- Warga Dairi aksi di depan Kedutaan Tiongkok di Jakarta, menuntut pendana dari negara tirai bambu itu menghentikan pembangunan dan pendanaan tambang seng dan timbal oleh PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Parongil, Dairi, Sumatera Utara, 11 Juni lalu.
- Perjuangan mempertahankan ruang hidup terus mereka upayakan karena Purba sadar kehadiran perusahaan tak akan memberikan kesejahteraan. Yang ada, justru akan jadi ancaman bagi tanaman perkebunan dan pertanian yang jadi tulang punggung perekonomian mereka.
- Penolakan warga, sudah berlangsung sejak perusahaan sosialisasi dan eksplorasi pada 2008. Protes makin menguat ketika perusahaan berencana membangun dam limbah di perbukitan, serta membangun gudang bahan peledak di sekitar pemukiman warga.
- Monica Siregar, pendamping warga Dairi dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) khawatir kalau perusahaan DPM beroperasi bakal menyebabkan dampak buruk begitu luas. Setidaknya, ada 11 desa dan 57 dusun akan terdampak.
Beberapa perempuan dari Kabupaten Dairi, bersenandung dengan iringan musik khas Batak. Mereka bukan sedang bersenang-senang, tetapi aksi di depan Kedutaan Tiongkok di Jakarta, menuntut pendana dari negara tirai bambu itu menghentikan pembangunan dan pendanaan tambang seng dan timbal oleh PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Parongil, Dairi, Sumatera Utara.
Dari keterangan induk perusahaan DPM, yaitu China Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co., Ltd (NFC) menyatakan, Careen Holdings Corporation Limited (CHCL) akan meminjamkan dana US$245 juta.
CHCL ini merupakan perusahaan terdaftar di Hong Kong dan sepenuhnya milik CNIC Corporation yang dikuasai China’s State Administration of Foreign Exchange (SAFE).
“Sejauh-jauhnya kami datang ke Jakarta karena kami khawatir pertanian kami akan terdampak jika perusahaan ini beroperasi lagi,” kata Rainim Purba, perempuan 63 tahun, perwakilan warga Dairi, 11 Juni lalu.

Melalui mimbar aksi, perempuan asal Desa Pandiangan, Kecamatan Lae Parira itu menyatakan kegelisahan dengan bahasa Pakpak. Dia sudah mengadu ke berbagai tingkat pemerintahan, dari kecamatan, kabupaten, provinsi sampai pusat, tidak ada respon signifikan.
Manggatur Pardamaean Lumbantoruan, warga Dairi, berharap, pemodal dari Tiongkok menarik dukungan dalam mendanai tambang seng dan timbal.
Dari Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatra Utara (Bakumsu) juga memberikan dokumen komplain ke kedutaan di Jalan Mega Kuningan, Jakarta Selatan itu. Surat diterima Hani, staf ekonomi dan perdagangan. Dia bilang, akan mempelajari dokumen perwakilan warga Dairi itu.
Lambannya respon Kedutaan Tiongkok membuat suasana sempat menegang. Selain bersitegang dengan kepolisian, massa juga sempat blokade jalan sebelum aksi serupa di depan Gedung Mahkamah Agung.
Penolakan warga, katanya, sudah berlangsung sejak perusahaan sosialisasi dan eksplorasi pada 2008. Protes makin menguat ketika perusahaan berencana membangun dam limbah di perbukitan, serta membangun gudang bahan peledak di sekitar pemukiman warga.

Berdaya dari tani
Perjuangan mempertahankan ruang hidup terus mereka upayakan karena Purba sadar kehadiran perusahaan tak akan memberikan kesejahteraan. Yang ada, katanya, justru akan jadi ancaman bagi tanaman perkebunan dan pertanian yang jadi tulang punggung perekonomian mereka.
Di kebun dan lahan pertanian, dia tanam durian, kopi, kulit manis, sampai kapulaga, jahe, cabai, dan jagung.
Bagi Purba, kekhawatiran lain bila tambang beroperasi adalah matinya sumber-sumber mata air.
Senada, Dormaida Sihotang, perwakilan dari Desa Lae Haporas, Kecamatan Siempat Nempu Hilir juga was-was bila perusahaan tambang ini beroperasi. Dia was-was, bercermin dari tragedi lumpur Lapindo, Sidorajo. Hingga kini, nasib masyarakat masih banyak yang terlunta-lunta.
“Tanah Dairi subur, kami tidak kurang makan. Kami sejahtera dari bertani. Kalau ada pertambangan pasti kami risau,” katanya.

Dia hidup cukup dari bertani. Per bulan, terima pemasukan dari hasil tani sekitar Rp10 juta dari berbagai tanaman pangan di lahan seluas 13 hektar. Dia tanam dari durian, duku, manggis, jeruk purut, dan palawija.
“Sampai kapan pun kami akan terus memperjuangkan ini. Apalagi nenek moyang kami meminta untuk terus menjaga lahan-lahan ini hingga anak dan cucu.”
Monica Siregar, pendamping warga Dairi dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) khawatir kalau perusahaan DPM beroperasi bakal menyebabkan dampak buruk begitu luas.
“Setidaknya, ada 11 desa dan 57 dusun akan terdampak.”

*****