- Semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006 di Sidoarjo, Jawa Timur, masih menyisakan sejumlah persoalan hingga saat ini.
- Masalah kesehatan, ekonomi, dan lingkungan adalah sejumlah persoalan yang dihadapi warga yang terdampak semburan lumpur Lapindo tersebut.
- Warga yang terpapar cemaran lumpur maksimal delapan jam, berpotensi terdampak. Sedangkan yang 24 jam sehari selama tahunan, perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh.
- Dalam kasus lumpur Lapindo, warga selama ini dianggap objek yang sengaja dihilangkan. Perhitungan ganti rugi, tidak pernah memperhitungkan manusia sebagai pribadi, hanya melihat kepemilikan sertifikat tanah atau lahan.
Baca sebelumnya: 18 Tahun Lumpur Lapindo: Perhatikan Pencemaran Lingkungan dan Kesehatan Warga
**
Rasa marah masih terpancar di wajah Mohammad Irsyad, warga Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006, membuat dia bersama warga harus meninggalkan Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, setelah pemerintah menyatakan kawasan itu tidak layak huni.
Awalnya, Besuki timur dipisahkan dengan Besuki barat oleh jalan tol Porong-Gempol yang kini terputus luberan lumpur. Warga Besuki barat yang merasakan dampak lumpur, menuntut dimasukkan wilayahnya dalam peta area terdampak yang ditetapkan pemerintah. Sedangkan Besuki timur meski hanya terimbas pada sebagian sawahnya, namun berdampak pada gagalnya panen padi.
Warga Besuki timur yang menuntut ganti rugi, dianggap memperumit proses tuntutan warga Besuki barat. Bahkan, konflik antar warga juga sempat terjadi.
“Kami seperti dihadapkan sesama warga. Kami juga tidak diangap karena beradada di luar peta. Proses ganti rugi baru ditangani pada 2012,” ujarnya, Rabu [29/5/2024].
Kesulitan juga dialami Abdul Rokhim, warga Pangreh, Kecamatan Jabon. Dia sebelumnya tinggal di Desa Besuki timur dan harus mengawali hidup dari titik nol di tempat barunya. Perjuangannya untuk bertahan hidup berdampak pada ganguan kesehatan.
“Saya menderita jantung koroner dan istri kena vertigo. Artinya, selama kami berjuang dari awal sampai sekarang, kami berjuang sendiri. Tidak ada bantuan maupun jaminan kesehatan bagi kami,” ucapnya, Rabu [29/5/2024].
Masalah kesehatan juga dikeluhkan Lilik, warga Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin. Bau lumpur belasan tahun, sering menyebabkannya pusing dan mual. Hasil cek kesehatan menunjukkan, dia ada masalah lambung dan hipertensi.
Penghasilannya sebagai pedagang kecil, harus diprioritaskan untuk kebutuhan harian dan kesehatan, mengingat dia tidak memiliki jaminan kesehatan.
“Air sumur tidak bisa dipakai untuk memasak. Untuk mencuci sebenarnya juga tidak baik, tapi terpaksa. Kami beli air bersih Rp25.000-30.000 seminggu,” ungkapnya.
Lingkungan tercemar akibat lumpur
Dampak kesehatan juga dialami Eko Widodo, yang turut memantau kualitas udara dan air di kawasan Porong. Pada 2020 lalu, dia didiagnosa menderita sakit paru atau pneumonia.
Bersama warga, Eko mendata kualitas udara di delapan penjuru mata angin dari tanggul lumpur Lapindo.
“Paparan H2S dapat dilihat pada perak, sementra klorin pada tembaga.”
Pantauan biotilik pada sungai dan saluran irigasi dijadikan indikator, agar warga lebih waspada menggunakan air permukaan dalam keseharian.
“Semua upaya bukan hanya melawan lupa, tapi juga menyalakan semangat perjuangan rakyat kecil yang ingin mendapatkan keadilan,” ujarnya.
Pos Koordinasi untuk Keselamatan Korban Lumpur Lapindo [Posko KKLuLa], mencatat jumlah warga yang berobat pada tiga puskesmas di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, masih tinggi hingga pertengahan 2024.
Di Puskesmas Porong, pasien yang terdeteksi ISPA sebanyak 6.701 orang, batuk [3.553 orang], demam [2.756 orang], diare [2.334 orang], dan masalah otot [2.086 orang]. Sedangkan ISPA di Puskesmas Jabon tercatat 6.337 orang dan di Puskesmas Tanggulangin 4.930 orang.
Koordinator Posko KKLuLa, Bambang Catur Nusantara, mengatakan data tersebut menunjukkan adanya persoalan lingkungan terkait pencemaran udara di area lumpur Lapindo.
Hasil pemeriksaan eco checker di delapan tempat itu menunjukkan adanya perubahan warna pada angka 100-1.000 ppm, atau 0,1-1 ppm. Standar baku di udara hanya 0,05 ppm untuk H2S.
Warga yang terpapar cemaran lumpur maksimal delapan jam, berpotensi terdampak kesehatannya. Sedangkan yang 24 jam sehari selama tahunan, perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh. Demikian pula dengan aromatik hidrokarbon yang dapat menyebabkan gangguan bersifat karsinogenik.
“Hampir sama dengan dampak karsinogenik di logam berat, dalam waktu panjang akan mengganggu sistem tubuh. Bahkan, bisa memicu penyakit seperti kanker dan tumor,” jelas Catur.
Pengajar di Departemen Anatomi dan Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Surabaya, Adhimas Setyo Wicaksono, menyebut kandungan logam berat dan ammonia yang sering terpapar warga dapat menyebabkan penyakit ISPA. Selain itu, dapat menimbulkan risiko kanker jangka panjang.
“Paparan pencemarannya bertambah banyak dan radiusnya meluas,” ujarnya kepda Mongabay, Senin [3/6/2024].
Relokasi menjadi pilihan paling memungkinkan. Warga juga perlu disadarkan risiko kesehatan di sekitar lokasi lumpur, agar tidak menganggap hal biasa.
“Mengonsumsi antioksidan bisa meminimalkan risiko dampak lumpur, tapi lebih aman ya relokasi. Kalau dipaksakan menetap, bisa terjadi banyak hal mulai dari penyakit kulit, iritasi, hingga kanker,” terangnya.
Melihat korban lumpur sebagai manusia
Sosiolog dari FISIP Universitas Brawijaya, Malang, Anton Novenanto, mengatakan dalam kasus lumpur Lapindo, warga selama ini dianggap objek yang sengaja dihilangkan.
Bahkan, hingga kini belum pernah ada data pasti berapa jumlah masyarakat yang diusir paksa melalui lumpur maupun peraturan negara. Perhitungan ganti rugi, tidak pernah memperhitungkan manusia sebagai pribadi, hanya melihat kepemilikan sertifikat tanah atau lahan.
“Ujung pangkal kasus ini tidak kelihatan. Mereka yang terusir tidak dihargai sebagai manusia yang perlu diperhatikan kebutuhan dasarnya, seperti kesehatan, pekerjaan, dan penghidupan layak.”
Menurut Anton, adanya kasus stunting pada anak di sekitar tanggul lumpur, hanya dianggap persoalan nutrisi dan pemenuhan ekonomi. Padahal, lingkungan yang tercemar sangat berpengaruh terhadap kesehatan warga dan tumbuh kembang balita.
“Analisis kami karena faktor lingkungan. Air mereka banyak mengandung fosfor sehingga kalsium untuk tulang dan gigi tidak dapat terserap optimal,” paparnya.
Sejauh ini, belum ada keterangan langsung dari pemerintah setempat terkait kondisi warga sekitar tanggul lumpur. Melalui lama resminya, Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo [PPLS], Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR], menyatakan terus melakukan penanganan infrastruktur pengendalian semburan lumpur.
Maksal Saputra, Kepala Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo, melalui keterangan persnya menyatakan, tetap melanjutkan program penanganan infrastruktur dan memprioritaskan warga terdampak. Bahkan, Kementerian PUPR mengalokasikan Rp287 miliar untuk pengaliran lumpur ke Sungai Porong, peningkatan tanggul penahan lumpur hingga dua km per tahun, serta pembangunan 10 kolam penampungan air di sekitar Porong.
PPLS juga merencanakan, menjadikan area tanggul lumpur yang telah dibebaskan sebagai kawasan geowisata.