekologi secara bersamaan. Kegiatan tersebut juga bisa mendukung program tata kelola perairan berkelanjutan di Indonesia.
Kesenjangan Pendanaan
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, sebagai salah satu negara kepulauan dan pemilik garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia merasa wajib untuk ikut berkontribusi pada pembangunan kelautan yang berkelanjutan.
Tetapi, melaksanakan pembangunan dengan prinsip ekonomi biru juga dinilai tidak mudah untuk bisa dilaksanakan. Salah satu kendalanya, adalah kesenjangan pendanaan pada praktik tersebut yang menghambat ekonomi biru bisa mencapai SDGs 14 yaitu tentang sektor kelautan.
Saat berbicara pada forum World Water Forum (WWF) 2024 di Bali, dia mengingatkan semua negara yang hadir bahwa salah satu mengatasi kesenjangan pendanaan adalah saling meningkatkan kepedulian satu dengan yang lain. Tujuannya, agar SDGs 14 bisa dicapai, khususnya oleh negara berkembang, dan negara kepulauan.
Merujuk pada hasil penelitian United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), untuk bisa mencapai SDGs 14 diperlukan setidaknya pendanaan ideal senilai USD175 miliar per tahun. Tetapi, faktanya bahwa pendanaan untuk SDGs 14 di seluruh dunia pada periode 2013-2018 hanya sebesar USD2,9 miliar per tahun.
Agar kesenjangan pendanaan tidak semakin melebar, maka skema pendanaan Global Blended Finance Alliance (GBFA) bisa menjadi solusi untuk menjembatani negara-negara yang memerlukan pendanaan meningkatkan aksi perubahan iklim dan pencapaian target SDGs 14.
Baca juga : Membumikan Prinsip Ekonomi Biru di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil
Program Ekonomi Biru
Bagi Indonesia, GBFA dinilai akan bermanfaat, karena ada lima program ekonomi biru untuk pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan yang saat ini sedang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia.
Lima program tersebut berkaitan erat dengan tata kelola sumber daya perairan di darat dan laut yang berkelanjutan. Tegasnya, Pemerintah ingin memastikan keberlanjutan ekosistem perairan, ketersedian pangan melalui produk kelautan dan perikanan, serta mewujudkan pemerataan pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir.
Saat ekosistem perairan dalam kondisi sehat, itu akan bisa berkontribusi untuk menahan laju perubahan iklim yang menjadi persoalan global saat ini. Untuk itu, Indonesia sangat terbuka terhadap multi pemangku kepentingaa yang ingin berkolaborasi dan bersinergi.
“Baik terkait dengan kebijakan, sumber daya manusia, data dan teknologi, pendanaan, serta memperkuat jaringan pasar dan pelaku usaha,” jelasnya.
Adapun, lima program ekonomi biru yang dimaksud, adalah perluasan kawasan konservasi laut; penangkapan ikan terukur berbasis kuota; pengembangan budidaya berkelanjutan di laut, pesisir, dan darat; pengendalian dan pengawasan pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; serta aksi pembersihan sampah plastik di laut melalui gerakan partisipasi nelayan.
Diketahui, GBFA adalah organisasi internasional yang dipelopori oleh negara berkembang, termasuk Indonesia yang merupakan representasi Asia pada sistem Bretton Woods bagi komunitas global. Tujuannya, untuk mendukung percepatan investasi dalam aksi iklim dan SDGs.
Sebelumnya, Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) juga meyakini kalau penerapan ekonomi biru akan mendorong Indonesia untuk menjadi negara kepulauan maju di masa mendatang.
FAO yakin, penerapan program ekonomi biru dalam pengelolaan sektor kelautan dan perikanan Indonesia sudah sangat tepat untuk ekologi, ketahanan pangan, dan pertumbuhan ekonomi negara di masa depan.
Namun, walau diyakini akan membawa Indonesia lebih baik lagi sebagai negara kepulauan, Kepala Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste Rajendra Aryal menyebut bahwa pelaksanannya akan menghadapi banyak tantangan, karena konsep ekonomi biru masih tergolong baru di Indonesia.
“Ada beberapa kolaborasi yang telah dilakukan dengan Indonesia di bidang perikanan tangkap dan budi daya darat. Beberapa good practice pun telah dilakukan dengan baik,” ujarnya. (***)