- Maraknya aktivitas pertambangan pasir dan batu (sirtu) merusak ekosistem Gunung Penanggungan, di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur
- Padahal Penanggungan merupakan gunung suci berstatus kawasan cagar budaya yang menyimpan berbagai peninggalan arkeologi penting seperti candi dan gua pertapaan
- Pertambangan sirtu mengakibatkan lahan kritis makin meluas yang menyebabkan seringnya terjadi banjir di Kabupaten Pasuruan. Data Forum DAS Pasuruan (FDP) menyebutkan total lahan kritis di Pasuruan mencapai 31.873 hektar, dengan 2.500 hektar merupakan tambang sirtu
- Pemkab Pasuruan sempat berkirim surat ke Pemprov Jatim untuk menolak keberadaan tambang sirtu karena tidak sesuai tata ruang dan berada di zona lindung
Sejumlah pekerja terlihat sibuk bekerja menggunakan alat berat. Mereka mengeruk material pasir dan batu (sirtu) di lokasi tambang di lereng Gunung Penanggungan, Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Material sirtu itu kemudian dimasukkan ke bak beberapa dump truck yang ada di lokasi tambang. Setelah bak penuh, dump truk yang sarat muatan itu hilir mudik melaju menelusuri jalan desa yang tak seberapa luas. Tidak mengherankan bila akhirnya permukaan jalan desa itu banyak bergelombang dengan lubang disana-sini.
“Gimana nggak rusak mas, wong setiap hari dilalui dump truck kayak begini,” kata Muhammad Amin, salah satu pemuda desa setempat kepada Mongabay, awal Mei lalu. Amin dan warga lainnya sejatinya merasa terganggu dengan hadirnya tambang tersebut. Sebab, selain merusak ekosistem, tambang itu juga dinilainya kontra produktif dengan status desanya sebagai desa wisata cagar budaya.
“Masa, kita susah-susah membangun pariwisata berbasis desa, tapi ada tambang. Kan lucu. Mau protes juga kami tidak tahu harus kemana” terangnya.
Keluhan yang sama disampaikan Jauharul Lutfi, tokoh pemuda desa yang lainnya. Menurutnya, hadirnya tambang tersebut akan menghilangkan tutupan lahan dan mengubah bentang alam desa setempat. Jika sudah begitu, dampak turunannya pasti panjang.
“Lokasinya kan di dataran tinggi karena di lereng gunung. Kalau lahan-lahan yang ada ini ditambang, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh kami. Tapi juga daerah-daerah yang ada di bawah,” jelas Lutfi.
Secara khusus, keberadaan tambang sirtu itu dinilai kontra produktif dengan status desanya sebagai desa wisata. Terlebih lagi, Gunung Penanggungan yang memang memiliki banyak warisan sejarah itu, telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
“Ini kan tidak konsisten. Di satu sisi pemerintah memberi ruang pengelolaan secara berkelanjutan dalam rangka pelestarian. Tetapi, dalam waktu yang sama izin tambang terus dikeluarkan, ” jelasnya.
Baik Amin maupun Luthfi tak tahu menahu bagaimana awal izin tambang itu terbit hingga akhirnya beroperasi. Yang pasti, ia dan warga lainnya tak pernah dimintai pendapat, apalagi persetujuan sebelum izin tersebut diterbitkan.
Baca : Kala Jaksa Nilai Hukuman Bos Tambang Ilegal di Pasuruan Terlalu Ringan, Dana Ngalir ke Kas Daerah?

Cagar Budaya Internasional
Arkeolog Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Kemenristekdikti, Andi M Said mengakui, aktivitas pertambangan memang menjadi ancaman ekosistem Gunung Penanggungan. Padahal, Penanggungan yang telah ditetapkan sebagai satuan geografis atau kawasan cagar budaya itu menyimpan berbagai peninggalan arkeologi. Seperti struktur candi, gua pertapaan, hingga infrastruktur jalan.
“Selain itu ada juga punden yang hingga kini masih menyimpan misteri. Apakah punden tersebut bagian dari tradisi masa prasejarah atau sesuatu yang berkembang pada masa Hindu Budha. Ini yang saya kira masih memerlukan banyak kajian,” jelasnya kepada Mongabay, pertengahan Mei lalu.
Said mengungkapkan, selama ini, Penanggungan dipercaya sebagai gunung suci. Sebuah laporan yang dibuat oleh Belanda, katanya, menyebut bahwa empat petirtaan, seperti Candi Jolotundo dan Candi Belahan menjadi tempat bersuci sebelum naik ke candi yang daerah atasnya yang jumlahnya sangat banyak.
Hasil pendataan terakhir oleh Universitas Surabaya (Ubaya) bersama Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) wilayah Jawa Timur, ditemukan lebih dari 200 peninggalan arkeologi di Penanggungan. Salah satu temuan penting dari pendataan itu adalah keberadaan dua jalur kuno yang menghubungkan daerah bawah hingga ke puncak.
Menurut Said, kedua jalur tersebut cukup lebar, sekitar tiga meter dan diperkirakan cukup untuk kereta kuda. Satu jalur melingkari seluruh badan gunung dengan pola seperti obat nyamuk. Satu jalur lainnya berbentuk zig-zag yang juga berakhir di puncak gunung.
Hal menarik dari temuan ini, pada setiap belokan, kondisi jalan terlihat lebih luas. Dengan begitu, sangat mungkin itu dibuat untuk pendaki atau kereta kuda putar balik atau ketika berpapasan dengan kereta lain dari atas.
Said pun meyakini jumlah peninggalan arkeologi yang terdata tersebut akan bertambah menyusul proses pendataan yang masih berlangsung dan banyak spot yang belum terjangkau. “Karena ada banyak laporan yang masuk,” jelasnya.
Baca juga : Antisipasi Banjir, Lahan Kritis di Pasuruan Perlu Penanganan Serius

Hanya saja, kendati menyimpan kekayaan alam dan juga sejarah yang melimpah, Penanggungan dihadapkan berbagai ancaman. Tak terkecuali oleh kegiatan pertambangan dan industri, terutama di sisi utara dan timur Penanggungan. Ngoro Industrial Park bahkan hanya berjarak sekitar 300 meter dari situs Candi Jedong.
Melihat begitu banyaknya warisan sejarah di Penanggungan, Said pun mendorong peningkatan status sebagai kawasan cagar budaya tingkat nasional, bahkan internasional. Saat ini, status kawasan cagar budaya itu baru di tingkat provinsi.
“Karena satuan geografis berupa gunung dengan temuan sebanyak ini, hanya ada di Penanggungan. Dan itu mewakili beragam aliran kepercayaan yang berkembang saat itu. Tidak terbatas ruang dan waktu,” tambahnya.
Daerah Resapan Air
Sedangkan Amin Widodo, ahli geologi asal ITS Surabaya mengatakan, sebagai gunung kecil, Penanggungan banyak menyimpan benda purbakala. Termasuk keberadaan saluran-saluran air yang terbuat dari batu andesit. “Dan itu sulit dibuat,” jelasnya.
Secara geologi, lanjutnya, Penanggungan merupakan bagian dari Gunung Arjuno yang ada di sisi selatan. Ia terbentuk sebagai hasil tumbukan lempeng Indo-Australia dan Euroasia, tercipta dari endapan lava akibat letusan sekitar 10 ribu tahun lalu. Tidak mengherankan bila di kawasan ini memiliki banyak gundukan. Seperti puncak Bekel, Kendali Seto, Sarah Kelopo, Gajah Mungkur dan juga puncak Penanggungan itu sendiri.
Menurut Amin, sebagai gunung kecil, Penanggungan memiliki banyak keunikan, terutama di bagian puncak yang terlihat kering kerontang, seperti Gunung Semeru. Padahal, Penanggungan bukan termasuk gunung aktif.
“Ini aneh dari sisi geologi. Ada sesuatu yang membuat daerah puncak tidak bisa ditumbuhi tanaman keras,” jelasnya. Apa yang terjadi pada Gunung Kelud bisa menjadi perbandingan. Menurutnya, setelah meletus pada 2014 lalu, Gunung Kelud sudah kembali menghijau. Sementara Penanggungan hanya ditumbuhi padang rumput.
Baca juga : Banjir Pasuruan Tertinggi dalam Belasan Tahun, Perubahan Bentang Lahan Perlu Jadi Perhatian

Bagi Amin, sangat penting untuk menjaga ekosistem di Penanggungan. Sebab, selain kaya akan peninggalan sejarah, gunung ini juga merupakan daerah resapan air. Dengan begitu, berkurangnya tutupan akibat tambang akan mengancam ketersediaan air di masa depan.
Ketika hutan masih terjaga, lanjutnya, 80 persen air hujan masuk meresap ke dalam tanah. Sebaliknya, ketika tutupan berkurang karena deforestasi, air hujan yang harusnya meresap pada akhirnya melimpas dan menyebabkan terjadinya banjir.
“Ini menjadi sangat penting untuk menjaga kawasan hutan. Terutama yang ada di dataran tinggi karena ia akan menjadi pemicu terjadinya banjir,” jelasnya. Dampak lainnya, sumber-sumber air yang ada di sekitar juga akan mengecil, bahkan mati.
Salah satu contohnya adalah Sumber Tetek yang dinilainya sebagai bentuk praktik penerapan pengelolaan air. Begitu juga dengan di Jolotundo yang dibangun 899 Masehi. Karena itu, menurut Amin, sangat penting mendorong pemanfaatan ruang di sekitar Penanggungan dilakukan secara ketat.
“Banyak lokasi tambang yang bertabrakan dengan batas-batas cagar budaya. IUP (izin usaha pertambangan) sebagian besar masuk ke dalam. Ini mestinya harus ada kesepakatan bersama antara ESDM, BPK dan juga pihak terkait,” terangnya.
Data yang diperoleh Mongabay, beberapa konsesi tambang yang sempat menuai polemik, diantaranya tambang milik CV. Jaya Corpora seluas 15,2 hektar. Pada September 2022 lalu, Pemkab Pasuruan bahkan sempat berkirim surat ke Pemprov Jatim untuk menolak keberadaan tambang tersebut karena tidak sesuai tata ruang dan berada di zona lindung.
Amin menjelaskan, pemotongan atau pengupasan lahan akan menghabiskan lapisan tanah di atas hilang. Hal itu berpotensi menyebabkan erosi yang pada akhirnya memicu sedimentasi pada sungai. Akibatnya, sungai-sungai menjadi dangkal.
Selain itu, hal tersebut juga dapat mempertajam sudut kemiringan yang akhirnya meningkatkan resistensi terjadinya longsor. Dampak lainnya, muka air tanah juga menjadi lebih turun. “Dengan begitu, air menjadi lebih dalam. Ini yang kadang tidak disadari”.
Amin mendorong pemerintah menetapkan satuan kawasan geografis Penanggungan sebagai geopark, sesuai dengan PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional. Menurut Amin, penetapan ini bisa memberi jaminan pelestarian Penanggungan yang kaya akan sumber daya alam dan juga sejarah.
Baca juga : Perubahan Bentang Picu Krisis Ekologi Kawasan Pantai

Lahan Kritis Meluas
Maraknya pertambangan pasir dan batu (sirtu) merupakan salah satu penyebab masifnya alih fungsi lahan yang mengakibatkan meluasnya lahan kritis di Kabupaten Pasuruan. Kondisi lahan kritis ini membuat, Pasuruan sering dilanda banjir beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan peta jalan pengelolaan DAS dari Forum DAS Pasuruan (FDP), total lahan kritis di Pasuruan mencapai 31.873 hektar. Rinciannya, 16.204 hektar kritis. Sisanya 15.668 hektar sangat kritis.
Sedangkan luas tambang sirtu mencapai 2.500 hektar lebih dengan setidaknya 80 IUP. Dari jumlah itu, mayoritas di wilayah DAS Rejoso, sekitar 72 izin tambang. Jumlah itu merupakan tambang yang berizin. Belum tambang yang ilegal.
“Itu hanya data tambang berizin. Ada banyak lokasi-lokasi tambang tidak berizin,” kata Lujeng Sudarto, Direktur Pusat Studi Advokasi Kebijakan (Pusaka) dikutip dari berita Mongabay Indonesia sebelumnya.
Melihat dampak dari alih fungsi lahan ini, Lujeng pun mendesak pemerintah tak lagi menerbitkan izin tambang baru. Dia mengusulkan pemerintah fokus merehabilitisi kawasan guna mengurangi dampak lebih parah di masa mendatang.
Dia bilang, memang ada kontribusi pendapatan daerah dari tambang-tambang ini. Namun, katanya, kerugian dampak kerusakan lingkungan jauh lebih besar daripada pemasukan daerah seperti kerusakan jalan dan terjadinya banjir parah yang berulang. Terlebih lagi, dari tambang itu, hampir semua tak lakukan reklamasi.
Terpisah, Kepala Dinas ESDM Provinsi Jatim Nur Kholis yang dikonfirmasi, pada awal Juni lalu terkait IUP dan luas pertambangan sirtu ini enggan memberikan banyak keterangan. Ia bilang, sampai saat ini perda tata ruang masih dalam tahap finalisasi. “Ketemu saja di kantor kalau ada waktu,“ ujarnya singkat. (*)