- Tahun 2023, ikan belida lopis (Chitala lopis) dinyatakan punah pada 2020 oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN). Namun keajaiban terjadi, karena tiga tahun kemudian, ikan tersebut ditemukan kembali (rediscovery) di pulau Jawa
- Spesies belida ini terakhir ditemukan di pulau Jawa pada 1851 atau 172 tahun yang lalu. Penemuan tersebut juga memperluas sebaran keberadaan belida lopis menjadi di tiga pulau, yakni Jawa, Sumatra dan Kalimantan
- Penemuan itu menjadi salah satu pendorong kegiatan konservasi pada ikan endemik yang ada di Indonesia. Belida adalah salah satu dari 19 jenis ikan yang sudah mendapatkan perlindungan penuh melalui Keputusan Menteri KP RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Jenis Ikan yang Dilindungi
- Namun, ikan endemik lainnya, bilih (Mystacoleucus padangensis) masih berjuang untuk mendapatkan perlindungan penuh. Ikan yang juga dikenal dengan nama bilis atau bako itu, saat ini sedang diupayakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk dibuatkan aturan khusus
Indonesia sedang berjuang untuk melestarikan ikan asli dalam negeri yang saat ini menyebar luas di seluruh provinsi. Upaya pelestarian dilakukan, karena ikan-ikan yang dimaksud kondisinya saat ini ada dalam ancaman kepunahan.
Berbagai upaya yang sedang dilakukan, adalah memetakan dan melindungi habitat asli yang menjadi tempat ikan endemik berkembang biak. Selain itu, dilakukan juga upaya kegiatan budi daya oleh Pemerintah dengan melibatkan ilmuwan, agar ikan bisa terus lestari.
Ikan asli Indonesia adalah ikan endemik (endogenous species) yang hanya bisa ditemukan pada suatu tempat tertentu dan tidak ditemukan di daerah lain. Ikan tersebut menjadi endemik, karena pengaruh iklim dan biologis ikan.
Kemudian, faktor geologis yang menjadi habitat ikan endemik, diikuti dengan tantangan ruang hidup yang dialami ikan tersebut memengaruhi pembentukan kekhasannya. Karakteristik yang unik tersebut, banyak dijumpai di perairan Indonesia dan karenanya ada 4.782 jenis ikan asli Indonesia.
Beberapa jenis ikan yang berhasil dibudidayakan adalah
- Baung (Hemibagrus),
- Papuyu atau betok (Anabas testudineus),
- Gabus (Channa striata),
- Toman (Channa micropeltes),
- Jelawat (Leptobarbus hoevenii),
- Belida (Chitala sp.),
- Kelabau (Osteochilus melanopleuora), dan
- Arwana banjar red (Scleropages formosus).
Selain untuk kegiatan budi daya, ikan endemik juga bisa menjadi sumber ekonomi masyarakat lokal, menjaga stabilitas ekosistem perairan, menjadi sumber plasma nutfah, dan menjadi sumber protein hewani yang diperlukan masyarakat.
Total 4.782 spesies ikan asli Indonesia yang sudah tercatat, terdiri dari ikan air tawar yang memiliki 1.248 spesies, ikan laut dengan 3.534 spesies, ikan endemik 130 spesies, introduksi 120 spesies, terancam punah 150 spesies, dan invasif sebanyak 13 spesies.
Baca : Sungai-sungai di Jawa Sakit, Ikan Endemik Punah Perlahan
Ikan Bilih
Salah satu ikan endemik yang juga menjadi perhatian Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), adalah ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) atau dikenal dengan nama lain ikan bako. Ikan air tawar itu menyebar terbatas di pulau Sumatera.
Terutama tersebar di danau Singkarak yang berada di Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Danau tersebut memiliki luas 107,8 kilometer persegi (km²) dan merupakan danau terluas kedua di pulau Sumatra setelah danau Toba di Sumatera Utara.
Selain di danau Singkarak, Bilih juga endemik di danau Maninjau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumbar. Danau tersebut letaknya 27 km dari ibu kota Agam, Lubuk Basung, dan 140 km dari Padang, ibu kota Sumbar.
Kemudian, ikan itu juga bisa ditemukan pada sungai-sungai kecil di sekitar dua danau tersebut. Termasuk, sungai Batang Kuantan yang terhubung dengan dua provinsi, yaitu di Kabupaten Sijunjung (Sumbar), dengan Kabupaten Kuantan Singingi dan Kabupaten Indragiri Hulu (Riau) dan berhulu di danau Singkarak.
Saat ini, ikan bilih juga sudah bisa ditemui di danau Toba, Sumatera Utara setelah dilakukan introduksi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2003. Introduksi dilakukan setelah sebelumnya dilakukan sederet proses penelitian oleh KKP.
Walau sudah dilakukan berbagai upaya, ikan bilih terus menghadapi berbagai persoalan yang bisa mengancam keberlangsungan di alam. Bahkan, sejak 9 April 2020 ikan tersebut sudah disematkan ke dalam daftar spesies rentan (Vulnerable) oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).
Status tersebut menjelaskan bahwa bilih akan tetap lestari jika dilakukan penangangan keselamatan dan reproduksinya dengan baik. Namun jika tidak, maka Bilih akan menghadapi resiko yang paling ditakuti umat manusia, adalah kepunahan di alam liar.
Agar hal itu tidak terjadi, KKP saat ini tengah menyiapkan aturan pengelolaan ikan bilih agar bisa diselamatkan. Selama ini, ikan tersebut sudah mengalami penangkapan berlebih (overfishing) dan penurunan ukuran tangkap selama beberapa tahun terakhir.
Baca juga : Ikan Bilih, Ikan Endemik Danau Singkarak Yang Terancam Punah. Kenapa?
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Firdaus Agung mengatakan kalau bilih juga menghadapi ancaman kepunahan, disebabkan penggunaan alat dan cara penangkapan yang tidak berkelanjutan serta pencemaran, penurunan kualitas habitat, dan degradasi habitat.
Menurutnya, ikan bilih termasuk ke dalam Mystacoleucus spp. yang memiliki delapan spesies di dunia dan menyebar di perairan Asia Tenggara. Tetapi, untuk spesies Mystacoleucus padangensis menjadi endemik Indonesia, karena hanya di danau dan sungai di Sumbar.
Perlindungan Ikan Bilih
Selain merujuk pada fakta tersebut, berdasarkan hasil penelaahan Kelompok Kerja (Pokja) Perlindungan Biota Perairan Terancam Punah Prioritas Tahun 2023 Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bilih direkomendasikan untuk mendapatkan perlindungan.
Selain kerja sama intens antar pemangku kepentingan baik daerah maupun nasional, perlindungan bilih dan ekosistemnya juga harus dilaksanakan berdasarkan kajian ilmiah serta memperhatikan aspek ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat sekitar.
“Sesuai tugas dan fungsinya, KKP akan mulai mengatur konservasi ekosistem dan biota perairan di perairan daratan. Konservasi ikan bilih menjadi contoh baik dalam hal peran pemerintah melindungi sumber daya perairan tawar,” jelas dia.
Sebenarnya, upaya untuk menyelamatkan bilih sudah dilakukan Pemerintah melalui Peraturan Presiden RI Nomor 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional. Aturan tersebut menetapkan danau Singkarak sebagai satu dari 15 danau yang harus diselamatkan.
Setelah Perpres terbit, Pemerintah Provinsi Sumbar kemudian menerbitkan Peraturan Gubernur Sumbar Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penggunaan Bahan Alat Penangkapan Ikan di Danau Singkarak. Aturan tersebut melarang penggunaan jaring angkat/bagan, yaitu API yang dapat merusak SDI di Singkarak.
Baca juga : Penertiban Jaring Angkat untuk Penyelamatan Ikan Bilih, Ikan Endemik Danau Singkarak
Ikan Belida Jawa
Selain bilih, upaya serupa juga dilakukan KKP pada ikan belida Jawa (Notopterus notopterus) yang salah satu habitatnya ada di perairan Rawa Pening, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Ikan tersebut dilakukan pendataan populasi oleh Loka Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut (LPSPL) Serang, Jawa Barat.
Kepala LPSPL Serang Santoso Budi Widiarto menerangkan, pendataan belida dilakukan timnya bersama Universitas Tidar, Magelang, Jateng. Tujuannya, untuk memetakan belida jawa sebagai bahan pertimbangan pengambilan kebijakan tentang pengelolaan ikan belida.
Dia menjelaskan jika berdasarkan survei, populasi belida jawa diperkirakan mencapai 229 ekor per hektare. Kalau merujuk pada status kerentanan IUCN, maka hasil survei menunjukkan status populasi belida di Rawa Pening dalam kondisi hampir terancam.
Saat melakukan survei dan pendataan, tim melakukan sebanyak tiga kali dengan menggunakan API seperti kerai bambu, bubu dan lift net. Hasil survei kemudian diolah dan dianalisis untuk mendapatkan estimasi kelimpahan populasi, hubungan antara panjang dan bobot ikan, sebaran frekuensi panjang, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), dan Catch per Unit of Effort (CPUE).
Kegiatan survei dilakukan dengan sasaran pengelolaan jenis belida antara 2020 hingga 2024, yang meliputi pemulihan populasi di habitat asli, pemetaan sebaran dan populasi di alam, serta pengaturan pengembangbiakan dan pengaturan peredaran.
“Kajian mengenai belida ini penting karena termasuk jenis ikan dilindungi, sehingga pengambilan data yang valid diperlukan untuk kebijakan di masa mendatang,” terangnya.
Dukungan pendataan sangat penting, karena status belida jawa yang menjadi endemik di Indonesia, saat ini sudah berstatus dilindungi penuh. KKP sudah menerbitkan Keputusan Menteri KP RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Jenis Ikan yang Dilindungi.
Aturan tersebut menetapkan belida jawa menjadi satu dari 19 jenis ikan yang dilindungi dengan status perlindungan penuh terhadap jenis ikan. Ikan tersebut dilindungi penuh bersama belida borneo (Chitala borneensis), belida sumatra (Chitala hypselonotus), dan belida lopis (Chitala lopis).
Baca juga : Belida Lopis, Ikan Asli Indonesia yang Dinyatakan Punah
Ikan Hias
Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN Haryono menyebut kalau belida saat ini sudah tidak lagi hanya menjadi ikan konsumsi. Namun juga, secara perlahan sudah mulai dimanfaatkan untuk ikan hias oleh pecinta ikan hias.
“Ikan belida merupakan ikan asli dan bernilai ekonomis tinggi terutama sebagai bahan baku makanan khas seperti kerupuk dan pempek,” ungkapnya.
Dia mengatakan, pada 2023 publik dikagetkan dengan penemuan belida lopis yang pada 2020 sudah dinyatakan punah oleh IUCN. Penemuan kembali (rediscovery) itu menjelaskan bahwa upaya pemulihan dan pelestarian ekosistem bisa menjadi kunci dalam tata kelola ikan endemik.
Namun disayangkan, hingga saat ini belida belum masuk dalam perlindungan dengan status apapun dalam Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah (CITES), perjanjian internasional yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota IUCN pada 1963.
Di Indonesia, Haryono menyebut kalau total luas perairan umum daratan mencapai 55 juta hektare, terdiri dari perairan sungai seluas 11,95 juta ha, perairan danau/waduk seluas 2,1 juta ha, dan perairan rawa seluas 39,4 juta ha.
Sementara, Peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber daya Air (PRLSDA) BRIN Syahroma Husni Nasution memaparkan tentang fenomena terjadinya penurunan populasi dan ukuran bilih selama periode 24 tahun terakhir sejak 1997 hingga 2021.
Selama periode itu, ukuran bilih mengalami penurunan sebesar 60 persen dari awalnya 186 milimeter (mm) menjadi 59 mm. Pada periose itu juga terjadi overfishing disebabkan oleh penggunaan API seperti bagan.
Penjelasan tersebut menegaskan bahwa bilih perlu mendapatkan status perlindungan secara terbatas berdasarkan ukuran. Artinya, bilih tidak boleh ditangkap pada ukuran ikan 70-90 mm karena kondisi matang gonad. Juga, tidak boleh menggunakan jaring kurang dari 3/4 inci pada API bagan dan gillnet.
Gonad sendiri adalah bagian dari organ reproduksi pada ikan yang menghasilkan telur pada ikan betina dan sperma pada ikan jantan. Pada umumnya, ikan mempunyai sepasang gonad dengan jenis kelamin yang terpisah.
Beberapa waktu lalu, Syahroma mengatakan bahwa danau Singkarak danau tektonik yang terletak dengan kedalaman danau rata-rata 158,2 meter dan kedalaman maksimum 295 m. Danau prioritas yang posisinya pada ketinggian 363,5 di atas permukaan laut (dpl) itu mempunyai potensi populasi bilih dengan nilai ekonomi tinggi.
Baca juga : Sudah Lima Tahun, Ikan Belida Tak Kunjung Dapat
Konservasi Ikan Bilih
Ikan tersebut oleh IUCN sudah masuk kategori spesies rentan, dan karenanya harus dilakukan konservasi melalui pendekatan model pendugaan kualitas geobiofisik perairan berdasarkan citra satelit. Pendekatan tersebut adalah tentang data analisis hubungan panjang dan berat ikan, sebaran dan kepadatan ikan (densitas), sebaran substrat dasar perairan, distribusi ukuran panjang, dan berat ikan.
Hasil dari riset, juga menghasilkan saran bahwa harus ada kebijakan untuk pelestarian bilih dan pencegahan masuknya jenis ikan asing yang bersifat invasif. Upaya yang bisa dilakukan, di antaranya kegiatan penyelamatan bilih melalui domestikasi diikuti dengan restoking.
Upaya lain, adalah terkait pengaturan API yang ramah lingkungan untuk penangkapan bilih. Menurutnya, perlu dilakukan penggunaan API yang selektif dan ramah lingkungan, serta dilakukan pelarangan penggunaan API jenis bagan.
Selain riset ikan endemik, pencemaran ekosistem danau Singkarak yang disebabkan oleh sampah plastik juga menjadi perhatian BRIN. Polusi plastik dan mikroplastik pada danau tersebut sudah pada tingkat alarming mengkhawatirkan, baik di ekosistem laut dan air tawar di Indonesia.
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Peneliti PRLSDA BRI lain, Cynthia Henny. Katanya, danau yang tercemar plastik menjadi perhatian yang sangat penting dan menarik, mengingat karena plastik dapat terdegradasi dan terfragmentasi menjadi mikroplastik, serta termakan oleh ikan.
Pengajar Departemen Manajemen Sumber daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Sulistiono beberapa waktu lalu juga mengingatkan bahwa populasi ikan endemik akan terus terancam jika permintaan yang tinggi tidak diikuti dengan kegiatan konservasi.
Menurutnya, dengan melaksanakan konservasi, maka ikan endemik bisa terus bertahan di perairan darat dan populasinya juga akan terus meningkat. Prinsip konservasi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
“Dalam UU tersebut diatur tentang konservasi sumber daya ikan yang dilakukan melalui konservasi ekosistem, konservasi jenis dan konservasi genetik,” jelasnya.
Selain dalam UU 31/2004, prinsip konservasi sudah dijelaskan dalam peraturan turunan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan. PP tersebut lebih detail mengatur tentang pengelolaan konservasi atau habitat ikan.
“Dalam melaksanakan konservasi sumber daya ikan, prosesnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan,” terangnya.
Alasan kenapa beberapa jenis ikan perlu diberikan tindakan konservasi, karena ikan-ikan endemik tersebut mengandung nilai ekonomi, nilai sosial, nilai ekologi, nilai budaya, nilai religi, nilai estetika, dan adanya ancaman kepunahan.
Adapun, tujuan konservasi jenis ikan tertentu, adalah menjaga atau meningkatkan produksi, keseimbangan alam, perbaikan genetika/spesies, menggali manfaat potensial, pariwisata, pendidikan dan penelitian, estetika, endemik dan etnik, kesehatan lingkungan, dab kelestarian keanekaragaman. (***)
Menyelamatkan Ikan Endemik Asli Indonesia dari Ancaman Kepunahan