Generasi Z adalah generasi dengan beban berat. Mereka bukan hanya menghadapi persoalan mental, kesetaraan, kesenjangan sosial dan ekonomi, tapi juga masalah lingkungan hidup.
Gen Z adalah generasi muda saat ini, yang dilahirkan periode 1997 hingga 2012. Gen Z menggantikan generasi Milenial. Generasi ini tumbuh bersamaan dengan perkembangan teknologi digital, sehingga mereka sering disebut “digital native”.
Setiap generasi memiliki masalahnya. Termasuk pula Gen Z.
Terkait lingkungan hidup, sebagian besar Gen Z di Indonesia hidupnya dipenuhi arsip-arsip bencana seperti kekeringan, banjir, kabut asap, longsor, yang menyebabkan krisis pangan, kehilangan rumah dan kebun, serta serangan penyakit dan virus mematikan.
Juga, arsip-arsip bencana yang hampir setiap tahun terjadi dikarenakan perubahan iklim global dan kerusakan bentang alam.
Bencana kekeringan yang menyebabkan bencana kabut asap dan krisis air, bukan hanya dirasakan Gen Z di pedalaman [dusun], namun juga di perkotaan. Begitu pun bencana banjir yang hampir dirasakan setiap Gen Z di Indonesia.
Dari kondisi tersebut, salah satu kecemasan Gen Z adalah usia hidup mereka. Misalnya, mampukah mereka bertahan hidup hingga usia 50 tahun?

Mahesa Putra, penyair muda Palembang, mencemaskan hal tersebut.
Kecemasan Mahesa dituliskan dalam sebuah puisi berjudul “Aku di Tahun 2051”.
Aku berlari, menyusur hutan mati. Museum hutan tumbuh di belantara kota, tubuh perempuan tumbuh, fragmen hutan menjadi pertunjukan. Aku berlari, larinya aku.
Aku berlari meninggalkan jendela hutan pada kanvas yang terpajang di museum seni. Aku berlari bersama hutan; meninggalkan museum, galeri seni, meninggalkan gedung dewan kesenian, meninggalkan kota-kota basah dan kaca mengkilap.
Aku berlari, terus berlari, berlari. Perempuan terpajang dalam tudung saji, perempuan membeku pada panggung wangi. Aku berlari, perempuan tinggal. Aku berlari, perempuan membeku. Aku berlari, perempuan.
Bendera terbakar, aku berlari. Negara hilang, aku berlari. Hutan terbakar, aku berlari. Aku berlari mengasuh diriku, yang membiru dalam kehilangan-kehilangan.

Baginya, Saat Gen Z berusia 50 tahun yang dapat dilakukan adalah “berlari”. Meskipun tidak satu pun yang berhasil berlari dari lingkungan yang rusak. Gen Z membiru dalam berbagai kehilangan.
Dijelaskan Mahesa, Gen Z yang bertahan hidup hingga berusia 50 tahun sangatlah sulit. Sebab, perubahan iklim global tampaknya sulit ditekan atau dihentikan. Banyak manusia yang masih merusak Bumi [antropogenik] atas nama kesejahteraan dan pembangunan dengan terus merusak hutan, menggunakan energi kotor, memproduksi jutaan ton limbah dan sampah plastik, serta merusak lahan basah dan merusak laut.
Akibatnya krisis air, kelaparan, serta serangan penyakit dan virus seperti COVID-19 akan membuat sebagian besar Gen Z mati muda. Termasuk pula kemungkinan kematian generasi Z akibat perang dunia yang memperebutkan air dan pangan.
Bahkan, kemungkinan banyak perempuan Gen Z yang tidak memiliki anak dikarenakan kondisi kesehatan atau ketakutan tidak mampu merawat anak.
Kecemasan Mahesa itu juga tercermin dari The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2013, yang menyatakan pada 2050, Bumi mengalami kehangatan 0,8°C hingga 2,6°C. Sementara, permukaan air laut meningkat hingga 5-32 cm dibandingkan tahun 1990. Pada 2050, diperkirakan manusia akan sering menghadapi panas ekstrem dan banjir.

***
Dalam sejumlah pertemuan, banyak Gen Z di beberapa dusun yang terdampak aktivitas ekonomi ekstraktif, baik di Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, dan Kepulauan Bangka Belitung, menyatakan ingin “berlari” dari dusunnya.
Berlari memungkinkan mereka mendapatkan tempat tinggal baru yang membuat hidup lebih nyaman dan sejahtera. Umumnya, mereka ingin berlari ke kota.
Bagi mereka ketika hutan, kebun, sungai, rawa, bukit, di dusunya diambil atau dikuasai perusahaan menjadi lokasi pabrik, penambangan batubara, perkebunan sawit skala besar, penambangan timah, hutan tanaman industri [HTI], maka kehidupan di dusun sudah berakhir.
Mereka akhirnya memilih berlari dikarenakan tidak memiliki pengetahuan, kemampuan dan kuasa untuk mengatasi berbagai persoalan lingkungan hidup, seperti bencana banjir dan kekeringan.
Sementara, kota dengan berbagai fasilitas dan beragam pekerjaan diyakini mampu menyelamatkan hidup mereka. Kota membuat mereka menjadi lebih sejahtera dan memberikan lingkungan yang nyaman.
Mereka tidak peduli dengan kisah dan informasi bahwa kota adalah rumah berbagai polusi dan tidak bebas dari bencana banjir dan kekeringan.
Mereka seakan ingin menyatakan kota jauh lebih baik dari dusun.

***
Berdasarkan Indonesia Gen Z Report 2022, sebanyak 79% Gen Z menyatakan perubahan iklim merupakan isu yang serius.
Jadi, tidak semua generasi Z berlari dari persoalan lingkungan hidup. Tidak sedikit Gen Z turut berupaya mengatasi perubahaan iklim global. Misalnya, mereka melakukan penanaman pohon di lahan kritis, menyelamatkan sungai dari sampah, serta memanfaatkan teknologi digital untuk membangun start up atau mengembangkan aplikasi terkait pengelolaan sampah maupun solusi energi terbarukan.
Mereka adalah Gen Z yang yakin dapat berusia panjang. Mereka percaya berlari dari persoalan bukanlah solusi mengatasi perubahaan iklim global. Mereka seakan berdiri tegak menghadapi persoalan tersebut, dengan keyakinan bahwa manusia akan berhenti menggunakan energi kotor, hidup bebas dari limbah dan sampah, serta berhenti merusak alam.
Tapi, berapa banyak Gen Z yang berupaya mengatasi persoalan tersebut?
Saat ini, di tengah bencana banjir dan kekeringan, tidak sedikit Gen Z yang memahami persoalan perubahaan iklim global, terpaksa bekerja di perusahaan yang diduga sebagai penyebab perubahan iklim global, seperti pertambangan, perkebunan skala besar, dan industri kotor. Hal ini dilakukan dikarenakan mereka harus memiliki pekerjaan dan pendapatan.
Jadi, agar Gen Z dapat berusia panjang, generasi X dan generasi Baby Boomers yang merupakan orang tua Gen Z, harus turut mengatasi persoalan perubahaan iklim global. Atau, terus mengurangi penggunaan energi kotor, hidup bebas dari limbah dan sampah, serta tidak merusak hutan, sungai, dan laut.
Termasuk pula, menghentikan semua bentuk korupsi yang menyebabkan banyak Gen Z di Indonesia hidup miskin dan tidak berpendidikan.
Selamat Hari Lingkungan Hidup.
* Taufik Wijaya, jurnalis dan pekerja seni menetap di Palembang. Tulisan ini merupakan opini penulis.