Baru-baru ini, dunia maya ramai berbincang mengenai Tanah Papua dalam tajuk #AllEyesOnPapua[1]. Netizen menaikkan tagar itu sebagai upaya solidaritas bagi rakyat Papua.
Kampanye ini bermula ketika Masyarakat Adat Suku Awyu di Boven Digoel berupaya mempertahankan tanah ulayat seluas 36.094 hektar —setara setengah luas Jakarta— dari rencana ekspansi perusahaan sawit, PT Indo Asiana Lestari.
Tagar #AllEyesOnPapua mencuat tak lama setelah perwakilan Suku Awyu dan Suku Moi aksi di depan Mahkamah Agung, 27 Mei lalu. Muncul pula tautan petisi publik change.org[2] yang mengajak publik mendorong Mahkamah Agung mencabut izin lingkungan PT Indo Asiana Lestari. Izin itu keluar dari Pemerintah Papua yang menyebabkan korporasi berhak menggunduli hutan yang jadi tanah ulayat Suku Awyu.
Kejadian seperti ini di Papua tidak hanya sekali, tanah ulayat —yang sebagian besar berupa hutan alam—terancam rusak karena ekspansi industri rakus lahan. Terbaru, jutaan hektar hutan alam Papua bakal hilang untuk perkebunan tebu berlabel swasembada gula dan bioetanol di Merauke, Papua Selatan[3]. Rencana ini tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15/2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol.

Ancaman kekayaan pangan Papua
Papua pulau kaya akan keanekaragaman hayati yang ditopang hutan hujan tropis terbesar setelah Amazon bahkan tak tertandingi di Asia Pasifik. Jurnal Nature[4] mencatat bahwa hutan —dari hutan bakau hingga hutan rumput alpen tropis— di Papua tumbuh sekitar 13.634 spesies (68% endemik), 1.742 genus, dan 264 famili.
Hal ini menjadikan Papua ke dalam pulau dengan keanekaragaman flora terbesar di dunia. Bahkan termasuk 19% (11.488 spesies) lebih besar dari yang tercatat di Madagaskar dan 22% (11.165 spesies) lebih besar dari yang tercatat di Borneo.
Sebagian besar spesies flora di hutan Papua selain pepohonan adalah tanaman pangan. Sagu jadi salah satu tanaman pokok sumber karbohidrat di Papua. Ada sumber karbohidrat lain yaitu umbi-umbian seperti gembili, uwi, talas, keladi/kimpul, jawawut dan ubi jalar. Tanaman pangan ini menjadi makanan pokok masyarakat secara turun-temurun.
Namun, kekayaan alam di Tanah Papua menghadapi ancaman deforestasi secara terang-terangan. Contoh kasus Suku Awyu di Boven Digoel menjadi satu dari sekian banyak ancaman deforestasi yang dihadapi masyarakat Papua. Deforestasi merenggut keanekaragaman hayati dan potensi sumber pangan di Papua lalu menggantikan dengan komoditas lain seperti beras yang jadi bagian dari proyek food estate, seperti proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Ambil satu contoh tanaman sagu, kalau ditinjau sebagai pangan sumber karbohidrat, dalam beberapa hal kandungan gizi dari sagu lebih baik daripada beras karena tergolong dalam sumber pangan dengan indeks glikemik rendah. Secara sederhana, indeks glikemik merupakan suatu ukuran untuk mengklasifikasikan pangan berdasarkan pengaruh fisiologisnya terhadap kadar glukosa darah.
Sumber pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah, begitu pula sebaliknya[5].
Bahkan, olahan pangan berbahan dasar sagu seperti beras sagu, papeda dan sagu sangrai memiliki indeks glikemik yaitu 50.9%, 59.6% dan 64.2%[6]. Jauh lebih kecil dari beras putih yang termasuk dalam kelompok pangan dengan indeks glikemik tinggi yaitu 97.48%[7].
Indeks glikemik rendah pada sagu menjadikannya sebagai pangan fungsional —yang dapat memberikan manfaat tambahan selain fungsi gizi dasar pada umumnya— dalam kontrol glukosa darah serta baik bagi seseorang yang berisiko maupun penderita diabetes[8].
International Diabetes Federation dalam laporannya menyebutkan, kematian akibat diabetes di Indonesia 236.000 jiwa pada 2021, peringkat keenam di dunia[9]. Diabetes belum dapat disembuhkan secara total karena merupakan gangguan metabolisme dan multi etiologi di dalam tubuh. Namun diabetes dapat dicegah dan dikontrol, salah satunya melalui konsumsi sumber pangan dengan indeks glikemik rendah.

Ancaman tumbuh kembang anak
PT Indo Asiana Lestari, salah satu dari tujuh perusahaan yang hendak menguasai lahan sekitar 280.000 hektar atau 10% dari luas Boven Digoel. Proyek diresmikan sejak 2007 ini bernama Proyek Tanah Merah dan diberikan kepada tujuh perusahaan dengan modus perusahaan cangkang. Semula perusahaan ini mengurus izin bukan untuk menanam sawit namun izin-izin ini dijual ke investor, salah satunya kepada PT Indo Asiana Lestari dengan peruntukan perkebunan sawit[10].
Pemberian izin pembukaan hutan alam dalam skala besar untuk perkebunan sawit juga berdampak terhadap masalah pangan yang lebih kompleks termasuk menghambat tumbuh kembang anak.
Baru-baru ini terbit hasil penelitian Profesor Universitas Sophia Jepang, Gabriel Fuentes Cordoba[11] mengenai dampak deforestasi dan tumbuh kembang anak. Studi di Kamboja ini menyebutkan, paparan deforestasi bagi daerah penyangga sepanjang 5 km menghambat tumbuh kembang anak sejak masa prenatal (pra kelahiran) —berat badan lahir rendah dan lebih pendek/stunting. Kondisi ini karena potensi kejadian anemia lebih besar bagi ibu di daerah dengan tingkat deforestasi tinggi, yang merupakan gambaran infeksi malaria.
Kementerian Kesehatan merilis hasil Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023[12] dengan prevalensi stunting anak baduta (di bawah dua tahun) di Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Masing-masing sebesar 22.8%, 25.9%, 26.8%, 21.8%, 37%, dan 35,2%. Lalu prevalensi stunting anak balita (di bawah lima tahun) pada provinsi itu masing-masing 24.8%, 31%, 28.6%, 25.1%, 39.3%, dan 37.3%.
Prevalensi stunting anak remaja usia 5-12 tahun masing-masing 27.3%, 27%, 21.8%, 23.4%, 32.8% dan 25%.
Angka-angka di atas menunjukkan dua hingga empat dari 10 anak Papua mengalami stunting hingga masih menjadi masalah besar saat ini. Tumbuh kembang anak Papua dapat ditopang dan diperbaiki salah satunya melalui ketersediaan sumber pangan yang melimpah dari alam atau hutan. Dengan begitu, apakah bisa kita bayangkan ancaman terhadap tumbuh kembang anak Papua ketika Proyek Tanah Merah di Boven Digoel dengan membabat hutan alam seluas 280.000 hektar terealisasi sepenuhnya?
Bahkan yang terbaru, ancaman terhadap hutan alam yang tersisa di Papua kembali hadir dengan proyek perkebunan tebu yang terintegrasi dengan industri gula, bioetanol dan pembangkit listrik biomassa seluas 2 juta hektar[13].
Presiden Joko Widodo meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15/2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Merauke, Papua Selatan, 19 April 2024. Fakta ini menunjukkan, keberlangsungan hidup masyarakat Papua makin terhimpit karena perizinan pembukaan hutan alam yang terus bergulir dari waktu ke waktu hingga kini.

Hutan untuk rakyat Papua
Rakyat Papua memiliki kearifan lokal seperti menerapkan hutan larang dengan nilai-nilai praktis dan kultural[14]. Hutan dianggap sebagai ibu (mama) bagi orang Papua, secara kosmologi disebut inward looking philosophy yang mengandung pandangan untuk menjaga dan merawat kesinambungan manusia dan alam.
Bahkan relasi religio-magis —orang Papua mengenal penerapan totem atau sakralitas yang digambarkan pada benda tertentu, misal, ikan gabus, sagu dan lain-lain— terjalin dengan erat dalam penerapan hukum adat[15]. Hal ini tergambar dalam lantunan tembang (nyanyian) ketika mama-mama Papua menokok pohon sagu ataupun larangan tertentu yang disebut sasi. Artinya, hutan merupakan ruang hidup bagi rakyat Papua. Rusak hingga hilangnya hutan akan meruntuhkan identitas orang Papua.
Dengan kearifan dan sakralitas masyarakat Papua dalam melestarikan hutan, seharusnya pemerintah pusat mendukung upaya ini. Dukungan itu berupa percepatan penetapan hutan adat di Papua. Saat ini, pemerintah pusat baru menetapkan hutan adat sekitar 40.000 hektar dari potensi sekitar 9 juta hektar yang tercatat dalam rilis Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)[16] pada 17 Maret 2023.
Kita harus mengakui, rakyat Papua berkontribusi dalam menjaga keseimbangan alam dan memberi manfaat bagi masyarakat di seluruh dunia.
Mari buka mata. Bersolidaritas atas perjuangan rakyat Papua dalam mempertahankan alam dan hutan, berarti juga berupaya menyelamatkan seluruh umat di muka bumi.

*****
*Penulis Bambang Tri Daxoko dari Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), alumnus program studi Ilmu Gizi IPB University. Tulisan ini merupakan opini penulis.
Referensi:
[1] Baca selengkapnya dalam berita: https://regional.kompas.com/read/2024/06/08/074700078/soal-all-eyes-on-papua-suku-awyu–tanah-adalah-rekening-abadi-kami-tanah?page=all#google_vignette
[2] Petisi dalam tautan: https://www.change.org/p/hutan-seluas-separuh-jakarta-akan-hilang-mahkamah-agung-cabut-izin-sawit-pt-ial
[3] Baca selengkapnya dalam berita: https://www.mongabay.co.id/2024/05/06/perkebunan-tebu-jutaan-hektar-bagaimana-nasib-hutan-papua/
[4] Cámara-Leret, R., Frodin, D.G., Adema, F. et al. 2020. New Guinea has the world’s richest island flora. Nature 584, 579–583.. https://doi.org/10.1038/s41586-020-2549-5
[5] B Arif A, Budiyanto A, Hoerudin. 2013. Nilai indeks glikemik produk pangan dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Jurnal Litbang Pertanian. Vol 32 (3): 91-99 https://repository.pertanian.go.id/items/f2d1a2a2-b8f1-48e4-b350-0629ed578fdb
[6] Angelica W, S Simaremare A, Gunawan E. 2019. Penentuan indeks glikemik berbagai olahan sagu Papua pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi aloksan. Journal of Food and Life Science. Vol 3 (1): 39-45 https://jfls.ub.ac.id/index.php/jfls/article/view/85
[7] Setyo H. 2013. Perbedaan nilai indeks glikemik beras hitam (Oryza Sativa L. Indica), Beras Merah (Oryza Nivara), dan Beras Putih (Oryza Sativa). [Tesis]. Malang (ID): Universitas Brawijaya http://repository.ub.ac.id/id/eprint/123733/
[8] Puspita W, Sulaeman A, Damayanthi E. Snack Bar berbahan pati sagu (Metroxylon sp.), tempe, dan beras hitam sebagai pangan fungsional berindeks glikemik rendah. The Indonesian Journal of Nutrition. Vol 8 (1): 11-23 https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jgi/article/view/22457
[9] Sun H, Saeedi P, Karuranga S, Pinkepank M, Ogurtsova K, B Duncan B, Stein C, Basit A, CN Chan J, C Mbanya J, et al. IDF Diabetes Atlas: global, regional and country-level diabetes prevalence estimates for 2021 and projections for 2045. Diabetes Research and Clinical Practice. https://doi.org/10.1016/j.diabres.2021.109119
[10] Baca selengkapnya dalam berita: https://projectmultatuli.org/perjuangan-masyarakat-awyu-menyelamatkan-kehidupan-menolak-melepas-hutan-adat-papua-untuk-perusahaan-sawit/
[11] Fuentes GF. 2024. Deforestation and child health in Cambodia. Economics and Human Biology. Vol 52: 101343. https://doi.org/10.1016/j.ehb.2023.101343
[12] Kementerian Kesehatan RI. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 Dalam Angka. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan RI. https://www.badankebijakan.kemkes.go.id/ski-2023-dalam-angka/
[13] Baca selengkapnya dalam berita: https://www.mongabay.co.id/2024/05/06/perkebunan-tebu-jutaan-hektar-bagaimana-nasib-hutan-papua/
[14] Boissière M, van Heist M, Sheil D, Basuki I, Frazier S, Ginting U, Wan M, Hariadi B, Hariyadi H, Kristianto HD, et al. 2006. Pentingnya Sumberdaya Alam bagi Masyarakat Lokal di Papua. Journal of Tropical Ethnobiology. Vol 1 (2): 76-95 https://jte.pmei.or.id/index.php/jte/article/view/31
[15] Forest Watch Indonesia. 2019. Tanah Papua: Deforestasi dari Masa ke Masa (Lembar Fakta). Bogor (ID): Forest Watch Indonesia https://fwi.or.id/deforestasi-dari-masa-ke-masa-di-tanah-papua/
[16] Baca selengkapnya dalam berita: https://brwa.or.id/news/read/561
Datang ke Jakarta, Masyarakat Adat Awyu Berupaya Selamatkan Hutan dari Sawit