- Kontroversi terus mengalir menyikapi kebijakan pemerintah yang mau bagi-bagi izin konsesi tambang kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Begitu pula ketika organisasi keagamaan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengajukan izin untuk mendapatkan konsesi tambang batubara tokoh muda dan kader NU pun mengkiritiknya.
- Inayah Wahid, Koordinator Pokja Keadilan Ekologi Jaringan Gusdurian mengatakan, sikap PBNU jalan terus seolah menafikan penderitaan para korban di tingkat tapak.
- Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengatakan, posisi NU seharusnya menjadi garda terdepan mengawasi tambang dan mengawal serta mendampingi para korban.
- Roy Murtadho, Koordinator Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) mengatakan, keputusan PBNU mengelola tambang batubara itu sebagai keberhasilan para oligargi menyeret organisasi ini ke dalam pusaran para perusak lingkungan. Pada gilirannya, NU akan menjadi bumper ketika terjadi protes atau gejolak di masyarakat.
Kontroversi terus mengalir menyikapi kebijakan pemerintah yangmau bagi-bagi izin konsesi tambang kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Konsesi tambang batubara di Kalimantan Timur, jadi sesi awal yang akan diberikan kepada ormas keagamaan. Begitu pula ketika organisasi keagamaan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengajukan izin untuk mendapatkan konsesi tambang batubara di Kalimantan Timur dan nyatakan sudah bikin perusahaan tambang. Tokoh muda dan kader NU pun mengkiritik dan memberikan pandangan agar ormas Islam terbesar di Indonesia itu mempertimbangkan matang sebelum melangkah lebih jauh.
Inayah Wahid, Koordinator Pokja Keadilan Ekologi Jaringan Gusdurian mengatakan, sikap PBNU jalan terus seolah menafikan penderitaan para korban di tingkat tapak.
“Ini sudah menjadi pembicaraan di tingkat global bagaimana kita melakukan transisi. Lha ini kok malah mau ambil. Mbok itu dipikir perasaan para korban di tapak, “ kata puteri Presiden keempat Indonesia Abdurrahman Wahid dalam diskusi yang diadakan Jatam, baru-baru ini.
Bagi Inayah, dampak tambang begitu besar ketimbang manfaatnya. “Kalau pun ada yang bisa bikin tambang lebih ramah, ya ormas mendorong supaya itu diterapkan. Bukan ormasnya ikut-ikutan nambang,” kata Inayah.
Salah satu tugas NU, adalah menjaga supaya bangsa dan pemerintahan ini berjalan dengan benar. Demikian pula dalam konteks pertambangan, NU dapat berperan memastikan keadilan bagi para korban.
“Kalau ikut nambang, ya gimana bisa bareng mustadafin. Ada potensi lain untuk dimanfaatkan dan diolah untuk menjadi sumber pendanaan tanpa harus menjadi bagian perusak lingkungan.”
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengatakan, posisi NU seharusnya menjadi garda terdepan mengawasi tambang dan mengawal serta mendampingi para korban.
“Ada banyak aspek yang menjadi pertimbangan apakah itu layak diambil atau tidak. Baik secara regulasi maupun daya rusaknya, “ katanya.

Sayangnya, PBNU tidak jadikan pertimbangan berbagai dampak buruk tambang dengan berdalih akan mewujudkan tambang berkelanjutan. Sekalipun dalam kenyataan itu tidak pernah ada.
Riset Jatam menyebut, sepanjang 2011-2024, sebanyak 178 nyawa melayang di lubang bekas tambang yang tak tereklamasi, 48 berada di Kaltim dan sebagian korban adalah anak-anak.
Randi Muhammad Gumilang, akademisi dan pemuda NU asal Kalimantan Timur mengatakan, Kaltim bukanlah ruang kosong yang tanpa manusia. Karena itu, seyogyanya pemerintah mengkomunikasikan berbagai kebijakan yang dibuat dengan masyarakat setempat, termasuk urusan bagi-bagi izin konsesi tambang ke ormas keagamaan ini.
Sebagai warga Kaltim, dia tahu betul bagaimana dampak industri ekstraktif selama ini. Dia pun berharap, PBNU mempertimbangkan ulang keputusannya.
“Karena tidak pernah ada tambang yang ramah lingkungan. Yang terjadi justru perlu waktu puluhan tahun untuk memperbaiki lingkungan yang rusak.”
Roy Murtadho, Koordinator Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) juga tokoh muda NU menyebut, klaim PBNU akan menerapkan praktik pertambangan ramah lingkungan itu kontradiktif. Pertambangan, katanya, lekat dengan perusakan lingkungan.
Saat awal kegiatan, tambang mulai dengan pengupasan lahan, penghancuran ruang hidup hingga pembabatan hutan. Di banyak tempat, tambang bahkan diwarnai dengan pengusiran masyarakat adat dan jadi sumber konflik.

Klaim praktik tambang ‘hijau’ (green mining practice) juga tidak pernah terbukti. Alih-alih, lubang-lubang bekas tambang yang tidak terreklamasi itu justru menjadi ‘kuburan’ bagi sebagian anak di sekitar area terdampak. “Orang awam saja bisa melihat. Tambang-tambang yang selama ini dikelola perusahaan swasta profesional saja berantakan. Apalagi ini?”
Roy mengatakan, salah satu visi besar NU adalah menjaga jagad yang merupakan bagian dari pengejawantahan konsep rahmatan lil alamin (keselamatan bagi semua), termasuk lingkungan. Untuk itu, sikap PBNU yang bersikukuh berbisnis tambang dinilai menegasikan komitmen ini.
Dia tak mengelak kalau sejak dulu praktik pertambangan sudah ada, bahkan sejak logam ditemukan. Tetapi, tambang yang berlaku saat itu secara terukur dan berdasar kebutuhan. Bukan untuk menumpuk untung.
Saat ini, situasi sudah jauh berubah. Tambang oleh banyak korporasi besar untuk mengejar keuntungan dan menjadi sumber emisi besar di muka bumi, terlebih batubara. Inilah yang mendorong dia dan sejumlah tokoh muda NU bersikukuh dan mengingatkan pengurus di jajaran PBNU untuk berpikir ulang.
Apalagi, katanya, saat ini situasi bumi sedang tidak baik-baik saja. Suhu global imbas emisi yang tak terkendali mengancam kehidupan manusia.
“Inilah mengapa kita butuh transisi besar. Tugas kita mendorong itu,” kata pendiri Ponpes Ekologi Misykatul Anwar, Bogor ini.
Celakanya, saat dunia sudah bersepakat transisi energi, PBNU dengan berbagai dalih justru berhasrat menambang batubara yang berarti jadi bagian dari perusak bumi.
“Masak sih NU mau ngurusin begini. Hari ini tugas kita itu menarik rem gerbong kereta agar bumi tidak makin rusak. Maka tugas masyarakat sipil, termasuk NU untuk menjadi gerbong dan imam. Kalau tidak, kita nyemplung ke jurang semua.”
Dia nilai, keputusan PBNU mengelola tambang batubara itu sebagai keberhasilan para oligarki menyeret organisasi ini ke dalam pusaran para perusak lingkungan. Pada gilirannya, NU akan menjadi bumper ketika terjadi protes atau gejolak di masyarakat.
“Saya khawatir NU telah masuk jebakan para oligarki. Saya tidak bisa membayangkan ketika ke depan, NU akan berhadapan dengan para Nahdiyin yang menjadi korban tambang. Bukan tidak mungkin itu akan terjadi.”

Bukan bisnis instan
Zulfatun Mahmudah, warga NU yang juga bekerja di perusahaan tambang memberikan ulasan menarik terkait sikap NU yang ngotot berbisnis tambang. Menurut dia, pernyataan PBNU terkait kebutuhan pendanaan organisasi sejatinya hal biasa. Namun, jadi tidak biasa karena cara yang ditempuh untuk menutupi kebutuhan dana dengan bermain tambang.
Keputusan itu, katanya, mengisyaratkan menambang adalah jalan menyelamatkan kondisi keuangan organisasi. Kalau demikian cara berpikirnya, perlu kalkulasi mendalam dengan melihat persoalan tambang dari segala sudut pandang.
Pertambangan, merupakan bisnis yang tidak bisa instan dalam meraup untung. Ada banyak tahapan sebelum komoditas tambang masuk pasar. Beberapa perusahaan besar bahkan memerlukan waktu bertahun-tahun hanya untuk eksplorasi.
Begitu juga dengan tahap konstruksi, seperti penyiapan crusher, coal preparation plant, overland conveyor, stacker, reclaimer dan shiploader bisa jadi memerlukan puluhan tahun. Bahkan, katanya, ketika pengurus PBNU sekarang lengser, belum tentu perjalanan tambang membuahkan hasil.
Selain persiapan yang panjang, hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah tambang memerlukan investasi dalam jumlah besar.
“Pertanyaannya, apakah NU siap dengan dana itu? Karena menjadi kontradiktif ketika NU membutuhkan biaya untuk menghidupi organisasi, di sisi lain harus berinvestasi dengan nilai yang sangat tinggi.”
Merujuk pada NU yang belum pengalaman dalam mengelola tambang, sangat mungkin organisasi ini akan melibatkan pihak ketiga. Dengan kata lain, NU hanya akan menjadi penyedia jasa perantara bisnis tambang. Keuntungan NU, katanya, hanya berupa fee dari pihak ketiga.

Tambang, terutama batubara adalah industri sarat dengan isu, baik sosial maupun lingkungan. Menambang, katanya, juga bukan proses instan yang bisa mengembalikan modal dengan cepat apalagi keuntungan.
“Kalau pun untung, seberapa besar? Karena kewajiban yang harus dibayarkan juga relatif besar,” tulis Mahmudah dalam blog pribadinya.
Dia menyebut, keuntungan yang didapat PBNU dipastikan akan makin kecil bila dalam pelaksanaannya, organisasi ini melibatkan pihak ketiga. “Kalkulasi itu belum termasuk ambruknya reputasi, sebuah aset non material yang bisa jadi ikut melayang,” tulis kandidat doktor budaya dan media di Universitas Gadjah Mada ini.
Reputasi bukanlah aset berwujud materii tetapi dalam konteks strategis, reputasi merupakan aset tak berwujud yang bisa berdampak pada keuntungan finansial. “Nah, keputusan PBNU yang hendak berbisnis tambang batubara, sedikit banyak mempengaruhi reputasi ini.”
Menurut dia, munculnya penolakan dari grassroot dan sejumlah tokoh dan kader muda NU menjadi bukti akan goyahnya reputasi itu. “NU dianggap sebagai organisasi yang tidak konsisten dengan berbagai keputusan yang diambil sebelumnya terkait pengurangan penggunaan energi fosil.”
Swary Utami Dewi, warga NU asal Kalimantan Tengah berharap NU benar-benar berpikir ulang dengan keputusannya. Dia benar-benar merasa terpukul dengan sikap PBNU yang begitu berhasrat berbisnis tambang.
“Sekarang 1,5 derajat pemanasan global dan perlu kerja keras mencegahnya. Tidak usah membuat narasi tambang ramah, karena fakta di lapangan tidak pernah ada,” ujar Tami.
“Kalau kemudian dalihnya untuk kesejahteraan, untuk siapa? Faktanya, sampai hari tidak ada penegakan hukum atas tewasnya ratusan korban di lubang bekas tambang itu?” kata Jamil.
Pun demikian dengan kemiskinan. Menurut Jamil, Kutai Timur, merupakan daerah tambang terbanyak. Pada periode 2011-2015 justru masuk salah satu daerah termiskin di Indonesia.
Negara, kata Jamil, tiidak pernah menghitung kerugian masyarakat terdampak sebagai kerugian atau ongkos yang harus dibayar. “Semua kerugian itu jadi beban masyarakat.”
*******
PBNU Ajukan Izin Tambang Tuai Protes dari Tokoh Mudanya, PGI Menolak