- Perusahaan sawit, PT Astra Agro Lestari Tbk (AAL) rupanya masih terus terlilit persoalan tata kelola sawit dengan kebun ilegal di dalam kawasan hutan di Indonesia. Beberapa anak perusahaan masih terus beroperasi tanpa izin yang diperlukan. Intimidasi dan kriminalisasi kepada para pejuang hak lingkungan hidup juga masih terjadi.
- Laporan terbaru Friends of the Earth Amerika Serikat, Walhi, dan Milieudefensie berjudul “Memupuk Konflik: Cara Astra Agro Lestari, berbagai Merek, dan Lembaga Keuangan Besar Memanfaatkan Kesenjangan Tata Kelola di Indonesia,” pada Juni 2024. Laporan itu, menyebutkan, konflik lahan berlarut-larut, kegagalan tata kelola, dan kurangnya pertanggungjawaban mewarnai operasi AAL di Indonesia. Bahkan, pelanggaran lingkungan dan tata kelola AAL lebih luas daripada dokumentasi sebelumnya.
- Analisis data spasial dan pemetaan Genesis Bengkulu yang menjadi dasar laporan itu menemukan, AAL memiliki 41 anak perusahaan dan 32 pabrik sawit (PKS) di area seluas 357.624 hektar yang tersebar di delapan provinsi. Area konsesi terbesar PT AAL berlokasi di Sulawesi Tengah dengan luas hampir 86.000 hektar. Angka itu jauh lebih besar dari angka yang situs PT AAL.
- Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional mengatakan, perampasan lahan, pelanggaran HAM, dan operasi ilegal PT AAL seharusnya menjadi peringatan. Pemerintah Indonesia, katanya, harus memastikan pengembalian lahan kepada masyarakat dan petani yang diambil PT AAL tanpa persetujuan.
Perusahaan sawit, PT Astra Agro Lestari Tbk (AAL) rupanya masih terus terlilit persoalan tata kelola sawit dengan kebun ilegal di dalam kawasan hutan di Indonesia. Beberapa anak perusahaan masih terus beroperasi tanpa izin yang diperlukan. Intimidasi dan kriminalisasi kepada para pejuang hak lingkungan hidup juga masih terjadi.
Laporan terbaru Friends of the Earth Amerika Serikat, Walhi, dan Milieudefensie berjudul “Memupuk Konflik: Cara Astra Agro Lestari, berbagai Merek, dan Lembaga Keuangan Besar Memanfaatkan Kesenjangan Tata Kelola di Indonesia,” pada Juni 2024. Laporamn itu,
menyebutkan, konflik lahan berlarut-larut, kegagalan tata kelola, dan kurangnya pertanggungjawaban mewarnai operasi AAL di Indonesia. Bahkan, pelanggaran lingkungan dan tata kelola AAL lebih luas daripada dokumentasi sebelumnya.
Alih-alih menyelesaikan pelanggaran yang dibuat, AAL tidak melakukan remediasi atas kerugian yang ditimbulkan, atau tidak banyak perubahan di lapangan. Sebaliknya, perusahaan sawit terbesar kedua di Indonesia ini masih terus memanfaatkan lemahnya tata kelola dan proses administrasi di Indonesia untuk memupuk konflik di Sulawesi dan sekitarnya.
Laporan ini mengungkapkan bagaimana pelanggaran lingkungan dan tata kelola AAL lebih luas daripada yang terdokumentasi sebelumnya, termasuk penanaman sawit ilegal di dalam kawasan hutan. Bahkan, beberapa anak perusahaan AAL yang beroperasi tanpa izin yang diperlukan.
Analisis data spasial dan pemetaan Genesis Bengkulu yang menjadi dasar laporan itu menemukan, AAL memiliki 41 anak perusahaan dan 32 pabrik sawit (PKS) di area seluas 357.624 hektar yang tersebar di delapan provinsi. Area konsesi terbesar AAL berlokasi di Sulawesi Tengah dengan luas hampir 86.000 hektar. Angka itu jauh lebih besar dari angka yang situs AAL.
Egi Ade Saputra, Direktur Eksekutif Genesis Bengkulu mengatakan, dengan data dari Indonesia Geospasial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusantara Atlas, dan Citra Satelit Planet, mereka menemukan luasan kebun sawit AAL.
“Semua data itu kita lakukan tumpang susun dengan data resmi kawasan hutan dari KLHK. Hasilnya, kita menemukan luas kebun sawit AAL 357.624 hektar. Angka itu jauh lebih besar dari angka yang di situs AAL,” kata Egi kepada Mongabay, 26 Juni lalu.
Meski begitu, katanya, ada lima anak perusahaan AAL tidak ada data konsesinya. Perusahaan itu antara lain, PT Suryaraya Lestari, PT Bhadra Sukses, PT Gunung Sejahtera Raman Permai, PT Sumbur Kharisma Persada, dan PT Persada Dinamika Lestari.
Berarti, kata Egi, luas kebun sawit AAL bisa jauh lebih besar dari data yang ditemukan.
Genesis Bengkulu juga menemukan, ada 17 konsesi anak perusahaan AAL tumpang tindih dengan lebih dari 17.664 hektar kawasan hutan di enam provinsi, yaitu Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah.
Detailnya, 17.664 hektar kebun sawit dari 17 konsesi anak perusahaan AAL itu berada dalam kawasan hutan Indonesia dengan fungsi cagar alam (54.94 hektar), dan hutan lindung (2.005,23 hektar. Lalu, hutan produksi terbatas (2.014,90 hektar), hutan produksi tetap (6.310,68 hektar), dan hutan produksi konversi (7.211,79 hektar).
Sedangkan, 74% dari konsesi AAL di kawasan hutan berlokasi di Sulawesi. Ada delapan anak perusahaan AAL tumpang tindih dengan lebih dari 13.007,29 hektar kawasan hutan di Sulawesi.
Tak hanya tumpeng tindih dengan kawasan hutan, Genesis Bengkulu juga temukan, ada 14 anak perusahaan AAL berada dalam kawasan hutan terlihat membuka lahan (land clearing) dengan luasan mencapai 10.321 hektar sejak 2015-2023. Temuan itu menggunakan metode analisis digital perhitungan nilai normalized difference vegetation index (NDVI) terhadap citra satelit planet 2015-2023.
Bahkan, kata Egi, hasil interpretasi citra Google Satelit tahun 2015 menemukan, ada 4.337 hektar sawit di 14 anak perusahaan AAL itu berada dalam kawasan hutan. Hingga 2023, ada delapan anak perusahaan AAL telah memperluas kebun dengan tambahan 534 hektar.
Sekitar 1.100 hektar kebun sawit di dalam kawasan hutan di luar hutan produksi konversi, satu-satunya kategori hutan yang dapat dikonversi secara legal. Pembukaan kebun sawit di luar HPK itu, katanya, disinyalir melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
“Genesis Bengkulu tidak menganalisis perkebunan AAL di luar area konsesi, artinya area perkebunan AAL di dalam kawasan hutan bisa saja jauh lebih luas,” kata Egi.
Bukan hanya itu, laporan itu juga menemukan, ada tiga anak perusahaan AAL beroperasi tanpa HGU. Ketiga perusahaan itu PT Agro Nusa Abadi (ANA), PT Sawit Jaya Abadi (SJA), dan PT Rimbunan Alam Sentosa (RAS).
Riset itu menyebut, tidak ada HGU di tiga anak perusahaan AAL itu disinyalir bisa jadi bentuk penghindaraan pajak. Ketiga anak perusahaan AAL ini diduga jadi bagian dari 43 perusahaan di Sulawesi Tengah yang merugikan negara Rp400 miliar (lebih US$25,5 juta dolar) dalam satu tahun karena tidak mengajukan permohonan izin yang diperlukan.
Laporan itu menyebut, ada dua anak perusahaan AAL di Sulawesi, yakni, PT Pasangkayu dan PT Letawa, yang belum menerima surat pelepasan kawasan hutan. Temuan itu berdasarkan hasil audiens Walhi dan KLHK pada Mei 2024. Dengan demikian, operasi kedua perusahaan diduga ini melanggar hukum.
Pada 2022, Mongabay juga pernah menulis secara mendalam soal Pasangkayu di antara dua provinsi, yaitu, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Berdasarkan hasil analisis Citra Satelit Sentinel Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu) menemukan, anak perusahaan AAL ini terbukti merambah kawasan hutan.
Laporan itu juga menyebut, perusahaan besar seperti ADM, Bunge, Cargill, Fuji Oil, Louis Dreyfus, dan Olam masih membeli minyak sawit dari PKS yang terafiliasi dengan anak perusahaan AAL yang terlibat persoalan, yakni, PT Agro Nusa Abadi (ANA), PT Lestari Tani Teladan (LTT), dan PT Mamuang . Adapun Apical, KLK, Musim Mas, Sime Darby, dan Wilmar juga masih membeli minyak sawit dari anak perusahaan AAL lainnya.
Sebanyak 29 penyedia pembiayaan telah mencoret perusahaan induk AAL, Jardine Matheson, atau anak perusahaannya dari pembiayaan karena masalah lingkungan. Beberapa pihak lain, termasuk BlackRock, HSBC, dan dana pensiun Belanda ABP ternyata masih terus memberikan pembiayaan cukup besar kepada AAL dan perusahaan induknya.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional mengatakan, perampasan lahan, pelanggaran HAM, dan operasi ilegal AAL seharusnya menjadi peringatan. Pemerintah Indonesia, katanya, harus memastikan pengembalian lahan kepada masyarakat dan petani yang diambil AAL tanpa persetujuan.
“Kementerian Agraria dan Tata Ruang harus menyelidiki peta dan izin AAL dan memastikan akses terbuka terhadap data ini,” katanya melalui rilis yang diterima Mongabay 25 Juni lalu.
Dia meminta, Komnas HAM menyelidiki pelanggaran lingkungan dan kasus HAM AAL dan transparan melaporkan hasil dari proses itu. Dia tegaskan, perusahaan-perusahaan perkebunan yang melanggar hukum dan peraturan perizinan di Indonesia harus dicabut atau kurangi izinnya.
“Untuk melindungi hutan-hutan Indonesia yang tersisa, ekspansi perkebunan di dalam kawasan hutan harus dihentikan,” kata Uli.
Danielle van Oijen, Koordinator Program Hutan Internasional Milieudefensie meminta para pemodal dan pembeli minyak sawit berhenti mempromosikan perluasan perkebunan industri. Hal itu sebagai bentuk menghentikan deforestasi dan pelanggaran HAM, dan mendorong adanya pergeseran ke pengelolaan hutan oleh masyarakat.
“Melanjutkan pembelian dari AAL memiliki risiko deforestasi, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia. Badan-badan penegak hukum di Uni Eropa harus menyelidiki secara menyeluruh semua pengiriman produk AAL untuk memastikan kepatuhan terhadap Peraturan Deforestasi Eropa.”
***
Sebelumnya, pada Maret 2022, Walhi dan Friends of the Earth Amerika Serikat juga membuat laporan tiga anak perusahaan AAL, yakni, PT Agro Nusa Abadi (ANA), LTT, dan Mamuang yang terang-terangan melakukan pelanggaran lingkungan hidup dan HAM di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Tiga perusahaan itu diduga terlibat dalam konflik tanah berkepanjangan dengan masyarakat lokal di Sulteng dan Sulbar. Bahkan, tiga perusahaan itu dituduh merampas tanah dengan kekerasan.
Selain itu, tiga perusahaan itu juga dinilai terlibat dalam penggundulan hutan ilegal, perambahan hutan, polusi tanah, udara, dan air yang berdampak negatif terhadap mata pencaharian masyarakat. Tak satupun dari tiga perusahaan menerima persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat lokal saat beroperasi.
ANA, misal, tidak memiliki sertifikat HGU, izin resmi yang memberikan hak kepada perusahaan untuk mengolah tanah. Perusahaan diduga melakukan pengambilalihan paksa lahan seluas 5.000 hektar meski klaim kepemilikan masyarakat didokumentasikan melalui surat keterangan tanah (SKT).
Sedangkan, LTT secara tidak sah mengklaim 1.505 hektar tanah masyarakat dalam izin HGU dan beroperasi di 321 hektar di luar konsesi. Mamuang secara ilegal menempati 255 hektar kawasan hutan lindung.
Walhi Sulawesi Tengah mencatat setidaknya ada 10 orang menghadapi tuntutan pidana yang diajukan oleh tiga anak perusahaan AAL itu. Sebagian besar dari yang dilaporkan dituduh mencuri buah kelapa sawit, menduduki lahan tanpa izin, dan memberikan ancaman.
Namun, Manajer Media Dan Hubungan Masyarakat AAL, Mochamad Husni, membantah tuduhan ini, dan mengatakan perusahaan maupun anak usaha memiliki semua izin, yang diperoleh melalui prosedur benar.
Tofan Mahdi, Senior Communications and Public Affairs Officer AAL juga mengatakan, tuduhan pelanggaran HAM, perampasan tanah, dan degradasi lingkungan yang dilontarkan kelompok lingkungan Friends of The Earth (FoE) terhadap AAL “tidak berdasar” dan tidak mencerminkan kondisi nyata di lapangan.
Para pembeli dan penyedia pembiayaan perusahaan ini dipaksa memberikan tanggapan. Alhasil, sebanyak 10 perusahaan barang konsumen mengumumkan menangguhkan pembelian minyak sawit dari AAL atau tiga anak perusahaannya yang terlibat.
Sepuluh perusahaan barang konsumen itu, Kellogg’s, PepsiCo, FrieslandCampina, Danone, Hershey’s, Nestlé, Procter & Gamble, Mondelēz, Colgate-Palmolive, dan L’Oréal.
Pada 2024, Norges Bank juga mengeluarkan perusahaan induk AAL, yaitu Jardine Matheson Holdings, Jardine Cycle & Carriage dan Astra International, dari Dana Pensiun Global Pemerintah Norwegia (GPFG). Keputusan itu diambil karena AAL dinilai telah memberikan dampak negatif ke lingkungan dan keanekaragaman hayati.
Pada 2023, dana pensiun Belanda PFZW melakukan divestasi dari perusahaan induk AAL, yakni Astra International. Selain itu, BlackRock pengelola aset terbesar di dunia, menolak pemilihan ulang direksi dan komisaris AAL.
Secara keseluruhan, ternyata 29 penyedia pembiayaan mengecualikan Jardine Matheson atau anak perusahaan dari pembiayaan karena masalah yang berkaitan dengan perubahan iklim dan lingkungan.
Pada Maret 2023, AAL merekrut grup konsultan Eco Nusantara untuk menyelidiki lebih lanjut dugaan pelanggaran lingkungan dan HAM oleh ANA, LTT, dan Mamuang. Hasilnya dinilai tidak lengkap, tidak memadai, dan tidak akurat, karena ruang lingkup investigasi ditentukan secara sepihak oleh AAL.
Uli mengatakan, laporan verifikasi AAL merupakan hasil investigasi yang mengabaikan masukan masyarakat sipil, gagal menyelidiki sejumlah tuduhan kritis, gagal memeriksa apakah anak perusahaan AAL pernah melakukan pelanggaran lingkungan dan HAM.
Penyelidikan itu juga melihat bagaimana anak-anak perusahaan AAL memperoleh tanah dari masyarakat atau apakah perusahaan-perusahaan ini beroperasi secara legal. Investigasi itu justru menuntut masyarakat menunjukkan dokumentasi klaim lahan mereka, namun tidak memerlukan bukti yang sama dari AAL.
“Ini sama sekali mengabaikan asimetri kekuasaan antara masyarakat pedesaan dan perusahaan besar, serta mengabaikan realitas rumit dalam pengakuan hak atas tanah di Indonesia,” kata Uli November 2023 merespon hasil penyelidikan AAL dan konsultannya.
Madan juga mengatakan, laporan verifikasi AAL itu juga tidak melihat apakah anak-anak perusahaan berusaha menerima persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC) dari masyarakat terdampak, seperti tuduhan dalam laporan Walhi dan FOE pada Maret 2022.
“Penyelidikan AAL dan konsultannya gagal mengatasi banyak kekhawatiran pembeli, pemegang saham, dan masyarakat sipil. Fokus penyelidikan itu bersifat selektif, dan terdapat bias untuk mempertahankan status quo,” kata Gaurav dalam rilis yang sama
Februari 2024, AAL kembali menunjuk Eco Nusantara untuk membantu menyusun rencana aksi guna menerapkan rekomendasi berdasarkan investigasi dan laporan sebelumnya. Hal itu disinyalir sebagai langkah taktis AAL untuk berusaha menghindari tanggung jawab, karena investigasi dan laporan mereka tidak menelaah sebagian besar keluhan termasuk FPIC.
Apa tanggapan AAL?
Merespon laporan terbaru itu, AAL langsung membantah. AAL mengklaim, semua anak perusahaan mereka beroperasi saat ini sesuai dan mematuhi semua peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sejak kebijakan keberlanjutan berlaku pada 2015, AAL mengaku tidak pernah ekspansi atau pembukaan lahan baru sejak saat itu.
AAL juga memberikan referensi surat pelepasan kawasan hutan untuk menunjukkan bahwa telah mendapatkan izin yang diperlukan untuk beroperasi di dalam kawasan hutan. Bahwa dalam beberapa kasus, penetapan kawasan hutan dilakukan setelah HGU terbit.
Fenny A. Sofyan, Vice President of Investor Relations & Public Affairs AAL menyebut, laporan yang mengutip penelitian Genesis Bengkulu tidak akurat dan jauh berbeda dengan kondisi sebenarnya. Perusahaan mengidentifikasi ada keterbatasan sumber data yang menghasilkan informasi keliru dengan kondisi sebenarnya.
Fenny bilang, Genesis Bengkulu hanya menggunakan peta Atlas Nusantara dan peta bidang tanah Kementerian ATR/BPN sebagai sumber data untuk kajian deforestasi di kawasan hutan. Genesis Bengkulu tidak menggunakan data HGU/izin lokasi anak perusahaan mereka yang dikeluarkan resmi oleh Pemerintah Indonesia.
Padahal, kata Fenny, data HGU menjadi bahan yang sangat mendasar untuk mengkaji tumpang tindih kawasan hutan dengan HGU/izin usaha perkebunan sawit. Data Genesis Bengkulu juga jauh lebih luas dibandingkan dengan data HGU/izin lokasi anak perusahaan AAL.
Tanpa data HGU/izin lokasi terverifikasi, hasil kajian bisa menyesatkan.
“Data referensi Genesis Bengkulu menunjukkan bahwa batas areal perkebunan berbeda dengan bentuk HGU atau izin lokasi anak perusahaan Astra Agro. Data itu juga lebih besar daripada data HGU, izin lokasi anak perusahaan AAL, dan berada pada dua kabupaten yang berbeda,” kata Fenny melalui rilis yang diterima Mongabay.
Perusahaan mengidentifikasi laporan itu tidak mengkaji peraturan historis yang berkembang seiring berjalannya waktu. Terutama mengenai tata ruang nasional dan implikasi terhadap tumpang tindih antara HGU dan kawasan hutan. HGU merupakan produk hukum.
“Kasus tumpang tindih antara HGU dan kawasan hutan yang ditafsirkan sebagai bentuk deforestasi dalam laporan itu dapat memberikan persepsi yang menyesatkan untuk masyarakat. Karena masalah tumpang tindih kawasan hutan dan HGU, izin lokasi perkebunan sawit telah diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja,” katanya.
KLHK melakukan penunjukan kembali kawasan hutan secara bertahap, hingga banyak kasus pengembalian sebagian HGU menjadi kawasan hutan. Padahal, katanya, HGU tersebut sudah diperoleh jauh sebelumnya. Terlebih pemerintah berkali-kali melakukan revisi peraturan terkait penataan ruang.
Sejak 2015-2023, Fenny mengklarifikasi, Astra Agro tidak pernah membuka lahan apa pun untuk pembangunan baru, seperti yang dituduhkan dalam laporan itu.
Mereka mengklaim, dalam memulai pembangunan kebun, perusahaan telah melaksanakan seluruh proses sesuai peraturan perundang-undangan termasuk dalam pelaksanaan pembebasan lahan yang melibatkan para pemangku kepentingan.
“Termasuk masyarakat dengan terlebih dahulu sosialisasi hingga mendapatkan kesepakatan bersama yang dalam terminologi saat ini dikenal dengan FPIC.”
Namun, kata Egi apa yang dibantah AAL ini tidak memiliki kejelasan meski mereka memberikan referensi surat pelepasan kawasan hutan. Pasalnya, AAL mengklaim luasan kebun sawit mereka hanya sekitar 287.044 hektar. mMereka tidak mengungkapkan koordinat konsesi resminya.
Sisi lain, kata Egi, AAL mengklaim memiliki peta yang berbeda untuk konsesi dan operasi serta meminta Genesis Bengkulu merujuk ke data pemerintah. Tetapi, data pemerintah yang tersaji di portal Bhumi ATR/BPN justru terlihat berbeda yang menyebutkan kebun AAL mencapai hanya 192.120 hektar.
Perbedaan data ini, katanya, menunjukkan lebarnya kesenjangan yang menimbulkan keraguan atas keakuratan dan kelengkapan data AAL. Dengan begitu, mereka berkomitmen tetap menggunakan data Nusantara Atlas selama AAL tidak bisa memberikan koordinat konsesi resmi.
“Meski begitu, kami menduga data AAL itu hanya mencantumkan perkebunan inti, bukan total konsesi perkebunan,” katanya.
******