- Kapal kayu Sulawesi masih banyak dibuat untuk keperluan kapal tangkap ikan, maupun kapal pesiar atau wisata. Pembuat kapal merasakan, pasokan kayu tak semudah dulu.
- Pembuatan kapal Sulawesi memerlukan bahan baku dalam jumlah besar dan kayu tertentu. Dari hutan manakah kayu-kayu itu berasal?
- Pembuatan kapal Sulawesi pernah ‘pindah’ ke Kalimantan karena pasokan bahan baku masih ada. Pada pertengahan 2000-an, pengolahan jenis kayu ulin dan bayam, menjadi makin sulit. Beberapa bengkel di Kalimantan ditinggalkan. Para panrita kembali lagi ke Bulukumba.
- Kayu-kayu yang digunakan di pinisi atau kapal kayu sekarang itu, tidak pernah ditanam alias dari alam. Bitti di Bira, sejak 1990-an sudah hilang. Kasambi juga demikian lenyap. Kayu ulin dan bayam di Kalimantan menjadi sulit dan sudah langka. Sekarang kayu hitam dan kandole dari Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Selanjutnya, kayu dari hutan mana lagi?
Akbar bersantai di bawah lambung kapal ikan, membuka kotak makanan, menuangkan air dari botol ke tangan, dan melahap isinya. Balok-balok kayu tergeletak di depan dan samping. Ada kayu eboni, kandole dan bitti.
Kapal itu masih dalam tahap pembuatan. Ia pesanan seorang pengusaha perikanan dari Jakarta. Bobot mencapai 200 GT. Sebuah kapal “raksasa” dengan lantai dek, melebihi tinggi atap rumah panggung penduduk di Tanah Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Akbar adalah pekerja kapal itu. Dalam istilah tradisional, dia seorang tukang, secara filosofis disebut panrita. Dia bekerja dari pagi hingga jelang petang, upah per hari Rp200.000. “Dia bosnya,” katanya menunjuk ke pria di depannya.
Ketika ditanya pinisi dia menjawab. “Sudah tidak ada lagi pinisi. Itu sudah hilang. Tidak ada lagi yang buat. Ini kapal motor kayu. Kapal biasa.”
“Balok ini – yang tegak di bagian belakang kapal–tidak ada, kalau pinisi,” katanya.
Bagi awam seperti saya, kapal kayu dengan dua tiang dan tujuh layar, adalah pinisi. Saat ini, tiang layar hanya aksesoris bagi kapal-kapal pesiar yang dilengkapi mesin dan berseliweran di perairan Indonesia.
“Memang seperti itu kenyataannya,” kata Akbar.
Apapun sebutan kapal itu, di tengah sulitnya bahan baku, darimana pasokan kayunya?
Lunas kapal berbahan kayu hitam (eboni) sepanjang 23 meter diameter 45 x 40 cm sedang proses pengerjaan. Lunas sepanjang itu dari satu pohon utuh di sekitaran hutan Pulau Buton. Harga mencapai Rp300 juta per balok.

Penggunaan kayu besi untuk lunas, baru terjadi sekitar 10 tahun terakhir. Sebelumnya, lunas dengan kayu ulin dari Kalimantan. Sebelum itu, pakai kayu kasambi yang tumbuh lokal di sekitaran Bira, Bulukumba. Jauh sebelum itu, kapal gunakan lunas kayu bitti.
Kayu bitti atau Vitex cofassus adalah tanaman endemik Pulau Sulawesi. Hingga 1980-an, kayu ini masih mudah dijumpai di kawasan para pembuat kapal. Namun masa itu, kapal yang mereka sebut sebagai pinisi dibuat dengan ukuran yang tidak begitu besar. Para panrita, biasa menyambung lunas karena kayu ini sangat sulit didapatkan dengan tegakan lurus.
Pada masa ini, untuk meluruskan kayu, panrita biasa membakarnya. Bitti menjadi sangat mudah dibentuk karena bengkok dan sangat tepat tepat jadi rangka dalam lambung kapal.
Perlahan, kayu bitti ukuran besar menjadi berkurang. Lalu keagungan kapal kayu Bulukumba itu dikenal luas. Pesanan datang mengalir cepat dengan kapal kapal yang jauh lebih besar.
Para panrita, tentu saja menyanggupi order yang datang. Mereka mendatangkan kayu-kayu berkualitas dari berbagai tempat. Salah satunya, kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) dari Kalimantan. Orang Kalimantan sebut kayu itu sebagai kayu besi.
Bantalan-bantalan kayu itu kemudian diangkut menuju Bulukumba, baik melalui perdagangan legal dan ilegal. Namun, pelayaran kayu itu memiliki risiko besar di lautan. Akhirnya para “juragan” kapal memboyong para panrita menuju Batu Licin, Kalimantan Selatan.
Pola ini menjadi lebih mudah, karena sumber kayu menjadi lebih dekat. Di Kalimantan, ratusan kubik kayu ulin diolah menjadi lunas sementara lambung dibalut kayu bayam (Leguminosae).

Pada pertengahan 2000-an, pengolahan jenis kayu ulin dan bayam, menjadi makin sulit. Beberapa bengkel di Kalimantan ditinggalkan. Para panrita kembali lagi ke Bulukumba.
Di Bulukumba, bengkel kapal kembali hidup. Pada April 2024 itu, di sepanjang jalan Desa Tana Beru, berjejer 36 kapal kayu yang sedang tahap pembangunan.
Sebanyak 32 kapal, memiliki bobot tak kurang dari 200 GT. Kapal itu, pesanan dari beberapa pengusaha untuk kapal ikan, sampai wisata. Kini, bahan-bahan kapal raksasa itu didatangkan dari tanah Sulawesi, yakni, Sulawesi Tenggara.
Kapal-kapal kayu di Bulukumba, berkembang sesuai kebutuhan bahan yang tersedia. Saat ini, lunas kapal berganti jadi kayu hitam atau kayu besi (Diospyros celebica). Lambung gunakan kayu kandole juga bersumber dari Sulawesi Tenggara.
Beberapa “juragan” pun membuat bengkel kapal di Sulawesi Tenggara agar lebih dekat dengan sumber kayu. Bengkel kapal di Bulukumba mendatangkan bahan kayu melalui jalur darat dan laut.
Untuk ukuran kapal 200 GT, kebutuhan kayu masing-masing, kayu hitam 50 kubik. Kayu kandole 75 kubik, kayu bitti untuk lambung sebanyak 500 pohon.
Pemilik kayu di Bulukumba, mengklaim, kalau kayu-kayu ini dari perdagangan sah. Meski demikian, sejak 1998, kayu hitam Sulawesi masuk daftar merah IUCN dengan kategori vulnerable. Pada 12 Juni 2013, menjadi Appendix II CITES yang berarti hanya bisa diperdagangkan berdasarkan kuota.
Bagaimana membayangkan banyaknya kayu untuk kapal itu? Di Tana Beru, truk enam roda menurunkan kayu kandole dari Morowali, Sulawesi Tengah. Puluhan balok kayu itu memenuhi bak truk berisi sekitar 20 kubik.

Lewat laut dan darat
“Banyak kayu. Tinggal uang saja,” kata Abdullah.
“Kalau habis di Buton, pindah lagi ke Aru. Habis Aru, pindah ke Papua. Jadi, kalau ada uang, semua bahan jadi gampang.”
Abdullah adalah juragan pembuat kapal di Tana Beru. Dia senang bercerita dan ramah. Menjelang sore di sekitar bengkel kapalnya, dia duduk sambil melihat kapal pesiar yang dipesan seorang berkebangsaan asing. “Kontraknya 10 bulan. Pengerjaannya sudah enam bulan,” katanya.
Harga kapal itu dibanderol sekitar Rp5 miliar. Harga yang seharusnya sudah sepadan dengan kualitas kayu dan perolehan bahan yang kian susah.
Ada juga Ahamuddin mengelola peternakan ayam petelur. Beberapa tahun lalu, namanya menjadi bersinar karena menjadi seorang pedagang kayu besar.
Dia punya tiga kapal kargo yang berkeliling menjangkau banyak kepulauan di Timur Indonesia. Dari pulau-pulau jauh dan yang masih memiliki hutan lebat, ratusan pohon kayu kualitas tinggi ditebang dan dibawa ke Bulukumba jadi bahan baku kapal.
Beberapa “juragan” pembuat kapal tersohor hingga kini, pernah jadi pelanggannya. Pada 2019, ketika mengangkut kayu jenis bayam dari Maluku, dia tertangkap di perairan Sulawesi dekat Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Dia dijatuhi penjara selama 11 bulan.
Ahamuddin bilang, dia memiliki surat jalan kayu yang terbit di Ternate, tetapi polisi kehutanan menyatakan surat kepemilikan dan perdagangan itu tidak sah.
“Orang yang terbitkan surat di Ternate itu lari. Jadi, saya tanggung sendiri,” katanya.
Kalau melalui jalur laut, upeti menjadi besar, karena mencapai Rp10 juta sekali pemeriksaan.

Ahamuddin pun merasakan, sudah mulai sulit dapatkan bahan baku. “Aii sudah susah kalau 20 tahun, kapal-kapal kayu besar akan bertahan, kalau kayunya harus kayu hitam dan kandole itu,” katanya.
Sukardi, mantan pedagang kayu juga ungkapkan hal serupa. “Di Bulukumba, kalau cari 100 tegakan kayu bitti, itu pasti susah sekali,” katanya.
Saat ini pasokan bitti dari Bone dan Sinjai. “Itu sudah dipanen sejak 2000-an awal sampai sekarang. Sekarang bitti jadi susah dan kayu itu jadi salah satu yang paling penting untuk rangka kapal,” kata Sukardi.
Bagi panrita, bitti merupakan unsur kayu paling penting dalam pembuatan kapal kayu. Bentuk melengkung dengan mudah dibentuk.
Sukardi mengingatkan, kayu-kayu yang digunakan di pinisi atau kapal kayu sekarang itu, tidak pernah ditanam alias dari alam. Bitti di Bira, sejak 1990-an sudah hilang. Kasambi juga demikian lenyap. Kayu ulin dan bayam di Kalimantan menjadi sulit dan sudah langka. Sekarang kayu hitam dan kandole dari Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.
“Selanjutnya hutan mana lagi yang akan dibabat? Itu dari Kepulauan Maluku dan Papua. Jadi, rute kayunya bisa kelihatan kan.” (Bersambung)
******
Mengintip Aktivitas Pembuatan Kapal Perikanan di Pantai Utara Lamongan