- Was-was masih menyelimuti masyarakat Padarincang, Serang, Banten, karena proyek pembangkit panas bumi belum sepenuhnya batal. Warga saling menguatkan, dan bertahan menolak.
- Sekitar 15 tahun sudah Masyarakat Padarincang menolak pembangunan PLTPb. Megaproyek itu sudah jadi wilayah kerja panas bumi (WKP) Kaldera Danau Banten melalui keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 15 Januari 2009.
- Eha Suhaeni, tokoh perempuan Padarincang mengatakan, masyarakat Padarincang hidup bergantung alam dari bertani dan berkebun. Pertanian, dan perkebunan jadi mata pencaharian utama masyarakat kecamatan ini. Berbagai hasil bumi ada, dari buah-buahan, padi maupun tanaman palawija dan lain-lain.
- Dewi Sartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Perbaruan Agraria (KPA) mengatakan, pemerintah seringkali tak melihat dampak sosial, ekonomi dan ekologis ketika mengeluarkan kebijakan soal proyek pembangunan. Tak pelak, konflik dengan masyarakat pun pecah.
Was-was masih menyelimuti masyarakat Padarincang, Serang, Banten, walau terhenti tetapi proyek pembangkit panas bumi belum sepenuhnya batal. Warga saling menguatkan, dan bertahan menolak.
Siang itu, 5 Juni lalu, ratusan warga melantunkan ayat Al-Quran. Matahari terik, tetapi tak menyurutkan semangat mereka mengikuti pengajian atau istighosah (doa bersama).
Doa bersama ini merupakan bentuk permintaan pertolongan Masyarakat Adat Padarincang kepada sang pencipta alam semesta. Saat ini tengah menghadapi ancaman pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPb) atau geothermal yang dinilai berisiko merusak alam.
Berbagai lapisan masyarakat ikut, yang tua, muda, perempuan dan laki-laki. Masyarakat juga membawa hasil tani sebagai pertanda kesejahteraan.
Bersamaan dengan itu juga ada orasi masyarakat soal penolakan PLTPb. Mereka bawa poster-poster penolakan.
“Kita gak minta apa-apa dari pemerintah. Kita mau hidup tenang, yang penting jangan diganggu,” kata Eha Suhaeni, tokoh perempuan Padarincang, di Kampung Batuceper, Desa Citasuk, Padarincang.
Eha Suhaeni atau Umi Eha sapaannya, merupakan perempuan Padarincang juga pimpinan Pesantren.
Dia bilang, PLTPb mengancam kehidupan masyarakat di Padarincang. Alih-alih mensejahterakan, rencana pembangunan PLTPb justru menyebabkan konflik dengan masyarakat.
Sekitar 15 tahun sudah Masyarakat Padarincang menolak pembangunan PLTPb. Megaproyek itu sudah jadi wilayah kerja panas bumi (WKP) Kaldera Danau Banten melalui keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 15 Januari 2009.

Masyarakat bulat menolak membuat proyek tak jalan. Meski begitu, proyek sempat berjalan, pengembang sudah bangun cassing PLTPb di Gunung Parakasak, namun terhenti karena perlawanan masyarakat.
Eha bilang, masyarakat Padarincang hidup bergantung alam dari bertani dan berkebun. Pertanian, dan perkebunan jadi mata pencaharian utama masyarakat di sana. Berbagai hasil bumi ada, dari buah-buahan, padi maupun tanaman palawija dan lain-lain.
“Kalau alamnya hijau, warga gak kelaparan,” katanya.
Sebelum proyek hadir, masyarakat hidup tenang. Kini, mereka was-was, karena dihantui proyek panas bumi.
Eha bilang, masyarakat berkomitmen mempertahankan dan menjaga alam Padarincang. Mereka tak ingin alam, mata pencaharian dan lahan mereka terampas proyek ini.
Para perempuan Padarincang andil besar di garis perlawanan. Gerakan Perempuan Sapat (Gerapas), merupakan bagian dari Serikat Perjuangan Rakyat Padarincang (Sapar). Eha bilang, para perempuan sigap pasang badan menolak pembangunan PLTPb.
“Kita lagi enak-enak tidur dibangunkan jam setengah 3.00 (subuh) ada alat berat (untuk proyek), kita berangkat,” katanya.
Masyarakat Padarincang, katanya, tidak menolak pembangunan tetapi bila proyek mengganggu kehidupan, mereka akan menolak dan melawan.
“Kita jangan putus asa, jangan takut. Selagi kita di jalan yang benar, isyaallah, Allah akan melindungi kita.”
Dhoif, tokoh masyarakat Padarincang menuturkan, masyarakat memahami dampak buruk dari PLTPb. Dia contohkan kasus PLTPb Sorik Marapi di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara. Di sana, warga keracunan berulang bahkan ada yang meninggal dunia.

Belum beroperasi pun, kata Dhoif, masyarakat Padarincang sudah merasakan dampak pembangunan PLTPb. Meskipun pembagunan baru eksplorasi, namun sudah menyebabkan berbagai dampak lingkungan.
Baru mulai saja, katanya, sudah menggunduli hutan di Gunung Parakasak sekitar satu hektar. Belum lagi pengeboran untuk membuat dua lubang.
Kalau beroperasi, PLTPb perlu air banyak untuk menghasilkan uap. Belum lagi, masyarakat nanti bisa bebas lagi memanen hasil tani di hutan. Dhoif bilang, kalau mengizinkan proyek ini dibangun sama saja dengan merusak alam.
“Kekayaan alam adalah satu bentuk anugerah yang bersifat adat, turun temurun dan selamanya,” kata Dhoif.
Panas bumi dengan pelaksana proyek, PT Sintesa Banten Geothermal ini pertama kali mulai pada 2015, kemudian mangkrak pada 2018, lantaran perlawanan masyarakat. Kini, proyek terbengkalai. Lubang bekas pengeboran untuk eksplorasi penuh air, layaknya danau buatan. Akses jalan menuju lokasi proyek juga penuh semak belukar.
Namun, Masyarakat Padarincang tetap was-was. Sebab, Pj Gubernur Banten Al Muktabar memastikan proyek itu tetap jalan, namun belum tahu waktunya.
“Kita tetap siaga. Beberapa kali alat berat datang kita pukul mundur. Kita tidak ingin alam rusak,” ucap Dhoif.
Menurut dia, berbagai pemerintah lakukan agar proyek jalan. Dari propaganda ekonomi berkelanjutan tetapi, masyarakat tak termakan janji manis itu. Pemerintah juga mengklaim, PLTPb merupakan energi terbarukan ramah lingkungan.
“Yang berkelanjutan belum tentu abadi, tapi adab sudah pasti berkelanjutan dan kontribusi alam yang ditawarkan oleh alam sampai saat ini lebih memberikan kesejahteraan,” katanya.
Ketimbang menerima tawaran kesejahteraan palsu pemerintah, masyarakat Padarincang memilih mempertahankan alam dan menjaga kearifan lokalnya.
“Kami akan tetap mempertahankan wilayah kami, untuk menolak itu. Kelestarian alam yang memberikan berkahnya kepada masyarakat,” katanya.
Padarincang, katanya, daerah kaya dengan kesuburan tanah, air dan udara bersih. “Karena alam masih terjaga. Kami merasakan itu. Kami harus menjaga itu agar generasi mendatang bisa menikmati.”
Berbagai organisasi masyarakt sipil pun mendampingi warga seperti Pena Masyarakat, Walhi maupun Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Fanny Tri Jambore Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional mengatakan, PLTPb bisa menyebabkan kerusakan lingkungan. Dari mulai pembangunan, eksploitasi air tanah sampai menimbulkan konflik dengan masyarakat.
Rere, sapaan akrabnya bilang, hasil kajian Walhi bersama CELIOS di beberapa lokasi PLTPb menemukan, ada risiko seismik atau kegempaan. Selanjutnya, risiko penurunan muka air tanah.
“Secara umum ada perubahan bentang alam dan penurunan muka air tanah hilangnya sumber mata air atau kerusakan alam,” katanya.
Potensi kekeringan pun mengintai masyarakat sekitar PLTPb, termasuk di Padarincang kalau pembangkit beroperasi. Dalam pengoperasian, PLTPb perlu sangat banyak air untuk memproduksi uap yang kemudian menghasilkan listrik.
“Geothermal uap dihasilkan dari panas bumi tapi untuk menghasilkan uap membutuhkan air. Kemudian air itu didapatkan dari mana? Itu yang seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat.”
Gas beracun dari aktivitas PLTPb juga berpotensi menimbulkan korban. Dengan berbagai dampak negatif itu, Rere menilai, PLTPb bukan solusi efektif transisi energi.
“Geothermal ini solusi palsu karena pertama, tidak efektif, tidak signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca. Kedua, memiliki peta negatif, jangka panjang,” katanya.
Satu sisi, pemerintah justru mengklasifikasi PLTPb menjadi energi terbarukan yang sebelumnya termasuk sektor pertambangan. Hal itu dilakukan dengan mengubah Undang‑undang Nomor 27/2003 tentang Panas Bumi jadi UU Nomor 21/2014 tentang Panas Bumi.
Dengan UU itu, memudahkan PLTPb mendapat izin beroperasi di berbagai wilayah, seperti hutan lindung dan kawasan konservasi. Alih-alih transisi energi, katanya, PLTPb justru mengancam kelestarian ekosistem alam dan berisiko merusak lingkungan.
“Apalagi geotermal beroperasi pada wilayah yang cukup riskan, wilayah pegunungan hingga dengan bukan sebagai pertambangan bisa buka kawasan hutan lindung, konservasi. Punya potensi besar menyebabkan kerusakan terhadap wilayah-wilayah konservasi.”

Dewi Sartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Perbaruan Agraria (KPA) mengatakan, pemerintah seringkali tak melihat dampak sosial, ekonomi dan ekologis ketika mengeluarkan kebijakan soal proyek pembangunan. Tak pelak, konflik dengan masyarakat pun pecah.
“Ketika ada satu proyek perlu dilihat dampak sosial dan ekologis lebih jauh, bukan hanya on the spot dimana program itu akan dijalankan tapi dampak lebih jauh,” katanya.
Dia mengatakan, PLTPb memang tidak dibangun di pemukiman masyarakat tetapi lokasi berada di sumber kehidupan masyarakat.
Menurut dia, tata kelola pertanahan di Indonesia juga berantakan. Pemerintah Indonesia tak punya rencana pertanahan nasional atau land use planning untuk suatu pembangunan.
“Seperti geotermal itu kan harus dilihat juga ekosistem secara keseluruhan jadi apakah tepat proyek disana. Karena akan mempengaruhi juga masyarakat, terutama yang menggantungkan hidup pada tanah dan alam.”
Hal seperti itu, katanya, seringkali tak menjadi konsen pemerintah. Pemerintah justru sewenang-wenang membangun proyek tanpa persetujuan masyarakat.
Belum lagi, katanya, dalam proyek-proyek pembangunan termasuk pembangkit panas bumi ini tak ada perlindungan untuk masyarakat terdampak. Pemerintah, katanya, justru berpihak pada investor.
Dewi pun meminta, kebijakan proyek pembangunan harus berbasis kerakyatan, menuntaskan konflik agraria, dan memulihkan ekosistem.
Selain khawatir kerusakan alam, masyarakat Padarincang menolak pembangunan PLTPb juga was-was soal industrialisasi. Menurut Dewi, setiap proyek pembangunan berskala besar, diikuti industrialisasi.
“Proses industrialisasi di satu daerah akan makin masif, meluas hingga ancaman masyarakat makin dekat, kehilangan sumber mata air pencemaran alam, kerusakan alam, tanah juga akan makin didorong untuk terjadi liberalisasi pasar tanah.”
******
Jatuh Korban Berulang, Mengapa Panas Bumi Sorik Marapi Terus Jalan?