- Proyek pembangunan kawasan industri nikel, PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) di Kecamatan Bungku Barat, Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) diwarnai konflik agraria. Ujungnya, empat orang warga berurusan dengan hukum karena aksi blokade jalan untuk menghentikan aktivitas perusahaan.
- Masyarakat protes jalan jadi jalan kawasan perusahaan. Tuntutan warga Bungku Barat ini meminta Pemerintah Morowali membatalkan nota kesepakatan (MoU) dengan perusahaan. Mereka juga ingin melihat MoU di tangan perusahaan, tetapi PT IHIP enggan memperlihatkan dokumen, malah menyampaikan bahwa dokumen itu bersifat rahasia.
- Proyek ini bagian dari zona percontohan kerja sama internasional di bawah “one belt, one road iInisiative” yang oleh Pemerintah Tiongkok dianugerahi gelar zona kerjasama ekonomi dan perdagangan luar negeri Zhejiang. Hal itu disepakati dalam kerjasama bilateral antara Pemerintah Tiongkok dan Indonesia di KKT G20.
- Yusman, Pengkampanye Walhi Sulteng mendesak, Mou tukar guling aset jalan tani di Desa Topogaro dan Ambunu benar-benar dibatalkan. Juga meminta, perusahaan menghentikan kriminalisasi empat warga Topogaro dan Tondo. Dia juga mendesa DPRD Morowali mengambil tindakan atas klaim sepihak jalan tani IHIP lewat MoU.
Proyek pembangunan kawasan industri nikel, PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) di Kecamatan Bungku Barat, Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) diwarnai konflik agraria. Ujungnya, empat orang warga berurusan dengan hukum karena aksi blokade jalan untuk menghentikan aktivitas perusahaan.
Ceritanya, pada 11 Maret 2024, warga Desa Tondo dan Topogaro. memblokade jalan yang diklaim sepihak perusahaan sebagai jalan hauling perusahaan. Warga pun geram dan membangun tenda di tengah jalan untuk menghentikan aktivitas produksi.
Wandi, juru kampanye Walhi Sulawesi Tengah mengatakan, blokade bermula ketika beredar video pernyataan dari Riski, legal eksternal IHIP yang menyatakan, jalan tani yang sekarang sebagai jalan perusahaan sah milik IHIP.
Klaim sepihak itu berdasarkan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) tukar guling aset dengan Bupati Morowali. Sebagai gantinya, IHIP mengerjakan perluasan bandara. Padahal, jalan itu merupakan akses utama masyarakat menuju lahan mereka, seperti kebun kopi, kakao, dan sawah. Jalan itu juga menuju situs budaya, Gua Topogaro.
MoU yang perusahaan dan bupati buat tidak diketahui masyarakat sama sekali, tak ada pemberitahuan atau sosialisasi. Secara tiba-tiba, jalan tani sudah jadi jalan perusahaan.
Akses masyarakat ke kebun pun terganggu karena aktivitas alat berat lalu lalang setiap hari.
Klaim sepihak itu juga memicu kemarahan masyarakat hingga meluas ke Desa Ambunu, satu desa di sekitar IHIP. Pada 15 Juni lalu, warga Desa Ambunu juga ikut blokade jalan, tepat di samping fly over IHIP, yang sudah berdiri gudang penyimpanan ore, batubara, dan smelter.
“Aksi blokade jalan oleh warga d Desa Ambunu itu diikuti kurang lebih 500 orang yang tersebar di tiga titik,” katanya.
Tuntutan warga Bungku Barat ini meminta Pemerintah Morowali membatalkan MoU. Mereka juga ingin melihat MoU di tangan perusahaan, akan tetapi IHIP enggan memperlihatkan dokumen, malah menyampaikan bahwa dokumen itu bersifat rahasia.
Alih-alih menjawab tuntutan masyarakat, kata Wandi, IHIP justru somasi kepada para penggerak aksi blokade. Somasi pertama berikan kepada empat warga Desa Tondo dan Topogaro atas aksi 11 Juni lalu. Somasi kepada Rahman Ladanu, Wahid/Imran, Hamdan, dan Safaat. Empat orang itu pun juga dilaporkan ke Polda Sulteng.
Tak hanya itu, kata Wandi, IHIP juga membuat somasi kedua kepada lima warga Desa Ambunu atas aksi blokade dan tindakan pemalangan yang mengakibatkan berhentinya aktivitas perusahaan pada 15 Juni lalu. Lima orang ini, yakni, Moh Haris Rabbie, Makmur Ms, Abd Ramdhan, Hasrun, dan Rifiana MS.
“Jadi, ada 9 orang disomasi oleh IHIP, empat dilaporkan ke Polda Sulteng.”
Pemerintah Morowali pun akhirnya batal MoU. Keputusan itu diambil di pertemuan antara masyarakat, perusahaan, dan Pemerintah Morowali, beserta unsur Forkopimda, 22 Juni lalu.
Perusahaan tetap bersikeras, MoU masih berlaku karena pembatalan bersifat sepihak.
Meski begitu, kata Wandi, pembatalan MoU itu masih membingungkan warga. Pasalnya, berdasarkan rilis resmi IHIP dan Pemda Morowali bahwa MoU itu ditandatangani MoU pada 22 Desember 2023.
Dalam berita acara pembatalan MoU yang diterima masyarakat, MoU yang dibatalkan merujuk pada MoU tertanggal 11 Maret 2024.
“Kedua Mou menggunakan frasa ‘penggunaan aset’ sementara dalam video yang ramai beredar MoU yang dibacakan oleh legal eksternal IHIP menggunakan frasa ‘tukar aset’. Apakah terdapat MoU lain lagi?” tanyanya.
Rifiana MS, warga Desa Ambunu yang ikuti disomasi perusahaan mengatakan, Pemerintah Morowali seperti main-main dengan tuntutan masyarakat karena terkesan berpihak dan melindungi kepentingan perusahaan.
Dia bilang, Pemerintah Morowali ingin mencoba menghentikan gerakan mereka, tanpa kesepakatan jelas.
Upaya rekonsiliasi yang dimediasi Pemerintah Morowali tidak menemukan titik terang, justru perdebatan makin masif. Klaim sepihak yang dijelaskan Pemda Morowali tidak bisa menjawab tuntutan masyarakat. Pemerintah Morowali, katanya, terus bersikukuh untuk menghentikan gerakan blokade jalan itu.
“Kami diminta menghentikan aksi kami, Namun, kami tetap menolak dan terus aksi dengan tuntutan untuk membatalkan Mou itu,” kata Rifiana dalam konferensi pers akhir Juni lalu.
Selain membatalkan MoU, katanya, warga meminta status jalan diserahkan ke masyarakat. Mereka juga mempertanyakan prosedur-prosedur Pemerintah Morowali hingga berani menyerahkan jalan jadi milik IHIP.
“Jika tidak tuntutan kami tidak diindahkan Pemerintah Morowali, kami akan kembali blokade jalan tani. Kami percaya, jalan tani itu milik masyarakat, bukan perusahaan.”
Cipto Rustianto, External Manager IHIP membantah semua tuduhan masyarakat. Perusahaan, katanya, merupakan hasil koordinasi dan persetujuan pemerintah pusat serta daerah, sesuai peraturan berlaku.
Dia mengklaim, tidak pernah melakukan penyerobotan jalan tani masyarakat, dan siap membuktikan dengan data dan fakta.
Cipto juga membantah mengkriminalisasi warga. Katanya, tuduhan kriminalisasi itu tidak berdasar. Selama ini, mereka berkomitmen melindungi kepentingan masyarakat dalam beraktivitas ekonomi sesuai hukum berlaku.
Perusahaan, katanya, berupaya merangkul masyarakat melalui pemerintah desa dan lembaga terkait.
“Olehnya, saya mengajak semua pihak untuk menghormati proses hukum yang sedang berlangsung dan menyerahkan penanganan kepada pihak berwenang kompeten,” kata Cipto seperti dikutip di Media Alkhairaat.
IHIP adalah perusahaan Indonesia dengan modal Tiongkok. Komposisi saham terdiri dari Zhensi Indonesia Industrial Park 51%, Beijing Shengyue Oriental Investment Co., Ltd 10,28%, PT Kejayaan Emas Persada 27,45%, dan PT Himalaya Global Investment 11,27%.
Pemegang saham terbesar Zhensi Indonesia Industrial Park atau yang juga dikenal sebagai Zhensi Holding Group Co., Ltd ini merupakan satu perusahaan teratas di Industri tersier di Tiongkok. Mereka mengembangkan 10 industri, termasuk baja khusus, dan manufaktur besi nikel.
Zhensi Holding Group ini mendirikan lebih 50 perusahaan induk di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, perusahaan induk Zhensi Holding Group yang untuk membangun kawasan IHIP adalah PT Bahosua Taman Industri Invesment Grup (BTIIG). Kawasan industri ini berlokasi di tujuh desa di Kabupaten Morowali, yakni; Desa Topogaro, Wata, Ambunu, Tondo, Umpanga, Larobenu, dan Wosu. Proyek investasi Rp14 triliun ini akan dibangun seluas sekitar 20.000 hektar.
IHIP dan BTIIG akan membangun kawasan industri ini dengan skema dua tahap. Pertama, bangun 1.200 hektar di Ambunu, Topogaro, dan Tondo yang sedang bermasalah karena klaim jalan tani dilakukan sepihak. Kedua, bangun 18.800 hektar di lima desa lainnya.
Adapun proyek ini bagian dari zona percontohan kerja sama internasional di bawah “one belt, one road iInisiative” yang oleh Pemerintah Tiongkok dianugerahi gelar zona kerjasama ekonomi dan perdagangan luar negeri Zhejiang. Hal itu disepakati dalam kerjasama bilateral antara Pemerintah Tiongkok dan Indonesia di KKT G20.
Kawasan industri ini katanya akan memproduksi nikel berskala besar dengan kapasitas 1,5 juta ton untuk pengembangan nikel laterit atau blok besi nikel dan nikel hidroksida dengan berkualitas tinggi sebagai bahan baku penting stainless steel. Nikel hidroksida juga perlu untuk produksi baterai kendaraan listrik kelas atas.
Perampasan lahan terselubung
Proyek yang diklaim sebagai bagian dari kerja-kerja transisi energi ini justru menggerus masyarakat sekitar. Lahan-lahan dan jalan yang jadi akses utama masyarakat untuk bertani dan mencari kehidupan terampas dengan berbagai modus dan memicu konflik agraria.
Yusman, Pengkampanye Walhi Sulteng mengatakan, yang terjadi di Desa Ambunu, Topogaro, dan Tondo bukan konflik agraria pertama. Di Morowali, sudah masif sejak perusahaan nikel bercokol mengeksploitasi sumber daya alam.
Modus-modus perampasan lahan pun bermacam-macam, termasuk IHIP memuluskan proyek mereka dalam mengeruk isi bumi, salah satunya modus salah gusur. IHIP pernah ambil lahan sawit produktif warga Ambunu seluas 14 hektar dengan modus salah gusur yang ketika malam hari pada 17 Oktober 2022.
Ketika masyarakat protes, kata Yusman, perusahaan langsung menawarkan ganti rugi. Kondisi ini membuat petani tidak punya pilihan lain selain menerima ganti rugi. Pada 2020, katanya, IHIP juga diduga menimbun jalur irigasi untuk jalan tambang yang berdampak ke 170 hektar sawah 20 keluarga.
Penimbunan jalur irigasi itu menyebabkan sawah-sawah tidak produktif lagi. Momen itu dimanfaatkan perusahaan langsung membuat negosiasi dengan menawarkan membeli sawah masyarakat. Saat ini, katanya, dari 170 hektar sawah masyarakat itu, tinggal 10 hektar masih dikelola.
“Penimbun jalur irigasi itu membuat perubahan jalur sungai serta 36 hektar sawah masyarakat terendam air,” kata Yusma.
Bukan itu saja. Reklamasi IHIP untuk bangun terminal khusus jetty seluas 40 hektar di Desa Tondo dan Ambunu menyebabkan 115 nelayan rumput laut kehilangan mata pencaharian. Padahal, katanya, reklamasi itu tidak memiliki izin dan sudah kena segel Ditjen PSDKP karena melanggar UU 32/2009.
Selain itu, ada dugaan IHIP tidak ada izin usaha kawasan industri (IUKI) serta izin lingkungan (amdalalin). Padahal, saat ini perusahaan sudah membangun tiga PLTU captive berkapasitas 350 MW, smelter stockpile ore di sana.
Yusman mendesak, Mou tukar guling aset jalan tani di Desa Topogaro dan Ambunu benar-benar dibatalkan. Juga meminta, perusahaan menghentikan kriminalisasi empat warga Topogaro dan Tondo. Dia juga mendesa DPRD Morowali mengambil tindakan atas klaim sepihak jalan tani IHIP lewat MoU.
Kementerian terkait, katanya, juga harus evaluasi dan moratorium IHIP karena pembangunan industri nikel tak berizin kawasan dan lingkungan sekaligus memeriksa Pj Bupati Morowali.
“Hentikan praktik perampasan tanah terselubung serta meminta pemerintah untuk pengawasan.”
*******
Ketika Industri Nikel Datang, Nelayan Morowali Susah Melaut, Pemukiman pun Penuh Debu