- Masyarakat Bajo yang berdiam di Desa Kalumbatan, Kecamatan Totikum Selatan, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, menangkap gurita menggunakan alat tangkap bernama cipo dan si manis yang ramah lingkungan.
- Kedua alat pancing ini memiliki keunikan dari segi bentuk. Cipo berbentuk seperti kepiting yang menarik perhatian gurita, dengan mata pancing di bagian ujung bawah. Sementara si manis menggunakan umpan yang bentuknya mirip gurita yang didandani sedemikian rupa.
- Di Makassar, cipo disebut bole-bole, sementara si manis disebut pocong, karena bentuknya menyerupai pocong. Di NTB, si manis juga dikenal dengan nama pocong.
- Dalam beberapa tahun terakhir, Yayasan Alam Indah Lestari (Lini) mendampingi nelayan dengan melakukan sistem buka-tutup penangkapan gurita dengan kisaran waktu per tiga bulan, untuk perbaikan terumbu karang dan mengurangi penggunaan bom ikan
Kampung Bajo di Desa Kalumbatan, Kecamatan Totikum Selatan, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, sore itu begitu lengang. Hanya anak kecil yang berseliweran di jalanan. Tak terkecuali beberapa orang saja yang duduk di sekitar dermaga sambil berleha-leha mengisap rokok.
“Lagi ada pertandingan sepak bola di kampung sebelah, semua anak muda hingga orang tua ke sana menonton. Orang di sini gila bola, apalagi tim kampung sini yang sedang main. Di sini banyak klub bola,” ujar seorang warga yang ditemui di dermaga kecil untuk kapal-kapal kecil pengangkut ikan dan warga ke daerah sekitar pada awal Juni 2024 silam.
Meski masuk wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan, Kalumbatan lebih dekat ke kabupaten tetangga, Banggai Laut. Bisa diakses dengan menggunakan speed boat, perjalanan sekitar 20 menit, dengan tarif Rp70 ribu dari dermaga Banggai Laut.
Sebagaimana rumah-rumah orang Bajo pada umumnya, Kampung Kalumbatan berada di pesisir pantai, meski rumah-rumah sudah permanen. Aktivitas banyak dilakukan di pekarangan rumah yang langsung bersinggungan dengan jalanan desa.
Beberapa orang terlihat mandi, mencuci pakaian, mengolah ikan, dan ruang bermain bagi anak-anak. Beberapa orang juga terlihat sedang memperbaiki jaring, persiapan untuk melaut malam hari, atau esoknya.
Beberapa anak muda yang tak ikut perhelatan sepakbola, tampak duduk di depan rumah. Saling menyapa dengan orang-orang yang berseliweran. Mereka terlihat akrab. Ibu-ibu berkumpul berbincang asyik, sambil sesekali melirik kami yang berjalan melintas. Orang asing atau pendatang memang akan segera terlihat dari cara berpakaian maupun bawaannya yang tak biasa.
Kampung Kalumbatan adalah salah satu pemukiman orang Bajo yang cukup berkembang. Lokasi mereka saat ini adalah wilayah pengungsian dari peristiwa gempa yang mengakibatkan tsunami dan longsor tahun 24 tahun silam. Kini mereka telah tinggal secara permanen di daerah itu.
Kampung Kalumbatan sendiri sebelumnya hanyalah hamparan hutan di pesisir yang ditumbuhi kebun kelapa milik beberapa warga.
Baca : Berburu Gurita di Laut Banggai [Bagian 1]
Alat Unik Penangkap Gurita
Salah satu aktivitas utama nelayan Bajo di Kalumbatan adalah memancing gurita menggunakan alat pancing yang disebut cipo dan manis. Kedua alat pancing ini dianggap lebih ramah lingkungan karena tidak merusak karang.
“Kalau dulu menangkap gurita pakai tombak menyelam ke celah-celah karang, jadi harus bongkar-bongkar karang. Ini yang bikin banyak karang hancur hingga sekarang belum pulih,” ungkap Sudirto Kamindang, seorang tokoh masyarakat setempat.
Kedua alat pancing ini memiliki keunikan dari segi bentuk. Cipo berbentuk seperti kepiting yang menarik perhatian gurita, dengan mata pancing di bagian ujung bawah. Sementara manis menggunakan umpan yang bentuknya mirip gurita yang didandani sedemikian rupa. Mungkin karena itulah dinamai si manis.
“Nelayan Bajo belajar si manis ini dari nelayan Manado, makanya mungkin dinamai si manis karena bentuknya menyerupai gurita betina yang kemudian mengejar umpan itu sebelum akhirnya dipancing dengan alat pancing lain,” jelas Sudirto.
Berbeda dengan cipo, si manis menggunakan dua jenis pancing, satu sebagai umpan sementara satunya lagi sebagai alat tangkap.
Gomini, seorang nelayan mengakui menggunakan dua alat pancing ini, namun lebih senang menggunakan si manis karena bisa memilih jenis gurita yang akan ditangkap, berkisar pada grade A dan B.
“Kalau pakai si manis itu bisa dilihat besarnya gurita, kalau masih kecil-kecil tak usah diambil karena harganya lebih murah.”
Menurut Risandi Daeng Sitaba, koordinator program Yayasan Alam Indah Lestari (Lini) untuk Banggai Kepulauan, yang sedang berprogram di Kalumbatan atas dukungan dari Sustainable Fisheries Partnership (SFP), kalau mau dibandingkan, si manis lebih berkelanjutan dibanding cipo, karena si manis selektif dalam memilih tangkapan, hanya pada gurita besar dan gurita jantan, sementara betina sangat jarang. Hal ini akan berdampak pada keberlanjutan gurita.
“Sudah ada hasil penelitian yang menjelaskan kalau gurita jantan itu sifatnya sangat teritori yang berarti akan mengejar sesuatu yang memasuki wilayahnya, makanya ia mengejar umpan yang dilihatnya sebagai pesaing,” katanya.
Baca juga : Jerit Hati Nelayan Gurita di Banggai, Tidak Punya Penghasilan Akibat Pandemi Corona
Yayasan Lini sendiri sudah beberapa tahun ini melakukan program sistem buka-tutup penangkapan gurita dengan range waktu per tiga bulan. Harapannya ekosistem laut dengan terumbu karang di dalamnya bisa terjaga dan mengurangi aktivitas bom ikan yang masih sering ditemui di daerah itu.
“Setelah beberapa kali buka tutup belum terlihat hasil yang signifikan, namun program ini tetap dilanjutkan.”
Proses penangkapan gurita sendiri butuh keahlian tersendiri, karena gurita biasanya melakukan perlawanan ketika ditangkap. Agar bisa ditangkap gurita harus dimatikan dulu dengan cara memukul di bagian dahi tengah yang memiliki syaraf sensitif. Biasanya butuh tiga kali pukulan agar bisa bebar-benar tidak bergerak.
“Tidak bisa ditangkap kalau tidak dibunuh dulu karena meronta dan melilit, jadi harus segera dipukul kalau sudah kena umpan,” kata Gomini.
Pemukulan gurita hingga berkali-kali berisiko mengurangi harga gurita apalagi kalau gigi gurita hancur kena pukulan kayu.
“Kalau gigi rusak biasanya ditolak dan dihitung sebagai barang rusak, kalaupun dibeli pengepul harganya paling Rp10 ribu per ekor untuk grade A,” kata Risandi.
Metode penangkapan dengan cara dipukul ini dinilai Risandi harusnya ditinggalkan karena merusak kualitas gurita. Gurita kering untuk ekspor biasanya dijual dalam bentuk seperti kelopak mawar, yang akan rusak kalau dibunuh dengan cara dipukul berkali-kali dan mengenai gigi.
“Sebenarnya sudah ada metode baru dari Jepang dengan menggunakan baja runcing seperti jarum yang cukup ditusukkan ke dahi gurita pusat syarafnya. Sekali tusuk bisa langsung mati tanpa menimbulkan kerusakan pada bagian tubuh lainnya.”
Baca juga : Banggai Cardinal Fish, Si Cantik dan Endemik Sulawesi
Tak ada yang tahu secara pasti dari mana alat tangkap cipo dan si manis ini hingga sampai di Bajo. Kedua alat tangkap ini dikenal juga di daerah lain. Di Makassar misalnya, cipo disebut bole–bole, sementara si manis di sebut pocong-pocong, karena bentuknya menyerupai pocong. Di NTB, si manis juga dikenal dengan nama pocong.
“Nelayan dari Pulau Langkai dan Lanjukang sepertinya belajar dari orang Bonetambung, sementara orang Bonetambung belajarnya dari orang Bajo. Saya tidak tahu pasti kenapa penamaannya berbeda, mungkin karena faktor lokalitas juga,” ungkap Nirwan Dessibali, Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia.
Gurita sendiri telah menjadi komoditas utama di berbagai daerah, meski harga fluktuatif. Terdapat sedikitnya 119 nelayan gurita di desa ini.
Terkait harga, khususnya di Banggai Kepulauan, harga gurita saat ini Rp45 ribu/kg untuk grade A, Rp25 ribu/kg untuk grade B dan Rp15 ribu/kg untuk grade C. Harga tertinggi gurita yang pernah dirasakan nelayan adalah Rp85 ribu/kg untuk grade A.
Hasil tangkapan nelayan tak selalu melimpah, namun hanya pada musim-musim tertentu. Menurut Hamzah, salah seorang pengepul di Desa Kalumbatan, ketika musim gurita jumlah gurita yang terkumpul dari nelayan berkisar antara 500 kg sampai satu ton per minggu. (***)
Meski Eksportir Terbesar, Perikanan Gurita Indonesia Belum Berkelanjutan